Catatan Imran, SE., M.S.M/Portalnusa.com
TIDAK salah jika mengatakan pandemi Covid-19 adalah bencana besar dalam sejarah umat manusia. Sejak mewabah akhir 2019, bencana tersebut berhasil menciderai sendi-sendi kehidupan yang semula normal, menjadi kacau tak beraturan.
Bencana non-alam itu menyasar semua penjuru planet ini hingga tahun 2022. Berbagai upaya telah dilakukan untuk melenyapkan virus pembunuh ini. Namun nyatanya, kita dengan seksama mengakui new normal sebagai penanda babak baru bagi sejarah kehidupan manusia.
Dunia pendidikan menjadi salah satu bidang paling terdampak akibat Covid-19. Sebut contoh di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kompleks Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Banda Aceh. Pandemi Covid-19 sangat dirasakan komunitas kampus yang sebelumnya bergerak bebas melakukan aktifitas akademik tiba-tiba berjalan dalam senyap. Nyaris tanpa gerak.
Dalam rentang waktu yang relatif lama, sejumlah kampus di Kopelma, seperti USK, UIN Ar-Raniry, STAI Pante Kulu harus berkutat dengan sistem perkuliahan online yang membuat kampus terlihat lengang. Tak bergairah.
Yang lebih memprihatinkan, ketika Ramadhan tahun 2020, 2021, 2022 segala bentuk ibadah terhenti atau tidak semeriah saat normal. Masih lekat di ingatan kita bagaimana mushalla dan masjid sekitar kampus menerapkan ketentuan menjaga jarak, cuci tangan, masker, dan yang lebih ‘memprihatinkan’ mengatur shaf jarang-jarang.
Ibarat pepatah orang Aceh, pat ujeun hana pirang, pat prang hana reuda (mana ada hujan yang nggak reda, dan mana ada perang yang gak berhenti).
Pepatah itu rasanya pas jika disematkan dengan kondisi kekinian setelah kita menjalani ujian panjang dalam deraan pandemi Covid-19.
Kembali ke lingkungan bernama Kopelma Darussalam. Setelah tak ada denyut sejak 2020 hingga 2022, kini kondisinya benar-benar merdeka. Kondisi itu terekam pada hari-hari bulan Ramadhan 1444 H.
Suasana dari Simpang Galon, trotoar depan kampus Ekonomi sampai ke Simpang Tanjong Selamat menjadi ‘pasar tumpah’ selama Ramadhan, terutama pada sore hari, ketika masyarakat berburu penganan berbuka.
Suasana ‘merdeka’ itu tak hanya terlihat pada siang atau sore Ramadhan tetapi juga pada malam hari. Meunasah dan masjid penuh sesak. Semuanya seperti ‘membalas dendam’ atas kondisi terpenjara bertahun-tahun.
Kehidupan normal benar-benar telah kembali ke masyarakat. Karenanya tak heran ketika negara mengumumkan larangan buka puasa bersama karena khawatir Covid-19 akan kembali (akibat kerumunan), langsung membuat heboh. Euforia ‘kebebasan’ membuat masyarakat menganggap warning itu mengada-ada, hingga akhirnyaPresiden Jokowi meluruskan maksud imbauannya dengan mengatakan larangan buka puasa bersama hanya untuk kalangan pejabat, bukan rakyat.
Nah. Mudah-mudahan ‘covid’ yang dikhawatirkan oleh negara benar-benar tak pernah lagi menyasar rakyat. Entahlah untuk pejabat. []