INSIDEN kecelakaan lalu lintas merenggut enam nyawa di kawasan Desa Babah Nipah, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Senin siang, 8 Mei 2023 sekitar pukul 13.00 WIB menyisakan duka mendalam. Insiden itu sendiri disebut-sebut disebabkan karena sopir dari salah satu kendaraan reflek mengelak lubang jalan sehingga terjadi laga kambing dengan kendaraan lain yang melaju berlawanan. Jika merujuk pada Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka korban ‘insiden Babah Nipah’ bisa menggugat penyelenggara jalan karena kejadian itu dipicu oleh jalan rusak. Berikut ketentuan hukum yang dikutip oleh Portalnusa.com dan ditayangkan sebagai bentuk empati terhadap keluarga korban pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Seperti diketahui, kecelakaan di Jalan Nasional Banda Aceh-Meulaboh (Jalan USAID), tepatnya di Desa Babah Nipah, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya (Km 117) melibatkan dua unit mobil, yaitu Toyota Rush B 2165 KZD dan mobil KIA Pregio BL 1894 KL.
Menurut saksi mata, insiden itu berawal ketika Toyota Rush yang ditumpangi enam orang—termasuk sopir sedang melaju dari arah Meulaboh ke Banda Aceh.
Setiba di lokasi kejadian, sopir Toyota Rush, Zainal Arifin Pasaribu (65) secara reflek banting setir ke kanan karena berusaha mengelak lubang. Akibatnya, kecelakaan ‘laga kambing’ dengan KIA Pregio yang melaju berlawanan tak terelakkan.
Pada kejadian itu, Zainail Arifin Pasaribu (sopir Toyota Rush, tercatat sebagai penduduk Bantar Gebang, Bekasi) dan M. Dahlan (48), sopir KIA Pregio, penduduk Panton Bayu, Kabupaten Nagan Raya meninggal dunia.
Korban lainnya yang meninggal dunia yaitu Duma Sari Gultom (80), Painan Ritonga (82), Hayani Batu Bara (50), dan Aslina (64), keempatnya asal Sumut yang merupakan penumpang Toyota Rush.
Selain korban meninggal, setidaknya ada tujuh korban luka berat dan ringan dirujuk ke RS di Banda Aceh, Aceh Jaya, dan Puskesmas terdekat.
Gugat Penyelenggara Jalan
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, sebagaimana dikutip Kompas.com, Kamis, 9 Februari 2023 menilai, program kerja (perbaikan kerusakan jalan) di sejumlah daerah terbilang patut menjadi percontohan.
Menurut dia, ada cara-cara seperti membuka pengaduan kerusakan jalan dari warga dan pengguna kendaraan.
Tujuannya, kerusakan jalan segera diperbaiki sehingga tak menimbulkan korban.
“Sudah ada kan di sejumlah daerah, entah di Jawa atau di luar Jawa. Bisa share foto jalan rusak lewat sosmed, nanti langsung diteruskan ke Dinas Pekerjaan Umum. Prosesnya cepat, warga lapor pemerintah bergerak. Jadi tidak sampai ada korban,” kata Djoko.
Tak hanya pemerintah daerah, penyelenggara jalan juga cakupannya cukup luas. Sesuai pembagian jenis-jenis jalan yang meliputi, jalan kabupaten/kota, milik provinsi, dan ruas jalan nasional, sebagaimana telah diatur di dalam Undang-undang.
Kerusakan jalan baik tol maupun non-tol dapat dilakukan perbaikan, untuk prosesnya keseluruhan di bawah tanggung jawab penyelanggara infrastruktur jalan dan jembatan.
Dasar hukum
Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada pasal 24 ayat 1 dijelaskan bahwa penyelenggara wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Dijelaskan lebih lanjut, dalam Pasal 24 ayat 2, jika perbaikan jalan yang rusak belum dapat dilakukan, maka penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak.
Pemberian tanda atau rambu itu untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Jika tak segera memperbaiki jalan sehingga menimbulkan kecelakaan lalu lintas, maka pemerintah yang bertanggung jawab sebagai penyelenggara jalan bisa dikenakan sanksi.
Berikut ini sanksi bagi penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki jalan rusak sesuai Pasal 273 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009.
Berikut ini sanksi bagi penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki jalan rusak sesuai Pasal 273 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009.
- Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah.
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
- Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Perbuatan Melawan Hukum
Dikutip dari hukumonline.com, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah harus melindungi keselamatan masyarakat dengan segera memperbaiki jalan atau memberikan tanda terhadap jalan rusak apabila belum dapat dilakukan perbaikan jalan.
Jika pemerintah tidak melakukan hal yang diperintahkan oleh undang-undang, maka pemerintah dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).
Adapun dasar hukum mengenai PMH dapat ditemukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdatayang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Perlu dipahami bahwa ada 2 jenis PMH menurut Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu:
- PMH (onrechtmatige daad);
- PMH oleh Penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).
Adapun unsur PMH berdasarkan pasal di atas adalah:
- adanya perbuatan;
- perbuatan itu melawan hukum;
- adanya kerugian;
- adanya kesalahan; dan
- adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal PMH.
Mengenai batasan PMH yang dilakukan pemerintah terkait jalanan yang rusak, dapat dilihat di Pasal 24 UU LLAJ.
Kemudian, perlu diperhatikan pula dimana kecelakaan lalu lintas akibat jalan rusak itu terjadi.
Jalan umum pada dasarnya dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
Pada setiap kategori jalan tersebut wajib diberikan identitas setiap ruas jalan seperti kode, marka, dan angka.
Adapun terkait dengan wewenang pemerintah pada setiap kategori jalan adalah sebagai berikut.
- Pemerintah pusat berwenang dalam penyelenggaraan jalan nasional;
- Pemerintah provinsi berwenang dalam penyelenggaraan jalan provinsi;
- Pemerintah kabupaten berwenang dalam penyelenggaraan jalan kabupaten, pengaturan jalan desa, dan pembinaan jalan desa;
- Pemerintah kota berwenang dalam penyelenggaraan jalan kota, pengaturan jalan desa dan pembinaan jalan desa dalam wilayah kota;
- Pemerintah desa berwenang dalam penyelenggaraan jalan desa.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan kecelakaan akibat jalan rusak siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya tergantung pada kategori jalan.
Perlu diperhatikan bahwa untuk menggugat jalan rusak dengan PMH, maka ditujukan kepada pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki wewenang dalam penyelenggaraan jalan.
- Untuk jalan nasional berarti gugatan PMH ditujukan kepada pemerintah pusat;
- Untuk jalan provinsi berarti gugatan PMH ditujukan kepada pemerintah provinsi;
- Untuk jalan kabupaten berarti gugatan PMH ditujukan kepada pemerintah kabupaten;
- Untuk jalan kota berarti gugatan PMH ditujukan kepada pemerintah kota;
- Untuk jalan desa berarti gugatan PMH ditujukan kepada pemerintah desa atau pemerintah kabupaten/kota.[]