SUDAH lewat hari kedua puluh sejak chatting whatsapp itu singgah di handphone saya. Chatting yang mengabarkan tentang “hidup”nya kembali “Kolom Bang Darman.”
Kolom yang sebelumnya menempati pojok sempit di media online aceh time. Kolom ringan. Kolom berisi permainan kata yang fokusnya sering liar dan tak terkendali.
Kolom itu sangat biasa. Saya tulis dengan style esai. Yang tayang kolom itu dikomentari si pengrim dengan pengantar ringkas. Bla..bla..bla…
Biasalah. Untuk sekadar basa-basi agar susulan tulisannya nggak basi.
Kembali ke chatting dua puluh hari lalu. Kali ini ada nada serius meminta saya untuk lanjut mengisi “Kolom Bbang Darman” kembali. Dia menyediakan sudut lebar bagi kehadiran tulisan saya.
Inilah isi chatting itu: “Jika bersedia saya masih menyediakan kolom untuk abang.”
Masih ada lanjutannya, “edisi pertama di portalnusa.com saya sarankan abang ‘obok-obok’ masalah persiraja”
Dengan menyebut nama media onlinenya Anda pasti sudah tahu siapa pengirimnya. Si pengirim punya simpul hubungan yang berbelit dengan saya di awal karier jurnalistiknya.
Saya nggak perlu membuka simpul itu. Biarlah dia yang mengurainya.
Lewat simpul hubungan itulah “Kolom Bang Darman” saya dapatkan sebagai “hadiah.”
Hadiah yang berlanjut ketika sapaan lain datang dari saya ketika si pemilik media terpilih menjadi “sopir” sebuah organisasi profesi yang kini eksistensinya sudah terdegredasi.
Judul sapa saya itu ada kata tanya tentang berkibar. Kata tanya menantang.
Apakah organisasi yang dulu dikomandani oleh seorang yang kami juluki dengan canda “hari-hari o”mo”ng “ko”song” itu masih bisa menjadi arah angin.
Saat sapa itu saya layangkan dan dia tayangkan di medianya ada pesimisme di semak serabut otak saya bahwa organisasi profesi itu sulit untuk eksis.
Penyebabnya: merajalelanya pengabaian etika di kalangan profesi itu. Sebagai organisasi yang punya kitab kode etik profesi ini sudah jauh (dari) etika.
Penyebabnya macam-macamlah. Saya tak mau menguraikan di tulisan ini. Terlalu panjang dan bisa bermuara ke satu kata: nyinyir.
Yang saya tahu kemudian ia sangat eksis berada di sana lewat gerak cepat dari lari kencangnya memanggul misi organisasi itu.
Ya sudah…. Untuk sementara lupakan masalah etik–etika ini.
Kembali saja pada pesan “obok-obok” yang disarankan si pemilik website portalnusa.com. Pesan yang membuat saya tergagap. Tergagap karena “hang” duduk perkara terbaru dari ‘obok-obok’ itu.
Selain itu saya juga “hang” bagaimana harus mulai menulisnya. Mulai menulis lewat pilihan rangkaian kata untuk kalimat sebuah lead. Lead yang popular disalin sebagai teras tulisan.
Bagi saya persoalan berat dalam menulis adalah lead. Sebab lead itu adalah lima puluh persen dari seluruh tulisan. Kalau lima puluh persen tulisan belum ketemu ujungnya bagaimana yang lima puluh persen lainnya.
Untuk Anda tahu lead di media mainstream sekarang tidak hanya penting tetapi juga harus menarik. Paling tidak untuk membedakannya dengan media sosial.
Mendapatkan kata penting saja dalam sebuah lead membuat penulis mumet. Apalagi ada tambahan menarik. Mumetnya pasti berlipat dua.
Dulu…. Dulu sekali saat saya pertama kali belajar cara menulis berita, saya diberi tahu wartawan senior bahwa cara menulis lead atau lead merupakan bagian paling sulit dalam membuat berita.
Bukan hanya dulu. Sampai sekarang pun untuk menulis saya kesulitan menemukan lead.
Jika penulisan lead bisa dilewati dengan mulus, maka selanjutnya akan mudah karena tinggal menguraikan atau menceritakan detail, kadang kronologis, berikut peristwinya.
Pengalaman lain mengajarkan kepada saya ketika berada di depan kelas jurnalistik sebagai mentor. Di kelas jurnalistik itu saya biasa meminta peserta untuk membuat berita, minimal judul dan teras.
Dari sana saya tahu, bagi pemula atau kebanyakan orang, membuat teras berita memang susah. Dan kesusahan itu terjangkit ke diri saya ketika diminta menulis “obok-obok.”
Yang namanya lead itu adalah alinea pertama dalam sebuah naskah berita. Wartawan biasanya menyampaikan inti berita atau fakta terpenting di bagian ini.
Dengan demikian, teras berita adalah paragraf pembuka atau alinea pertama berita. Teras berita memberikan informasi terpenting dari berita secara ringkas dan jelas.
Bagian naskah berita setelah judul ini harus penting dan menarik guna menjaga minat pembaca. Ringkasan atau kalimat yang lebih pendek dari lead sering dicomot jadi judul berita.
Jadi, teras berita bisa merupakan kalimat lebih panjang dari judul berita.
Kiblat saya untuk menulis lead dari dulu adalah goenawan mohamad. Dia adalah “rektor” perguruan saya ketika menjadi wartawan benaran. Wartawan benaran yang mematrikan teras memiliki dua tujuan.
Menarik dan penting.
Kini banyak orang memulai tulisan dengan kalimat asal-asalan. Padahal kalimat pembuka itu harus istimewa.
Doktrin jurnalistik dalam menulis sejak dulu hingga sekarang adalah lead harus diambil dari bagian yang terpenting dalam seluruh tulisan.
Asbabun nuzulnya doktrin ini terkait dengan teknologi lama: di percetakan model lama kalimat disusun dengan huruf-huruf terbuat dari timah.
Tidak bisa dipotong di tengah. Beda dengan zaman komputer sekarang ini. Anda bisa potong tulisan di bagian mana pun yang Anda mau.
Maka, dulu, bagian yang terpenting harus ditaruh di tempat paling awal di tulisan. Disebut lead.
Era berikutnya muncul banyak teori yang menyebabkan judul dan isu berita kacau. Dari judul sampai kalimat penutupnya hanya berisi kalimat tanya. Yang jawabnya ada di langit otak penulisnya.
Padahal godaan di lead menyebabkan pembaca akan terus mengikuti cerita. Untuk itulah pesan tulisan obo-obok saya abaikan karena tak menemukan gabungan dari unsur terpenting dan termenarik.
Maka untuk menggabungkan yang terpenting dan termenarik hitung sendiri: harus berapa kali berpikir.
Memang, tidak selamanya si penulis kesulitan menemukan lead. Kalau saja sumber berita punya harmoni antara otak dan ucapan kita ndak perlu harus berpikir mengeja kalimat lead..
Benar. Kadang lead sudah ditemukan jauh sebelum memulai menulis.
Bagaimana kalau sulit menemukan kalimat yang bisa dijadikan lead?
Jangan berpikir terlalu keras. Tulis saja apa yang keluar dari pikiran. Pun kalau itu bukan pilihan terbaik. Lalu Anda hapus. Tulis lagi yang lain. Yang mungkin juga belum menarik. Hapus lagi.
Sampai ketemu sendiri lead yang terbaik.
Namun begitu, ketika pesan “obok-obok” itu singgah saya seperti diteror. Diteror seperti masa muda dulu. Saat awal-awal jadi wartawan. Ketika urusan lead menjadi terror.
Teror yang datang dari pertanyaan usai wawancara. Apa lead-nya nanti.
Sepanjang perjalanan pulang dari wawancara pikiran fokus ke mencari lead. Puyeng.
Makanya untuk tulisan pertama di website milik mu ini Sir…. Saya nggak bisa memenuhi tulisan tentang ‘obok-obok.’
Ya… maafkan saja. Maaf untuk Nasir Nurdin sang founder “portalnusa.com.” Nasir Nurdin si pengirim chatting.
Karena bagi saya lead sebuah tulisan adalah gincu Gincu yang tidak harus menor tapi menarik untuk dilihat.
Selanjutnya saya janji akan membuat gincu “Kolom Bang Darman.”
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”