MEDIA cetak telah mati. Kalaupun ada yang hidup sakratulmaut hampir bisa dipastikan akan datang menjemput. Persoalannya, tinggal waktu.
Itu candaan saya ke seorang teman yang masih ngotot menerbitkan media cetak miliknya. Canda itu saya lemparkan begitu saja usai dia mengeluarkan unek-unek betapa sulit untuk tetap eksis.
Canda itu juga membuat langkah kami gontai untuk menyudahi putaran kelima track lapangan Blang Padang, Banda Aceh, di ujung pekan lalu. Blang Padang yang lokasinya persis di pusar kota.
Blang Padang yang hari saya datang, usai pisah lebih satu tahun, baru saja bersolek dengan kios-kios baru sponsor BSI dan kaki lima dan track luarnya yang dibeton apik.
Blang Padang memang magnet Banda Aceh. Magnet sejak dulu.
Yang dulunya merupakan lapangan pacuan kuda di era Iskandar Muda. Yang entah bagaimana hukum warehnya hingga menjadi milik Kodam Iskandar Muda. Mungkin karena adopsi nama. Entahlah…
Teman tempat saya melepas canda itu pemilik sebuah koran yang sebagian kegiatannya telah beralih ke online. Hanya sedikit bagian yang masih cetak. “Untuk menampung iklan,” katanya.
Saya tahu arti kata “menampung” dalam ocehannya di pagi itu. Menampung bak keranjang jaring yang banyak bocorannya. Menampung iklan instansi. Ya sudah… Anda pun tahu…
Kesulitan media cetak memang massal. Banyak di antara pemiliknya membuat keputusan salah. Bertahan dengan gengsi. Akhirnya ludes setelah tak punya uang.
Atau pun bertahan untuk brand. Sebab memelihara brand untuk image itu perlu. Perlu sekali. Seperti juga dikatakan “ngon” saya di sebuah media besar-dulunya- di kawasan Palmerah.
Brand image yang menyebabkan grup besar itu puyeng membiayai operasional. Puyeng karena tak ada iklan yang singgah. Yang memaksa manajemen mengurangi halaman.
Yang dulunya media itu berhalaman khusus yang ketebalannya terpaksa dibagi-bagi. Yang kini hanya tinggal satu bagian. Enam belas halaman.
Tapi ada juga yang cepat ambil keputusan. Seperti seorang teman saya lainnya pemilik sebuah koran regional.
Ia mengambil keputusan cepat sebelum maut menjemput, Asset dijual. Duitnya bisa bayar pesangon. Kelebihan duitnya bikin usaha lain. Travel. Eksis. Dan selamat.
Itu cerita dan nasib pemilik media cetak.
Saya sendiri jurnalis produk cetak. Jurnalis majalah dan surat kabar. Jurnalis “kutu loncat.” Gonta-ganti media.
Sebagai jurnalis kutu loncat saya tahu misi dan visi media cetak .Media yang statis dan mengutamakan pesan-pesan visual.
Media yang terdiri dari lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto, dalam tata warna dan halaman putih.
Saya juga tahu, sejak satu dekade terakhir, media cetak punya pesaing yang makin mengerdilkan perannya. Media digital. Online dan medsos.
Tahu juga media cetak sekarang sudah dinilai ‘usang’ karena kondisi perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Kecepatan digitalisasi itu bak jet tempur. Rasanya baru saja ritual jurnalis media cetak saya tinggalkan. Ketika ia menjadi patron. Menguasai semua konsumen.
Yang sekarang ketika saya sadar ternyata masyarakat lebih suka mengambil informasi dari telapak tangan. Lewat klik dan tut tut dengan modal internet ketengan.
Media cetak pun berada di sakratulmaut. Anda tahu betepa hebatnya kompas, sinar harapan, pos kota atau pun republika. Anda juga tahu analisa, waspada dan medan baru di tingkat regional.
Bahkan …. saya tak mau menyebut nama, karena pernah menjadi sesuatu di sana, di tingkat lokal juga hebat dengan oplah berjibun. Semuanya sedang dan sudah gulung tikar alias bangkrut.
Secara tematis kekalahan media cetak karena price yang relatif mahal. Sedangkan di dunia digital saat ini seseorang hanya bermodal koneksi internet yang harganya jauh lebih murah untuk mencari berbagai hal pengetahuan.
Media digital jauh lebih cepat dan gampang dalam proses penyampaian informasi. Di samping itu faktor tren teknologi canggih semakin banyak yang memiliki gadget
Media online secara default dapat menjangkau orang-orang secara global, dengan kata lain orang-orang di seluruh dunia dapat mengakses-nya.
Selain itu media cetak tak cocok buat iklan jangka panjang. Masa pakai koran yang singkat maka tak profitabel, khususnya pada produk koran harian.
Kekurangan media cetak yakni cuma berisi tulisan dan gambar dalam menyajikan informasi, sehingga tampak monoton.
Adapun media online dapat menyajikan informasi dalam bentuk audio dan video, sehingga memberikan pengguna pengalaman yang lebih baik.
Dengan semakin menguatnya jejaring sosial media, siapa pun di mana pun, bisa mendapatkan dan sekaligus menyebarkan informasi.
Perubahan paling nyata, adalah cara orang mengkonsumsi media. Dahulu, pagi diawali dengan membaca koran, lalu menonton televisi berita, dan mendengar radio.
Kini, dengan gadget dan telepon pintar, semuanya berubah. Facebook, twitter, blog, juga segenap isian internet, menjadi sumber informasi utama.
Bla..bla..bla … lain masih banyak kalau diketeng.
Terutama nasib mereka yang berada di bawahnya dan di bawah lagi. Di bawah seperti karyawan. Apa dia jurnalis atau entahlah…
Miris. Miris kehilangan kerja plus penghasilan. Atau pun kalau harus bertahan rezeki udah minim. Seperti rezeki jurnalis yang lebih banyak datang dari amplop di kantong pejabat.
Rezeki loper yang eksistensinya makin jarang kelihatan. Di tengah pasar… di kedai kopi atau di perempatan lampu stop.
Kalau pun masih bertahan seperti di lampu stop jumlah pembelinya bisa dihitung dengan jari. Yang tak penuh jari sepuluh. Seperti Azimah. Loper wanita di lampu stop fly over Simpang Surabaya.
Azimah punya alasan untuk bertahan. Alasan cari kesibukan. Kesibukan yang tidak menyenangkan.
Saat saya menyapa ia langsung menyodorkan koran terbitan lokal. “Ini koran pertama yang laku hari ini,” ujarnya saat saya ajak ngobrol di emperan toko.
Azimah wanita paruh baya. Berjualan koran sejak dulu. Sejak gepok usungan masih mendatangkan rezeki penuh. Saat itu, ia mendapat tawaran oleh seorang teman.
Awal menekuni kerjaan loper internet dan media online mulai tumbuh, tapi media cetak masih punya harapan.
Artinya koran saat itu masih jadi daya tarik bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi terbaru.
Menurut Azimah ketika itu ia masih bisa menjual puluhan koran setiap hari. Bahkan sampai seratus eksemplar saat sedang ramai atau ada informasi menarik. Kini jumlah oplah jualannya terus menurun.
Menurunnya jumlah pembaca seturut dengan merosotnya kue iklan untuk media cetak. Hal ini membuat sumber-sumber pendapatan bagi koran menurun dari seluruh sisi.
Melihat kondisi ini, loper sebagai salah satu ujung tombak distribusi koran menjadi profesi yang sudah di titik nadir. Menunggu waktu sampai nanti tergilas zaman. Hilang dari jalan-jalan.[]
- Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”