ACEH masih miskin. Masih termiskin di Sumatera. Lima besar di Indonesia. Sejajar dengan banyak provinsi di Papua.
Angka miskinnya nambah. Sedikit. Sebelas ribu orang lebih untuk menggenapi angka delapan ratus ribu sekian. Yang saya nggak mau menulisnya. Cari sendiri aja.
Persentasenya?
Ya… itu yang masalah. Tinggi. Menohok diangka empat belas koma tujuh puluh empat persen. Atau, pasnya delapan ratus delapan belas jiwa dari jumlah penduduk yang nggak sampai lima juta jiwa.
Karena angka nambahnya nggak banyak tak ada heboh di atas permukaan. Hebohnya hanya di bawah permukaan. Heboh tahu sama tahu yang tak menyertai jejeran papan ucapan selamat seperti tahun lalu.
Jejeran papan bunga ucapan selamat di depan gubernur Nova Iriansyah berkantor. Yang kini sudah digantikan oleh Achmad Marzuki. Sebagai Pj. Achmad Marzuki yang mayor jenderal pensiunan.
Raibnya papan ucapan selamat itu, mungkin,…. ini mungkin…. karena gubernurnya bukan Nova. Nova yang banyak dibenci tapi juga dirindui.
Ahhh…sudahlah … Itu nasib Nova..
Saya menunggu lebih satu bulan heboh itu datang. Sejak badan pusat statistik merilis angka kemiskinan itu enam belas januari lalu. Menunggu heboh di media lokal plus demo kecil. Plus papan nama. Tapi apes. Tak datang-datang.
Nggak juga datang dalam bantahan seperti tahun lalu dari teman saya Teuku Ahmad Dadek, Ketua Bappeda Provinsi.
Malah dari juru bicara pemerintahan daerah yang saya tahu nama, tahu rupa dan dan tak pernah tahu sapa, bersuara datar. Hanya menjelaskan. Ya… saya anggap saja sikap tawadhuk. Alhamdulillah.
Yang penjelasannya tak perlu saya tulis. Sebab dalam sebuah tulisan essai macam begini bisa bernada banci. Yang artinya nggak ke mana-mana.
Kalau dari anggota dewan? Wkwkwk…. Nggak mungkin. Mereka kan sibuk dengan pokir. Pokok-pokok pikiran. Itu lebih penting. Ujungnya proyek. “Peeng mirah.”
Lantas dari media? Sama saja. Media lokal, yang kini, jumlahnya seabrek seperti lupa meng-“obok-obok” rilis be-pe-es tentang Aceh miskin. Kalau pun ada yang menulisnya: masih dalam hitungan jari tangan.
Ketika saya tanya ke seorang jurnalis junior kemarin sore kenapa nggak ada heboh berita aceh miskin, ia tersenyum. Tak ada komentar. Yang lantas saya candai. Rupanya media lokal lebih tertarik dengan pokir.
Ia malah mengangguk. Ternyata pokir-pokok-pokok pikiran- lebih menarik karena menyangkut usulan proyek. Proyek kan banyak duitnya. Kan juga bisa meleleh dan berceceran ke banyak kantong.
Mungkin juga ke kantong wartawan… wkwkwk…
Sebelumnya saya punya ekspektasi tinggi dengan Aceh miskin ini yang secara politik tentu bisa menambah panas tahun politik.
Sebagai lembaga data be-pe-es harus mengumumkan hitam adalah hitam. Putih bukanlah jingga.
Data tidak beragama. Tidak bersuku bangsa. Dan tidak berpartai. Aceh tetap miskin.
Maka kita terima saja data Aceh miskin ini.Yang membuat orang di Aceh tidak panik adalah: apalah arti sebuah angka.
Saya sendiri juga terobsesi dengan jargon “apalah arti sebuah nama”.
Jadi so far.
Siapa peduli. Toh tingkat kemiskinan sudah tinggi sejak dua puluh tiga tahun terakhir. Atau mungkin lebih.
Penyebabnya?
Itu tadi. Jumlah penduduk yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lain. Di samping itu, optimalisasi dari sumber daya masih rendah.
Sebut saja kopi, yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia.
Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga tidak mempunyai daya jual yang lebih tinggi. Ya… Mungkin karena Medan masih menjadi pusat ekonominya.
Ini hal yang terbaru yang saya peroleh dari diskusi dengan seorang teman di bappenas. Ternyata kebanyakan masyarakat Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.
“Orang Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada pengeluaran untuk makanan sehari-hari. Inipun pasti akan mempengaruhi profil pengeluaran. Di mana kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pola makan dan kalori,” tuturnya.
Lantas dana otonomi khusus? Sambil ketawa sang teman nyengir. “Udah digelontorkan seabrek tapi nggak ada manfaatnya.”
Kenapa nggak digunakan untuk meningkatkan akses pasar yang lebih independen. Dari pada harus dibagi-bagi lantas dihabiskan ke Jakarta atau Medan,. Saya terkesima dengan jawabannya ini.
Rupanya sang teman tahu banyak toke bangku yang belanjanya ke mall di Jakarta atau Medan. Entahlah. Saya sendiri nggak seluruhnya tahu praktek ini.
Cara lain menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh perlu diupayakan merapikan data dengan melakukan uji coba registrasi sosial mendata seluruh penduduk di beberapa desa.
Sistem pelayanan dasar, baik pendidikan, kesehatan, maupun sanitasi air minum harus dikedepankan. Tata kelolanya harus serapi mungkin.
Juga melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberdayakan rakyat miskin melalui pemberdayaan sumber daya lokal, namanya keperantaraan.
Garis kemiskinan di Aceh seperti yang saya baca disumbang dari komoditas pangan, terutama beras. Tujuh puluh lima koma enam puluh lima persen.
Memang, kata bacaan be-pe-es kondisi ini belum sepenuh pulih di tengah pandemi.
Lantas bagaimana dengan laju ekonomi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan? Jawabnya, terkontraksi. “Luas panen padi di Aceh menurun hingga sebesar empat puluh persen.”
Angka kemiskinan ini masih disumbang oleh tingginya angka pengangguran.
Survei angkatan kerja per Agustus tahun lalu mencatat sebanyak dua ratus tujuh puluh ribu penduduk usia kerja menganggur.
Kalau angka pengangguran sebesar ini, anak kemarin saja sudah bisa menyimpulkan berapa kontribusinya dalam mendamaikan mulut-mulut yang menganga.
Dan ketika saya berbicara panjang dengan seorang kawan untuk minta klarifikasi tentang raihan juara Aceh miskin ini ia langsung mengatakan,”sulit untuk terbantahkan.”
Ia sengaja tak mau mengatakan tak terbantahkan. Ia Santun. Ia anak “nanggroe.” Memulai karier di be-pe-es dan mengakhirinya di lembaga yang sama dengan sikap tawadhuk.
“Semuanya valid,” ngon.
Ia selalu menyapa saya “ngon.” Sejak dulu. Sejak kami berboncengan naik motor merk honda tipe ce-be. Sejak kami sama menjadi ca-ma. Calon mahasiswa di unsyiah. Juga sejak sama-sama kuliah hingga berpisah menjalani profesi masing-masing.
Dalam pembicaraan kami itu ia membuncahkan semua data. Baik macro maupun micro hingga bagaimana memfinalisasinya. Kalau sudah begitu saya tinggal manggut-manggut.
Manggut yang mumet. Kan saya orang jurnalis. Orang jurnalis itu bisa mual dengan angka-angka yang beranak pinak.
Nah, saya sebut saja nama depan teman saya itu. Walau hanya nama pangkalnya. Ham…
Di ujung pembicaraan itu saya pura-pura acuh sambil mengajukan gelitik pertanyaan.
“Bagaimana Ham, kalau nanti para pejabat, dari gubernur dan semua apit awenya bersuara koor menganulir semua hasil data be-pe-es itu.”
“Ngon bicara macam wasit sepakbola aja. Ada kata anulir. Kan ini data yang validitasnya sudah teruji. Standarnya dunia. Diadaptir dari lembaga sehebat word bank, unesco …,” ujarnya sambil mengulum senyum. []
- Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”