MEUGANG hanya ada di Aceh. Tradisi masak daging (kerbau, sapi, kambing, ayam, bebek) menjelang masuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha tersebut sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu, konon sejak zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tradisi yang sangat sakral itu begitu terjaga. Begitu terawat. Menjadi sesuatu yang ‘aib’ jika ada kepala keluarga yang tak bisa membawa pulang daging meugang untuk dimasak dan disantap bersama anak istri. Berikut laporan Portalnusa.com yang dirangkum Imran untuk tulisan ringan sambil menikmati santapan daging meugang menjelang Ramadhan 1444 H yang dimulai 23 Maret 2023.
Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di satu tempat di Aceh, seorang suami terpaksa memotong (maaf) kemaluannya karena tak tahan dengan sindiran istri karena tak mampu membeli dan membawa pulang daging meugang.
Sang istri, yang sedang menunggu harap-harap cemas di rumah, ketika melihat suaminya pulang tanpa membawa daging, dengan spontan menguarkan kata-kata, “neukoh mantong atanyan neujok ke asee (potong saja ‘milikmu’ lempar untuk anjing).
Suami yang mungkin sedang panik, dan merasa harga dirinya terusik, tanpa pikir panjang langsung mengeksekusi ‘perintah’ istri. Malapetaka di hari meugang itu pun terjadi. Tragis.
Meski cerita itu tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi pesan yang ingin disampaikan adalah betapa pentingnya meugang di kalangan keluarga dan masyarakat Aceh. Istri kehilangan kontrol ketika bicara dengan suami yang tak bisa membawa pulang daging meugang, dan suami pun gampang kalap sehingga apapun dilakukan.
Dari berbagai referensi, tradisi meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh (1607-1636 M)
Sultan Iskandar Muda menyembelih hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan terima kasih kepada rakyat atas kemakmuran yang dicapai.
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan Belanda pada 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi meugang juga dimanfaatkan oleh pahalawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan
Megang Ramadhan 1444 H
Pantauan PortalNusa.com, kemeriahan suasana meugang terlihat menjelang Ramadhan 1444 H, terutama di sentra-sentra penjualan daging di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, dan seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Di pusat penjualan daging meugang Ulee Kareng, pada meugang hari kedua, 22 Maret 2023, harga daging berkisar Rp 170.000-Rp 180.000 per kilogram.
Seorang penjual daging mengatakan, permintaan daging meugang relatif tinggi sehingga penjualan daging yang sudah berlangsung tiga hari berturut-turut menjelang Ramadhan tetap disesaki masyarakat.
Lazimnya, masyarakat Aceh memulai tradisi meugang dua hari sebelum Ramadhan, ini disebut meugang kecil. Sedangkan meugang besar dilakukan sehari sebelum Ramadhan.
Meski harga daging terus melonjak setiap kali meugang, permintaan nyaris tak pernah kurang. “Bagi masyarakat Aceh nggak ada masalah berapa pun harga daging. Tradisi meugang hanjeut hana (tidak boleh tidak),” ujar seorang warga yang sedang memilih-milih daging sapi di Pasar Meugang Ulee Kareng, Rabu, 22 Maret 2023. []