KEMARIN… dan kemarinnya lagi …saya menulis di sebuah kolom tentang “qanun tersesat.” Qanun yang saya tak mau mengulang artian dari sisi akar katanya. Qanun yang idem dito-nya peraturan daerah.
Peraturan daerah, popular dengan sebutan ringkas perda. Yang stratanya berada di bawah undang-undang. Yang sebenarnya juga undang-undang di daerah. Di daerah provinsi, kabupaten dan kota.
Undang-undang yang secara materialnya bisa ditolak atau dibatalkan oleh menteri dalam negeri jika bertentangan dengan undang-undang negara. Undang-undang negara saja bisa dibatalkan.
Yang membatalkan mahkamah konstitusi. Contohnya undang-undang cipta kerja. Dikenal dengan omnibus law. Dibatalkan atau .. entah ditolak. Yang kemudian diutak-atik lagi. Dibuat perpu-nya.
Diajukan lagi ke de-pe-er. Disahkan.
Apakah diajukan digugat lagi untuk kemudian dibatalkan dan dibuat perpu baru… saya nggak tahu dan nggak mau tahu. Bukan urusan.
Tentang tulisan qanun tersesat itu saya di-complain oleh seorang teman. Rupanya ditanggapi serius karena judulnya dianggap provokatif. Yang tanggapannya saya candai: “biar aja judulnya provokatif tapi isinyakan “pro-aktif.” Ha..ha..ha….
Tapi ia ngotot. Saya layani bla..bla…bla …nya dalam diskusi durasi pendek, Di ujung bla..bla.. saya minta membaca ulang tulisan “qanun tersesat” itu. Tulisan yang nggak bagus amat.
Ketika saya share untuk di up ke editor kolom disertai dengan kata maaf. Maaf karena tulisannya ngelantur. Ada “hang”-nya. Tapi tidak menganga.
Saya tak tak tahu di mana letak provokakatifnya. Provokatif atau bisa juga dengan kata lain provokasi. Yang secara leterlijk ‘menghasut.”
Yang arti kata menghasut itu sendiri mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu.
Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung:
“Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!,” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.
Saya kira jelas apa itu arti dan pengertian kata provokatif. Kalau nggak puas juga silakan cari di google search. Bisa di wikipedia atau langsung tulis permintaan akar kata provokatif ke mbah google.
Pasti cespleng. Cespleng pula dengan saya. Yang tulisan saya “qanun tersesat.”
Kalau ada arti dan pengertian lain Anda kirim aja ke saya. Akan saya luruskan kembali jika apa yang saya tulis bengkok. Simple kan.
Makanya saya tak ingin diskusi panjang dengan si teman. Cukup dengan durasi pendek. Sebab, sebelum ia menelepon, saya mendapat tanggapan yang menyejukkan dari teman yang lain. Ia mengatakan dengan kalimat pendek: “lanjut bang..thanks.”
Bagi saya qanun-qanun yang lahir dari rahim Pemerintah Aceh-kesepakatan eksekutif dan legislatif-tidak semuanya tersesat.
Ada yang lurus-lurus saja. Lurus seperti qanun anggaran yang di dalamnya ada pokirnya. Lurus seperti realisasi “tet apam” pokir dua ratus juta rupiah di taman budaya.
Entahlah….tentang banyak qanun sepertinya harus menempuh jalan pulang. Qanun yang harus dibuatkan kembali “road map”nya agar tidak tersesat. Road map-peta jalan. Seperti halnya google map.
Qanun jalan pulang yang kalau disederhanakan dalam sebutan keren ”review.”
Seperti halnya qanun jinayat. Qanun yang diidentikkan dengan hukuman cambuk terhadap kasus yang bersifat personal, seperti zina, judi dan el-ge-be-te. Yang nyasarnya ke kalangan bawah.
Terhadap pelaksanaan qanun ini saya pernah membaca laporan investigasi dari bbc news yang menghardik. Laporan durasi pendek tapi balance dan depth.
Yang mengutip sepenggal keluhan:””Kalau rakyat kecil membuat kesalahan, itu langsung dibawa ke jalur hukum yang lebih lanjut dan lebih berat. Sedangkan orang yang ‘besar’ orang yang tinggi derajatnya, sikit berbuat salah saja tidak dibawa ke jalur hukum yang lebih tinggi.”
Ketika laporan bbc news itu dipublish gubernur Irwandi Yusuf sedang digiring ka-pe-ka dalam operasi tangkap tangan korupsi.
Banyak masyarakat ketika itu sepakat hukuman potong tangan diterapkan untuk pelaku korupsi. Pencuri dengan korupsi itu kadang-kadang lebih bahaya.
Selain qanun jinayat, qanun tentang rencana tata ruang juga harus dibawa pulang. Dibuatkan kembali peta jalannya. Qanun ini juga heboh. Heboh karena substansinya multitafsir.
Multitafsir memerlukan advokasi. Tidak hanya secara litigasi, tetapi juga nonlitigasi. Nonlitigasi sebagai bentuk kontribusi pemikiran positif dari masyarakat sipil.
Bisa saja advokasinya dari menyusun kertas kebijakan, rancangan qanun versi masyarakat sipil, dan berbagai pemikiran positif tersampaikan dalam setiap agenda pembangunan.
Unuk itu beberapa isu seperti krisis ruang budi daya untuk wilayah kelola masyarakat di kabupaten dan kota yang diapit oleh kawasan hutan dan konservasi perlu diperjelas.
Perlu peninjauan peruntukan kawasan hutan yang di dalamnya ada fasilitas umum, sosial, dan pemukiman penduduk.
Juga perlua pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses revisi, baik unsur pemerintah kabupaten dan kota, akademisi, masyarakat sipil, dan elemen lainnya.
Dalam bahasa santunnya semangat qanun jalan pulang tata ruang wilayah ini harus mengedepankan prinsip berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan.
Qanun untuk jalan pulang lainnya?
Saya tidak dalam posisi untuk membawanya ke jalan pulang ke-review. Revisi. Seperti qanun lembaga keuangan syariah terhadap dampaknya ke perekonomian.
Dampak perbedaan antara sebelum terjadinya konversi dan setelah terjadinya konversi terhadap perekonomian masyarakat terutama masyarakat kecil.
Sebagai bukan seorang peneliti atau ekonom saya beberapa pekan lalu menyempatkan diskusi warung solong dengan seorang guru besar.
Guru besar ekonomi yang bikin saya puyeng karena ia menggunakan banyak kata asing dalam pembicaraan kami. Tentang metode deskriptif analitislah ataupun ruang lingkup dan tinjauan tentang eksistensi.
Dia juga menyoroti rencana pemerintah untuk melakukan percepatan kebijakan satu peta dalam pemanfaatan ruang.
Kesimpulan sumir kami saat itu banyak persoalan investasi di Aceh tidak jalan karena pelaku usaha yang minim pemahamannya tentang kebijakan penyelenggaraan penataan ruang sehingga terjadi penyimpangan dalam pemberian izin pemanfaatannya.
Perencanaan dan pemanfaatan ruang yang terintegrasi dalam rencana tata ruang di darat, laut, dalam bumi, dan udara, dan juga harus kesesuaian dengan perizinan pemanfaatan ruang masing-masing sektor.
Akibatnya, iklim investasi di Aceh tidak ada jaminan disebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Yang pelaku usahanya termasuk Anda dan Anda.
Dan Anda yang memilih jalan pulang…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”