Politik Anggaran APBA 2023 belum Berpihak Rakyat, Pokir Bungkam Daya Kritis Dewan

Koordinator LSM MaTA, Alfian memaparkan komposisi APBA 2023 pada konferensi pers di Banda Aceh, Selasa, 11 April 2023. (Foto for Portalnusa.com)

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Politik anggaran dalam APBA 2023 belum mencerminkan keberpihakan untuk kepentingan rakyat Aceh. Sedangkan usulan dana pokok-pokok pikiran (pokir) berpotensi menjadi ruang kompromi antara eksekutif dan legislatif yang bisa menyebabkan hilangnya daya kritis legislatif dalam melakukan pengawasan, rawan terjadinya komitmen fee dan tindak pidana korupsi serta memperlebar ketimpangan pembangunan antarkabupaten/kota di Aceh.

Demikian antara lain kesimpulan kunci yang dicatat dari konferensi pers yang digelar Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Selasa, 11 April 2023 di Banda Aceh. Konferensi pers tersebut mengusung tema berbasis pertanyaan, “kemana mengalirnya APBA 2023 sebesar Rp 11 triliun lebih.”

Koordinator MaTA, Alfian memaparkan, APBA 2023 telah ditetapkan pada 23 November 2022 sebesar Rp 11.093.859.700.979. Komposisinya, belanja operasi 67,40%,  belanja modal 15,65%, belanja tidak terduga 0,61%, dan belanja transfer 16,34%.

Menurut Alfian, ada empat prioritas pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) 2023, yaitu: Memperkuat Kemandirian pangan, ketahanan ekonomi yang produktif dan kompetitif; Meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing; Memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar yang terintegrasi dan berwawasan lingkungan; dan; Penguatan tata kelola pemerintahan dan keistimewaan Aceh.

Kondisi yang dihadapi, lanjut Alfian, perkembangan laju perekonomian Aceh mengalami fluktuasi dan masih kurang menggembirakan. Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatara dengan angka kemiskinan sebesar 14,75% pada September 2022. Nilai inflasi Aceh relatif masih tinggi disbanding nilai inflasi nasional, dan pendapatan per kapita Aceh masih berada di bawah rata-rata nasional.

Konferensi pers itu merangkum setidaknya enam poin kesimpulan kunci, yaitu:

  1. Politik anggaran dalam APBA 2023 belum mencerminkan keberpihakan untuk kepentingan rakyat Aceh;
  1. APBA 2023 turun 33,83%  dibanding tahun 2022 (konsekuensi Otsus 1%).  Akan tetapi, persentase belanja pegawai terus mengalami kenaikan, sedangkan persentase belanja modal terus menurun dalam tiga tahun terakhir (tidak patuh terhadap Pasal 147 UU Nomor 1 Tahun 2022 HKPD: minimal belanja modal 40% dari APBD);
  2. APBA 2023 menggambarkan evaluasi APBA oleh Kemendagri belum komprehensif.  Postur anggaran yang tidak realistis, seperti membengkaknya belanja pegawai, menandakan  evaluasi itu tak bertaring;
  3. Usulan pokok-pokok pikiran DPRA berpotensi menjadi ruang kompromi antara eksekutif dan legislatif yang bisa menyebabkan hilangnya daya kritis legislatif dalam melakukan pengawasan, rawan terjadinya komitmen fee dan tindak pidana korupsi serta memperlebar ketimpangan pembangunan antarkabupaten/kota di Aceh;
  4. Isu pemberdayaan perempuan dan anak, kehutanan dan lingkungan hidup, penanganan untuk pemulihan korban konflik dan pembangunan damai berkelanjutan di Aceh tidak menjadi prioritas!;
  5. Alokasi anggaran untuk prioritas pembangunan memperkuat kemandirian pangan, ketahanan ekonomi yang produktif dan kompetitif adalah yang paling sedikit alokasi anggarannya dibandingkan dengan prioritas pembangunan yang lain. Padahal isu strategis dalam prioritas pembangunan ini selaras dengan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Forum konferensi pers yang difasilitasi MaTA itu juga merekomendasikan perlunya enam gebrakan untuk mengatasi berbagai persoalan yang masih melilit, yaitu:

  1. Pemerintah Aceh dan DPRA harus mengubah kebijakan politik anggaran seiring akan segera berakhirnya dana Otsus Aceh;
  2. Lakukan rasionalisasi dan efesiensi belanja operasi terutama belanja pegawai (menyesuaikan kemampuan keuangan daerah) dan efisiensi  beberapa item belanja barang dan Jasa yang manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat;
  3. Tinjau ulang keberadaan perangkat daerah (SKPA) dengan melakukan perampingan organisasi mengingat bengkaknya belanja pegawai;
  4. Perkuat kemandirian fiscal: Pendapatan Asli Daerah harus jadi fokus;
  5. Keberpihakan pada isu-isu strategis yang terpinggirkan, seperti alokasi anggaran perempuan dan anak,  dan sektor  pemulihan/penanganan korban konflik dan pembanguan damai di Aceh;
  6. Pagu APBA untuk pokir DPRA sangat besar, perlu diperkecil. Perencanaan harus terbuka dan relevan dengan isu strategis pembangunan Aceh.[]