SAYA menunggu empat hari petir itu datang. Tapi nggak datang-datang. Padahal, setiap hari saya terus mempelototi awan hujan yang pekat ber-arak bersama komentar netizen.
Komentar yang terbelah usai geleduk yang bersahut-sahutan di gedung beratap bulat. Gedung yang mempertemukan para pelawak dalam dagelan pencucian uang. Yang angkanya minta ampun besarnya.
Tiga ratus empat puluh sembilan triliun rupiah. Hasil rekapitulasi dari PPATK. Hasil yang dipilah-pilah. Tiga pilahan.
Petir di gedung beratap bulat Senayan itu yang bak gayung bersambut nggak juga mendatangkan hujan dari mendung yang bergelayut selama delapan jam. Kata kuncinya nggak ada keputusan.
Nggak ada keputusan usai cemberut dan riak tawa menyertainya. Menyertai tuding menuding. Salah menyalahkan. Yang saya nggak tahu punca kebenarannya.
Karena nggak ada kata putus saya cukup mengucapkan … amin…. Amin sebagai makmum yang khusuk menonton lawak. Lawak yang terkadang diselingi dengan stand up. Stand up style comedy.
Yang pemainnya Anda dan siapa saja sudah tahu. Tahu karena chanel televisi berita menyiarkan tayangan yang sama. Tayangan yang tak utuh karena selingan iklan dalam durasi panjang.
Yang ini pun saya maklum. Biasalah di sebuah konser yang live. Iklannya bisa berjubel. Yang tayangan ulangnya terus diketeng-keteng. Tak utuh. Sepotong-sepotong. Untuk menghimpun cuan.
Tentang amin yang lain dan belum terucap dan terus saya tunggu selama empat hari itu adalah apakah Sri Mulyani mengundurkan diri sebagai menteri keuangan usai lawakan berdurasi delapan jam itu?
Alasan mundurnya, kalau itu jadi dan amin…. karena ia dikesankan sebagai “pembohong” oleh anak madura yang nggak takut ancaman dengan mengeluarkan ancaman balik.
Anak Madura yang dulunya pernah tersedak ketika ditawari kursi bakal calon wakil presiden. Tersedak karena ditebas oleh benturan banyak kepentingan.
Anak Madura yang kini di posisi menkopolhukam. Mahfud MD. Yang naik daun dalam tarian jemari di telapak tangan pendukungnya usai agregat duit cuci uang tiga ratus triliun di kementerian keuangan.
Duit yang kemudian nambah hingga mencapai jumlah tiga ratus empat puluh sembilan triliun rupiah. Yang tambahannya Anda dan saya nggak tahu pokok pangkalnya. Yang hitungan ruwet bak benag kusut.
Tentang Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan itu sudah lama menjadi bisik-bisik.
Bisik yang juga didengar oleh seorang wartawan media tempat saya pernah menjalani ritual sebagai jurnalis dulunya. Media yang hebat. Bisik yang makin bising usai ia dikesankan sebagai pembohong.
Yang dua kali di dua pertemuan si wartawam menanyakan ke Sri Mulyani hanya bisa mendapat jawaban dari awan muram di wajah sang menteri yang jujur dan penerima Bung Hatta Anti Corruption Award tiga belas tahun lalu itu.
Anda tentu tahu alasan di balik penghargaan itu.
“Bahwa di tengah kehidupan yang korup, ternyata masih ada segelintir orang yg teguh memegang prinsip kejujuran, dan sedapat mungkin menentang korupsi di lingkungannya”. Dialah Sri Mulyani.
Sri, yang kali ini lupa, tidak dilapori anak buah, atau takut digeser ke world bank?
Ayolah Bu Sri. Buatlah kami yakin, bahwa Anda masih seperti yang dulu. Bu Lurah yang pantas menerima Bung Hatta Anti Corruption Award
Saya tak tahu bicara Mahfud yang mengesankan Sri Mulyani berbohong itu atas dasar ‘kesadaran’ atau ‘sedang menari untuk cari posisi.
Kalau jawabannya: atas dasar ‘kesadaran’, maka seharusnya “temuan” PPATK itu dikonsolidasikan internal sebelum ‘njeplak’ ke publik.
Apalagi sampai “nyombong” bahwa Sri Mulyani “salah” dalam “membaca” data dari PPATK.
Lebay amat.
Tapi saya maklum tentang menteri yang satu ini. “Suka debat di luaran” lantas orang lain yang bersih-bersih. Kali ini Sri Mulyani yang “suka kerja” itu harus membersihkannya. Membersihkan namanya.
Namanya yang dikesankan sebagai pembohong.
Saya juga tahu dampak dari lebay mahfud akan ada bisik tambahan. Ganti saja. Mengganti Mahfud nggak susah amat. Juga nggak ada parpol yg “terganggu” karena ia memang bukan orang parpol.
Lebih baik kehilangan seorang “bintang” dari pada keharmonisan para menteri sebagai “the president’s men and women” berantakan gara-gara menko yg “sok-sokan” menyalahkan menteri yang lain.
Apalagi yang bukan menteri yang di bawah koordinasinya! Mahfud bukan orang yang ‘tak tergantikan’. Urusan keamanan sudah ada gerbang yang menyambung.
Saya yakin benar Sri Mulyani bukan tipe pembohong. Tapi ia dikesankan seperti seorang yang berusaha menutupi sebuah kejahatan.
Maka betapa sulit posisi Sri Mulyani usai dagelan komisi tiga de-pe-er itu.Kalau dia seorang yang memang dikenal suka berbohong saya mungkin cuek saja.
Persoalannya Sri Mulyani adalah orang yang selama ini tepercaya. Beda dengan tanggapan saya dengan Mahfud. Saya nggak tahu tentang kejujurannya. Yang saya tahu ia banyak agregat.
Saya juga tahu dalam kasus pencucian uang Sri Mulyani hanya menerima angka-angka kiriman PPATK. Angka yang dititipkan ke anak buahnya.
Kalau saya di posisi Sri Mulyani angka yang diberikan juga harus dipercaya Ia harus menyemangati anak buah: agar program kerja bidang keuangan mencapai target.
Sesekali dia kan harus juga membela anak buah.
Di lain pihak kini dia tidak bisa lagi menghindar: Begitu banyak anak buahnya yang menyebabkan dirinyi terpojok. Di muka publik pula. Di masalah yang begitu sensitif: Korupsi dan pencucian uang.
Sebagai menteri yang dikenal bersih, Sri Mulyani menjadi terlihat seperti tidak berdaya di dalam kandang buaya anak buahnya.
Idealisme dan keinginannya untuk bersih begitu besar. Tapi yang terbongkar sekarang ini begitu nyata: soal pencucian uang yang sampai menumpuk begitu lama dan begitu besar.
Yang saya khawatirkan dari Sri Mulyani adalah ini: jangan-jangan dia mulai berpikir, untuk apa lagi jadi menteri. Keinginan baiknya yang tinggi mentok di kenyataan kerjanya
Harapannya yang begitu tinggi kandas di keruwetan birokrasi. Untuk apa lagi jadi menteri. Gaji sebagai menteri begitu kecil. Peluangnya untuk jadi sesuatu yang lebih tinggi juga sudah hampir tidak ada lagi.
Lalu untuk apa kelelahan pikiran, mental, dan fisik Sri Mulyani. Kalau ujung-ujungnya semua pengabdian itu tenggelam oleh kasus-kasus besar seperti ini.
Keinginannya menegakkan sesuatu ternyata seperti menegakkan benang basah.
Memang ada jargon tentang pejuang sejati yang tidak frustrasi dengan kenyataan seperti itu. Saya tak tahu apa Sri Mulyani adalah pejuang sejati.
Pilih menyelesaikan persoalan yang begitu besar, begitu penting dan begitu sensitive dari pada mundur.
Yang bukan berarti jalan mundur tidak terhormat. Kecuali, yang tidak terhormat itu disuruh mundur. Dan bagi Sri Mulyani mundur itu bisa saja dengan alasan diperlukan di lembaga keuangan dunia.
Ketimbang harus bertahan dengan frustrasi terhadap banyak sodokan. Sodokan netizen yang ber-tik dengan tok menghadapi opini publik yang begitu kejam. Yang menutup peluangnya mengelak, membantah, atau meluruskan.
Ke dalam? Pasti ia harus meredam anak buah dengan perasaan jengkel yang memuncak. Kejengkelan yang harus ada jawabannya terhadap pertanyaan: apakah ia masih bisa mengandalkan mereka?
Kalau jawabannya tidak lantas siapa yang harus ia percaya. Menyerahkan kementerian keuangan ke lembaga swasta? Ernst & Young? Atau seperti dulu ketika bea cukai diserahkan ke perusahaan Prancis.
Ya, Mahfud benar-benar telah membuat posisi Sri Mulyani begitu sulit. Khususnya sebagai menteri. Bukan sebagai pribadi.
Bagaimana dengan transaksi mencurigakan yang menyangkut orang kemenkeu hanya tiga koma triliun melesat di tangan Mahfud tiga puluh lima triliun rupiah. Plus bukti.tanda terima surat.
Saya tak tahu bagaimana Sri Mulyani berkilah. Sulit. Maka pilihan terbaik ada dengan Sri Mulyani. Mundur atau bertahan.
Saya tak tahu bagaimana Sri Mulyani berkilah. Mungkin Anda tahu. kalau tahu kasih tahu jawabannya….[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”