SAYA baru tahu Aceh itu tidak punya pelabuhan ekspor. Tahunya pun karena diberitahu. Kemarin siang menjelang ashar.
Yang memberitahu orang paling tahu. Seorang pejabat bea cukai yang eselonnya di jajaran direktorat jenderal, direktur. Karena ia pejabat eselon, habanya sahih. Untuk itu saya berani menulisnya.
Sang pejabat sendiri masih di tataran aneuk keumuen. Ayahnya dulu seorang pegawai bea cukai di era institusi itu bernama pabean. Pabean yang lebih kerennya disapa dengan doane.
Pabean yang doane itu dulu tebal kantongnya. Pegawai pabean yang makmur.
Saya tak tahu apakah pegawai pabean sekarang masih ada makmurnya, Atau lebih makmur lagi karena nilai ekspor negeri ini melambung tinggi.
Ekspor crude palm oil -cpo- batubara atau bijih nikel. Atau juga karena impor barang cinanya berjibun Sementara cukai rokoknya bergepok.
Kemakmuran pegawai pabean hanya bisa saya kenang. Terutama di negeri bertuah tuan tapa di ‘aceh ketelatan’ itu dulunya pernah menjadi pelabuhan ekspor.
Pelabuhan ekspor di era barter tahun lima puluhan hingga awal enam puluhan. Pelabuhan ekspor yang menyebabkan kapal-kapal datang dan pergi.
Biduk dan boat menyemak di ceruk lautnya. Memunggah hasil bumi.
Ketika pelabuhan negeri tapa itu menjadi pelabuhan ekspor Anda belum lahir Jadi pasti Anda tak tahu apa dan bagaimana dagang barter sesungguhnya.
Dagang barter karet, kopi, pinang, pala, cengkih dan nilam. Untuk menyebut sedikit dari ekspor yang dibarter dengan gula, tekstil, terigu dan entah apa lainnya yang menyebabkan gudang “boom” melimpah.
Dagang barter itu lewat Penang dan Singapura. Untuk kemudian lanjut ke Eropa dan Amerika. Atau Jepang. Cuan China belum berdentang. Masih dikekang oleh komunis ala “maoisme”. Masih miskin.
Kala dagang barter itu saya masih kanak-kanak. Tapi sudah menyimpan pernik keindahan di memori. Pernik tentang kemakmuran ketika buruh pelabuhan hidup berkecukupan,
Saya sendiri hampir tersedak ketika pembicaraan kami sampai ke sana. Ke Aceh yang nggak punya pelabuhan ekspor.
Padahal ketika ia mengatakan itu saya sedang menghirup kuah bumbu kepala kakap di restoran medan baru, krekot, Jakarta Pusat.
Kepala kakap restoran medan baru, yang katanya milik seorang “aneuk asoe lhok” asal Ulee Kareng. Katanya juga, ikan kakapnya didatangkan dari laut Krueng Raya.
Entahlah ya. Mungkin hanya promosi untuk cuannya. Karena satu porsi tukarannya empat lembaran “peeng mirah.”
Ohh… sedakan saya hari itu hampir saja mubazir. Karena kepala kakap itu datang dari traktiran aneuk keumuen. Untuk menghentikan sedakan itu saya harus menetralkannya lewat sedotan ice oranye.
Tidak hanya pelabuhan tuan tapa saja sebagai ekpor-impor. Pelabuhan Kuala Langsa lebih dari itu. Ramai dan ramai.
Tapi kini semuanya senyap. Bahkan palabuhan Kruenggeukueh yang dibangun di era gas, pupuk dan kertas juga kesepian.
Saya mafhum apa yang dikatakan pejabat pabean tentang tak ada pelabuhan ekspor di Aceh. Ukuran dan aktifitasnya beda dengan isian kepala saya dan Anda.
Isian kepalanya tentang pelabuhan ekspor ada representatifnya. Ada gudang, forklift raksasa plus kolam sandar yang kedalamannya sekian meter lengkap dengan lapangan penumpukan container,
Untuk itu saya saran Anda jangan berdebat tentang pernyataan sang pejabat bahwa Aceh tak punya pelabuhan ekspor. Saya saja cukup mengamini pernyataannya.
Ukuran lain, aktivitas ekspor-impor di pelabuhan yang ada di Aceh masih belum seramai di daerah lain. Ada sejumlah hal yang membuat pengiriman barang ke luar negeri terhambat
Ya… kita punya banyak bahan baku yang bisa diekspor. Masalahnya, ternyata, kita tidak ada konsolidator yang bertugas mengumpulkan barang-barang tersebut.
Gudang logistik juga belum tersedia dengan ukuran yang layak. Seharusnya pemerintah daerah membangun gudang layaknya di provinsi untuk kemudian disewakan ke eksportir.
Lainnya? Yang lebih gawat.ternyata kita tak punya sebuah sistem administrasi. Administrasi ini termasuk konsolidator tadi yang bertugas melakukan konsolidasi.
Bila sudah ada konsolidator barang dari seluruh kecamatan dikumpulkan kemudian baru dipanggil kapal untuk menjemput.
Selama ini, tentu saja sejak dulu, pengusaha Aceh masih mengekspor barang lewat Belawan.
Lantas kalau ada bahan baku dan pelabuhan representative apakah urusannya klop dengan kedatangan kapal? Harusnya ketika mengekspor barang lewat jalur laut, kapal yang kembali harus membawa barang.
Jangan terjadi barang yang ekspor ada, kapal baliknya kosong.
Kenapa?
Kegiatan penyangga aktivitas industri lain tidak kita bangun. Contohnya produksi tong sampah, tisu, plastik tidak ada. Kalau ada pabrik, berangkat bawa barang, pulang bawa bahan baku.
Akibat tidak ada barang yang dibawa pulang mengakibatkan biaya pengiriman barang keluar negeri membengkak. Eksportir disebut harus menanggung biaya kapal pulang-pergi.
Ini yang harus dibangun. Bagaimana kemudian pemda punya tanggungjawab untuk mendorong agar industri yang menghasilkan nilai tambah.
Pengusaha selama ini mengekspor berbagai produk seperti minyak sawit mentah, pinang, kopi, halia, dan jeruk nipis ke sejumlah negara. Rata-rata pengiriman barang dilakukan lewat Belawan.
Dari satu koma dua juta ton cpo, enam puluh persennya lewat Belawan. Hitung saja beberapa persen dari jumlah itu yang dikirim lewat pelabuhan di Aceh.
Jangan-jangan tisu aja pun harus datang di sononya.[]
- Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”