MIE bakso menjadi jajanan favorit, terlebih lagi dalam suasana Lebaran Idul Fitri saat ini. Tak heran warung dan kedai yang menjual mie bakso diserbu pelanggan semua usia. Dari anak-anaki sampai orang tua.
Di Kabupaten Pidie, misalnya, salah satu warung mie bakso di Gampong Dayah Adan, Kecamatan Mutiara menjadi salah satu pusat jajan paling sibuk hingga hari kedua Lebaran Idul Fitri 1444 H/Minggu, 23 April 2023.
Warung mie bakso berlabel ‘Mie Bakso Awak Awai’ tersebut menjajakan berbagai menu mie dengan bakso lembut yang mengoyang lidah.
Murdani selaku pemilik warung ‘Mie Bakso Awak Awai’ mengatakan, awalnya dia menjual mie bakso dengan cara berkeliling kampung dengan becak. Namun sejak awal Lebaran Idul Fitri ini Murdani bersama keluarganya mencoba peruntungan dengan cara membuka warung di pusat desanya .
“Alhamdulillah, pertama buka hari ini banyak pelanggan yang datang, baik sendiri-sendiri, rombongan atau keluarga. Harganya juga masih terjangkau, antara Rp 7.000 hingga Rp 15.000 per mangkok,” kata Murdani ketika Portalnusa.com singgah ke tempat usahanya.
Sekilas sejarah bakso
Bagi Anda yang doyan mie bakso, rasanya tak salah jika Anda mengetahui sekilas sejarah kuliner yang sangat merakyat ini.
Dikutip dari https://kimbo.id, sejarah bakso berasal dari cerita di masa Dinasti Ming (1368-1644), Tiongkok (sekarang).
Konon, seorang pemuda bernama Meng Bo ingin memasakkan daging empuk dan lembut untuk sang ibu. Ia terinspirasi dari kue mochi, camilan yang terbuat dari ketan yang ditumbuk agar halus, sehingga makanan ini terasa lembut.
Meng Bo pun menumbuk daging yang alot, membentuk bulatan-bulatan kecil, dan dihidangkan bersama kaldu hangat. Dalam perjalanan waktu, makanan dari daging giling temuan Meng Bo ini populer ke seluruh kota Fuzhou hingga ke seluruh Tiongkok.
Zaman pun silih berganti, makanan ini secara turun-temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi lain oleh bangsa Tiongkok.
Bakso diperkirakan masuk ke Nusantara (Indonesia) melalui para pedagang Tiongkok. Terbukti dari penamaan ‘Bakso’ yang berasal dari kata ‘Bak-So’ dalam Bahasa Hokkien yang secara harfiah berarti daging yang digiling.
Namun, karena orang Nusantara pada waktu itu sebagian besar muslim, mereka tidak menggunakan daging babi sebagai bahan utama, melainkan daging sapi, kambing, ayam, hingga kerbau.
Bakso berkembang hingga ke seluruh penjuru, karena rasanya yang nikmat sesuai dengan lidah orang Nusantara. Akulturasi budaya pun terjadi, hingga terdapat berbagai variasi-variasi resep bakso menyesuaikan lokasi. Apalagi, Nusantara sangat kaya akan bumbu-bumbu rempah yang membuat bakso semakin sedap.
Boleh dibilang bakso adalah wujud keberagaman kultural Indonesia. Karena, melalui menu ini terjadi percampuran budaya yang beraneka ragam. Alih-alih diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia, bakso mengalami penyempurnaan dari segi komposisi dan bumbu.
Kini, hampir di setiap tempat di Indonesia pasti terdapat penjual bakso dengan menu yang khas. Namun, dari ratusan varian bakso di Indonesia ada beberapa menu yang populer, seperti Bakso Urat, Bakso Telur, Bakso Ikan, Bakso Udang, Bakso Balungan, Bakso Aci, Bakso Tahu, hingga Bakso Kerikil. Sedangkan dari kota, beberapa kota muncul menjadi ikon ‘Kota Bakso’, seperti Wonogiri, Solo, Malang, hingga Karimunjawa.
Bakso adalah menu yang bisa dinikmati siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Termasuk sekarang, ketika banyak tersedia produk daging olahan yang praktis dan bermutu tinggi. Sehingga setiap orang bisa membuat menu bakso sesuai dengan cita rasanya sendiri di dapur kesayangan.[]