Kokas Rubiah

Darmansyah

KEMARIN saya disuruh datang ke kota kasablanka. Sering disingkat kokas. Sebuah pusat perbelanjaan, perkantoran dan hunian apartemen milik grup pakuwon jati. Oleh seorang teman. Teman benaran.

Teman yang berkantor di kokas. Teman pemilik consultan tax and biznis.



Disuruh datang bukan karena ada hubungannya dengan kasus perpajakan yang menimpa rafael alun sambodo. Yang kasusnya bergulir bak bola liar.

Ahh… siapalah saya kalau dihubungkan dengan kasus rafael yang telah membuat menteri keuangan sri mulyani cemberut di banyak talk show karena nyeleneh menko polhukam mahfud md.

Nyeleneh mahfud md tentang dana cuci uang tiga ratus triliun rupiah. Nyeleneh yang dicuci beritanya oleh media, medsos dan manstrem, sebagai kasus korupsi di kementerian bu sri.

Kasus Rafael itu sendiri menyebabkan banyak consultan tax tiarap. Tak kecuali milik sang teman.

“Kita tiarap dulu bung. Tiarap sembari kerja ekstra karena batas akhir penyetoran  es-pe-te makin dekat. Akhir maret,” katanya dengan nada datar.

Kokas sendiri, tempat sang teman berkantor, terletak di kawasan jakarta selatan. Persisnya di jalan casablanca kaveling delapan delapan. Yang kecamatannya menteng dalam, tebet. Yang operasionalnya kalau saya nggak keliru agustus sebelas tahun silam.

Kedatangan saya ke kokas bisa dikatakan special. Dijamu dengan makan siang plus bla..bla..bla yang panjang. Blaa..bla..hanya untuk cerita gapang … rubiah… dan iboh..

Gapang-rubiah-iboh yang menjadi travelling wajib sang teman.  Travelling freediving. Di setiap kesempatan jeda kerja. Yang tiga tahun terakhir nggap pernah ditakziahinya, Sejak covid mewabah.

Kedatangan saya hanya ingin mengusap memorinya kembali setelah saya beritahu tentang event sabang marine festival. Yang ia bertanya apakah event ini sama dengan sail sabang.

Yang pertanyaannya saya teruskan ke teman penjabat di sabang, reza fahlevi. Karena saya tidak berhak menjawabnya. Tak punya hak jawab istilah kami kaum jurnalis. Yang dijawabnya: tidak sama.

Gapang-rubiah dan iboh bagi sang teman adalah rantai surga. Ia bisa sangat sentimental kalau bla,,bla.. tentang tiga rantai travelling itu.

Rantai surga yang dulunya saya memasukkan ke memorinya. Untuk kemudian memandunya diawal perkenalannya. Untuk kemudian jatuh cinta. Yang Anda sendiri tahulah orang “bucin.”

Maaf teman. Yang nggak mau menyebut namanya. Itu kesepakatan. Off the record bahasa kerennya.

Di hari saya datang dan cerita tentang rubiah-gapang-iboh ia sempat ecstasy. Gembira yang luar biasa. Ecstasy yang sering dipelesetkan orang sebagai pemadat. Pemadat narkoba.

Apalagi hari itu saya menyertai pertemuan itu dengan hadiah sebungkus arabica gayo mountain coffe pantan musara yang ada titik..titiknya.

Simaklah penggelan kalimat sentimentilnya ini dalam sebuah tulisan yang pernah ia kirim ke saya dulu.

“ …..  ketika kami tetirah tiga tahun lalu ada pusaran angin liar sedang  menggelitik  curah hujan hingga  menabrak dinding penginapan dan menyiram teras depannya menjadi genangan.”

Di laut, arah Pulau Rubiah,  gelombang berjingkrak liar  bagai “transedental” menarikan gerak simetris berbanjar bak tarian seudati.

Berlari, beriringan,  manampar  tubir karang dan menggemuruhkan ombak bagaikan tambur ditalu untuk kemudian   menyerakkan  jejak buih  hingga menjilat  garis pantai.

Barisan pohon ketapang, sepanjang tumit “gampong” turis itu, ikut meringis ketika di tendang taifun kecil, membuat  dahannya  gemetar,  dan  pucuknya  mengusap atap “home stay,” tempat kami berlindung,  hingga mengeluarkan bunyi kraakkh… kruuukkh yang sesekali berderak dan kali lainnya bergemeretak.

Serombongan turis lokal, yang setengah jam lalu masih asyik bermain dengan riak ombak di bibir pantai, dan baru saja menyelesaikan penawaran jasa  penyeberangan, perahu berkaca di lambungnya

Perahu berkaca yang membawa mereka ke taman laut pulau Rubiah, terpaksa menunda jadwal keberangkatan sembari  berteduh di selangkang pondok pantai yang atapnya sudah tercabik.”

Asik kan……

Bagi sang teman yang punya hobi travel ekstrim itu gapang-rubiah-iboh adalah kenikmatan yang paling ….

Saya sendiri yang nggak candu-candu amat dengan travelling mengakui taman laut milik weh itu sangat eksotik.

Eksotik ketika untuk pertama kali datang yang disambut langit cerah, angin  bertiup sepoi dan laut tenang bak permadani yang  menjalarkan riaknya  hingga ke  teluk sabang,

Cuaca Gapang, dengan ombak laut yang  menukikkan  angin  beliung dan hujan lebat, biasa  datang dan pergi tanpa memberi salam awal dan, biasanya lunglai dalam hitungan jam.

Cuaca  weh memang sulit di forcast.  Banyak turis, baik backpeaker maupun komunitas yang mengiyakan  tentang hujan lebat  berumur ringkas.

Hujan ringkas, gelombang yang sulit diramal  serta petualangan terumbu karang merupakan na   lintas  “avanturir”nya, petualangannya weh.

Simak petualangan  van de boer. Yang Anda pasti sudah tahu muasalnya. Muasal nama.

Seorang operator senior di bandara schipool, netherland, yang tak pernah alpa menyisihkan gumpalan  guldennya bertamu ke Gapang, Rubiah dan Iboih , serta menuliskan penggalan pengalaman di  pulau itu  dalam ”blog”nya.

Bahkan si bule yang oleh komunitasnya sesama “diving” dan “snorkeling” dihardik dengan nama panggilan si “pungo” itu termasuk turis asing yang paling  rajin berkicau  di akun  twitternya.

Kepada para pencinta weh di seantero europe ia meuhambokan kutipan kalimat nanggroe yang  “hura”  “pajan lom piyoh” ke gapang

Kalimat ini ketika kami membuka akunnya makin diramaikan lagi dengan seruan,  “ayo ramaikan weh,  kapan bisa datang lagi, dan kembali datang lagi.”

Bahkan lelaki jangkung yang  masih melajang itu tak segan-segan  menuliskan sebuah “introducing” di “blog”nya dalam bentuk essay tentang weh yang dikutipnya b;og Wikipedia.

Sembari  memberitahu setiap ada temuan terumbu  karang baru atau jenis ikan  langka sekaligus titik lokasi dan rumah karangnya.

Ia juga mencatatkan dirinya sebagai penikmat nomor satu taman laut Rubiah dengan kalimat kacau, “Ik number one aneuk Gapang.”

Entah apa maksudnya kalimatnya, yang pasti si bule tak pernah alpa  melewatkan jadwal liburan tahunannya diseputar Gapang, Rubiah dan Iboih hingga bisa mengeja bahasa  Aceh dan Indonesia  secara campur aduk.

Untuk itu pula ia bisa hafal tingkah cuaca tanpa harus mengerinyitkan kening.

Ik haben cuaca Gapang,” ujarnya mempertegas kemampuannya membaca cuaca di pulau “vrij haven” itu.

“Jangan pernah merisaukan  cuaca di sini walaupun sulit untuk di”forcast,” kapan hujan, angin kencang  serta gelombang tinggi yang berjingkrak”.

Cuaca Gapang,  menurut  sang bule, khas sketsa alam Weh yang terbuka menerima putaran arus  laut Andaman di ujung Rondo.

Jingkrak tarian angin Phuket dari Teluk Siam, uap air Langkawi  yang mengapung di langit  Selat Malaka dan arak-arakan awan hujan Pulau Aceh yang tak pernah memberi  salam kedatangan untuk melintasi

Balohan di belahan barat pulau, menyusuri  bukit Sabang  dan  menyapu daratan  Iboih di utara.

Cuaca khas,  dari rengek hujan renyai ditengah terik matahari siang hingga gumpalan awan hitam yang beringsut untuk mengecoh ramalan cuaca  tanpa pernah menumpahkan gerimis sedikitpun.

Gapang, di lekuk pinggang Weh,  berjarak 7 kilometer lewat  jalan memintas dari Teluk Sabang, dipertautkan secara emosional dengan Rubiah di ketiak  kanannya, untuk kemudian  menyambung  ke  ujung tanjung sebagai  langkah  melingkar  menggapai Iboih.

Tiga lokasi ini membentuk rantai  “surga”  bagi penikmat “diving” dan “snorkeling” tingkat dunia. Surga  tumbuhan coral  sebuah  pulau atol yang proses terbentuknya mengalami pengangkatan dari permukaan laut.

Tak salah bila jejak atol vulkanik batuan “tuf marina” yang terdapat sepanjang pantai Weh, hingga pada ketinggian 40 meter, menyebabkan coralnya menghunjam ke laut lepas dan menjadikan kehidupan bawah air antara Gapang, Rubiah Iboih hingga ke Rondo tak  bisa ditandingi keindahannya.

Keindahan sebuah resort terumbu  karang dengan tanaman  lautnya yang dibentuk oleh alam  dan dilestarikan menjadi sebuah kawasan  seluas dua ribu enam ratus  hektar dengan label “special nature reserve.”

Label yang dipatenkan  bagi para pencinta dasar laut untuk menghamburkan gairah birahinya bersama octopus, stringley, angel fish, gigantics dams maupun lion fish.

Label  makhluk karang yang dihafal monokelaturnya oleh para penyelam dunia sebagai daftar panjang  disetiap “book diary” mereka.

Monokelatur yang tak pernah menjadi catatan kaki, sekalipun,  di habitat birokrasi  otoritas Sabang karena mereka keasyikan sendiri  menjual mimpi gosong tentang “buffer stock zone, refennery, memorandum of under standing” dan entah apa lagi, yang  “fiesta” telah berakhir.

“Fiesta”  dari mimpi yang diterbangkan ke langit khayal dan  hingga kini lengket sebagai retorika tentang  keunggulan  Sabang sebagai tombak cerita perdagangan Selat Malaka.

Tombak perdagangan ketika kemampuannya sampai pada batas mengimpor mobil rongsokan yang tergeletak jadi “bangkai” diselangkang kebun kelapa di Kota Atas.

Kehebatan yang hanya bisa ditumpahkan dalam  “website” menyesatkan dan kalau pun di klik  isinya  hanya  kumpulan cerita angan-angan tentang  dana proyek  yang bisa diolah untuk bancakan. []

  • Darmansyah adalah wartawan senior, Penulis “Kolom Bang Darman”