NAMANYA Dahlan Sulaiman. Teman lama. Teman lama sesama jurnalis. Wartawan.
Teman ketika ia masih numpang tinggal di Taman Sari. Masih dengan tunggangan vespa piaggio. Tapi sudah pumya surat kabar dengan nama “berjuang” yang terbit senin-kempis.
Maaf maksud saya senin-kamis.
“Berjuang” yang menempatkannya sebagai salah satu tokoh jurnalis. Jurnalis muda aceh.
Bersama jurnalis seangkatannya. Angkatan enam puluh enam. Angkatan sorak sorai euphoria kebebasan pers.
Sebut saja nama-nama nourhalidyn, syamsul kahar, achmad chatib atau acha. Ataupun zulkifli nyak bale dan sayed mudahar ahmad untuk menyebut sedikit nama dari angkatan euphoria ini.
Sedikit nama di bawah sang pengayom husein jusuf.
Sedikit nama karena nggak termasuk saya. Yang jurnalis numpang lewat kala itu karena selisih usia dengan mereka.
Sebagai jurnalis yang memimpin media, Dahlan dikenal fighter. Fighter untuk kata berani dalam peran jurnalisnya. Berani ketika surat kabar “berjuang” melawan era “manunggal”
Manunggal abri sebagai anak mas produk orde baru lewat celotehan berita: “tangan besi danramil sama tiga menyebab matinya seorang penduduk.”
Berita yang menyebabkan sayed mudahar ahmad, pemimpin redaksi “berjuang” kala itu harus masuk pengadilan. Dihukum. Hukuman percobaan dari pasal karet “haatzai articelen.”
Pasal karet yang bisa ditarik-tarik. Yang kemudiannya popular dengan nama lain delik pers. Delik pers yang di era media sosial sekarang diubah lewat pasal pencemaran.
Pasal yang menyebabkan roy suryo, penggiat medsos harus terjerembab ke rumah prodeo.
Dahlan juga membuat catatan fenomenal lewat surat kabar harian “palapa.” Koran harian yang pertama di Aceh usai peristiwa dan atjeh post mati suri. Palapa yang juga mati suri kemudiannya.
Yang hari kematiannya saya nggak mencatatnya. Dan lupa bertanya hari, tanggal dan tahunnya dengan Bang Dahlan ketika kami ngobrol hampir lima jam di grand aceh kuliner dua pekan silam.
Dahlan Sulaiman adalah teman menyenangkan sebelum ia punya rumah besar di Lam Jamee. Sebelum punya tunggangan bmw seri terbaru.
Bahkan teman benaran sebelum jadi distributor semen andalas. Sebelum jadi pengusaha properti maupun kontraktor infrastruktur.
Sebelum ia berteman dengan fran sidi yang kemudian jadi partner bisnisnya hingga menjadi pengurus kadin yang kemudiannya ia kemudikan dengan banyak terobosan.
Banyak yang saya senangi dari seorang Dahlan. Yang saya sapa bang di pangkal namanya. Salah satu yang banyak itu adalah ia nggak mau terporosok dan berkubang sebagai politisi. Apalagi politisi kutu loncat.
Ia konsisten menjaga jarak dengan politik. Dan tak dekat-dekat amat dengan pohon beringin di era monoloyalitas. Padahal partai berlambang pohon beringin tempat banyak orang nyaman berteduh.
Dahlan lebih mengutamakan politik pertemanan. Pertemanan bisa membagi untung. Itu philosopinya.
Untung bersama. Yang saya tahu ia juga berteman dengan partai beringin. Tanpa ingin bersebarangan. Satu arus. Senang sama senang.
Konsistensi Dahlan Sulaiman lainnya selain masih “dandy” adalah intonasinya bila bicara. Datar. Sesekali ada retorika. Tapi tidak meninggi dan juga tidak terlalu rendah.
Sorot matanya masih nanar ke lawan dan kawan ngomong kalau topiknta serius. Menandakan memorinya masih cas dan nggak out fokus,
Memang, bagi sebagian orang profil utuhnya mengesankan sedikit ke atas….Itu mungkin karena ia sering berada di “atas.”
Di atas sejak menjadi aktifis. Aktifis pelajar. Aktifis kappi bersama mansor amin dan said muchsin. Mansor amin dan said muchsin yang pernah bersama saya menapak di majalah “tempo.”
Dahlan sebagai aktifis berada di celah Mansur dan Said. Mansur yang progresif dan Said yang kalem tapi makan dalam.
Said yang juga pernah bersama saya di media lokal prestise. Yang kemudian hengkang jadi legislator lewat jalur partai ka’bah. Dan saya sendiri tak tergoyahkan dengan profesi jurnalis. Harga mati.
Sampai….
Dahlan secara usia berjarak empat tahun dengan saya. Jarak yang nggak terlalu jauh tapi tidak juga dekat. Sebab beda usia empat tahun itu cermin dari strata pendidikan.
Strata seperti lanjutan atas dan lanjutan pertama.
Juga ada strata yang beda lainnya. Dia aceh dalam sedangkan saya aceh luar… hahaha..
Sebagai aceh dalam Dahlan mafhum dengan eleganitas. Eleganitas aceh yang bangga dengan kesejarahan. Kesejarahan eksistensi kenusantaraan. Seperti kenusantaraan kampung kelahirannya.
Gampong Lhoknga. Lhoknga yang lebih barat dari rayeuk-nya aceh. Sebab rayeuk-nya aceh melingkar dan terputus karena sejumput tanahnya sudah menjadi negeri kutaradja.
Lhoknga, yang dulu ditulis baku dengan Lhok Nga, bagi Dahlan adalah metropole. Metropole karena di sana ada pelabuhan laut dan bandara.
Bandara yang melegendakan nama zainal abidin dan maimun saleh. Untuk menyebut dua nama pilot pesawat capung militer.
Pilot empat belas kadet anak aceh ditahun seribu sembilan ratus empat puluh sembilan yang menjadi murid akademi angkatan udara Lhoknga.
Yang kemudian melanjutkan pendidikan di Kalijati, Jawa Barat.
Kalijati yang menjadi kunjungan rutin saya dulu ketika masih menjadi jurnalis sebuah mejalah berita di Jakarta.
Kalijati tempat abang dan ipar saya merintis karier sebagai perwira muda angkatan udara di era Umar Dani.
Kalijati yang menyebabkan nama komodor Zainal Abidin anak Lhoknga meninggalkan jejak sejarah panjang peran aceh dalam angkatan perang negeri ini.
Yang jejak dari Maimun Saleh sebagai pilot legendaris diabadikan dengan monument pesawat tempur baling-baling di Aneuok Galong.
Jejak sejarah yang masih menjadi serabut di akar memori Dahlan. Memori kanak-kanaknya. Memori ketika jalinan ingatannya tumbuh.
Tumbuh bersamaan dengan eksistensi Lhoknga–Leupung-Lhoong menjadi entitas aceh rayeuk yang elitis. Saya tahu persis dengan elitism Lhoknga–Leupung–Lhoong ini.
Saya tidak hanya mengenal seorang Dahlan untuk elitisme ini. Saya masih ingat banyak nama lain dari rantai sisi barat aceh rayeuk ini.
Ingat bagaimana tampilan seorang Din Pawang Leman. Zamzami maupun Agam Patra. Mereka semua humble.
Ke-humblean-nya masih meninggalkan jejak hingga trah keturunan mereka di Jakarta.
Untuk elitisme Lhoknga-Leupung-Lhong inilah seorang Dahlan didekade lalu menyemburkan obsesinya untuk memberi dukungan penuh terbentuknya aceh raya.
Obsesi untuk membelah Aceh Besar. Membelahnya dari Ujong Batee-Krueng Raya dan Indrapuri-Seulimuem-Saree.
Obsesi yang belum terwujud karena diganjal oleh kebijakan Jakarta untuk menghentikan pemekaran provinsi dan kabupaten-kota.
Obsesi Dahlan di banyak komunitas tak lepas dari jalan awal kehidupannya sebagai aktifis. Aktifis plus jurnalis. Jurnalis yang menjadi megalomania dalam jiwa entrepreuner.
Makanya suara Dahlan terhadap problema aceh tak pernah berhenti. Hingga kini. Ketika fisiknya mulai rapuh. Rapuh digergogoti gula darah tinggi, jantung yang tidak lagi berdegup normal.
Yang ketika saya bertemu dan menyapa dibanyak kesempatan ia selalu berujar: ”kesehatan saya sering menjadi masalah.”
Faktor kesehatan ini yang menyebabkannya sering absen dalam banyak urun rembuk di komunitas pengusaha. Pengusaha yang terus mengalami penurunan di dekade terakhir.
Pengusaha yang tak pernah dirinci berdasarkan sektor dan subsektor usaha ataupun berdasarkan kualifikasi: kecil, menengah dan besar. Seperti yang ia maui.
Parahnya lagi pengusaha ini tak pernah mendapat pembinaan. Terutama yang bergelut dalam kelompok usaha kecil dan menengah.
Tak ada pelatihan ataupun solusi untuk memudahkan akses permodalan serta dukungan terhadap pemasaran produk mereka di tingkat lokal alih-alih ke luar negeri.
Persoalan entrepreuner aceh hari ini terletak pada ketidakmampuan mereka mendatangkan investor dari luar. Ia yakin bila difasilitasi mereka pasti datang.
Masalah investasi ini menjadi kenyinyiran panjangnya. Nyinyir panjang karena pergulatannya yang panjang di sektor ini
Nyinyir ketiadaan regenerasi. Regenerasi dari nv permai-cv lubok-azeyma hingga puspa dan sederet nama lain yang saya sendiri tidak hafal tapi pernah menikmati kiprahnya.
Kiprah free port, barter hingga industry dasar skala kecil-menengah.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”