PAGI tadi saya ke Bank Syariah Indonesia Cabang Summarecon di kawasan pusat pasar Sinpasha, Kota Bekasi.
Jaraknya sehamparan dengan rumah tinggal kami. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Jalan kaki untuk sekalian sehat.
Dan untuk selanjutnya nama bank label syariah itu saya singkat saja dengan BSI.
Kedatangan saya ke BSI menemani istri. Ia punya rekening di sana. Ingin print buku sekaligus kirim duit. Kalau saya nggak punya rekening di BSI. Akses rekening saya sudah “dimatikan” istri. Sudah di “hack.”
Di-“hack” seperti kasus yang menimpa BSI hari-hari ini. Yang “hacking”-nya sudah melewati satu pekan. Nama samaran “hacking”-nya “lockbit.” Serangannya disebut “ransomware.” Dari kelompok penjahat siber.
“Ransomware lockbit” adalah perangkat lunak yang dirancang untuk memotong akses pengguna ke sistem komputer. Ini merupakan pekerjaan “hacker” yang saya nggak ngerti a.b..c..d..informasi teknologinya.
Istilahnya saja bikin mumet. Sulit dicari padanan bahasa pasnya dalam kamus. Apalagi kamus milik saya masih Poerwardarmita. Kamus jadul.
“Hack” di BSI beda dengan “hack” rekening saya. Alasannya juga beda. Di BSI alasannya pemerasan. Kalau saya tak ada unsur peras memeras.
Di kasus saya alasan “hack”-nya sederhana. Untuk apa punya banyak rekening. Uangnya kan segitu juga. Cukup satu rekening. Atas namanya, Atas nama istri.
Saya mengamini kesepakatan itu. Kesepakatan yang saya tahu maksud di balik “hack”-nya. Kan “di balik batu ada gajah. Takut gajahnya datang batunya hilang.” Hahaha… Anda sudah tahu maksudnya.
Entahlah….. Kenyataannya memang begitu.
Begitu pula jalan ke satu rekening itu di dua tahun lalu. Jalan ke rekening BSI yang penuh derita. Derita yang berlanjut sampai hari kedatangan saya menemani istri. Derita antrean panjang para nasabah.
Antrean yang luber hingga ke teras depan dan depan lagi. Yang ketika saya datang dan istri saya memperlihatkan nomor antreannya di angka seratus sebelas. Angka seratus sepuluh yang dilayani dua teller.
Ampun..bisik saya ke istri. Bisik untuk membisikkan tentang kartu nasabah khusus yang ia miliki. Nasabah yang bisa memotong rantai antrean. Plass.. anggukan pun datang dari petugas satpam. Dan istri saya dituntun ke teller, Beres.
Yang tidak beres tentunya antrean nun di Aceh sana, Bukan hanya panjang. Tapi melikuk bagaikan ular.
Ampuun juga…seperti mengulang antrean ke satu rekening dulu, Satu rekening ketika dibekap qanun keuangan syariah. Qanun yang ada hubungan dengan otonomi khusus.
Qanun yang meng-”inalillahi….” bank konvensional. Qanun yang menyebabkan bank konvensional milik negara di sana melebur diri ke BSI.
Qanun yang menggiring rekening nasabah di Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI atau rekening manapun beralih ke BSI. Itu kalau mau. Seperti saya. Kalau nggak mau kuras saja isian rekening lantas tutup buku.
Derita qanun ini nyatanya sangat panjang hingga hari ini ketika BSI-nya di “hack.” . Bagi yang ngotot dengan buku rekening bank konvensional silakan tarik uang ke provinsi tetangga.
Itu yang dialami oleh pemilik rekening dengan domisili di Langsa atau Kuala Simpang. Atau mereka yang tinggal di Subulussalam. Ngotot dengan buku lama.
Bahkan adik saya yang ngotot dengan rekening konvensionalnya terpaksa tarik uang ke Sidikalang. Tarik uang yang mungkin ongkosnya lebih besar dari uangnya sendiri.
Itu baru derita secuil. Derita besarnya, akibat meleburnya bank konvensional milik negeri itu, ribuan karyawan dengan status kontrak harus pe-ha-ka. Menambah penganggur.
Anda sendiri bisa mengambil contoh ke Bank BRI. Hitung jumlah unitnya. Lanjut jumlah karyawan, Baik yang kontrak maupun tetap di setiap unit. Lantas jumlahkan. Angkanya cukup Anda simpan sendiri.
Untuk karyawan tetap juga ada derita tambahan. Pilih pensiun dini atau pindah tugas luar provinsi. Berat… Ya berat untuk derita qanun.
Itulah derita qanun di arus bawah. Derita pendek yang makin panjang dengan kasus “hack.”
Derita yang juga sempat viral di tahun lalu ketika wisatawan asal Australia dan Amerika Serikat terjengkang kartu kreditnya ketika menarik uang tunai di sejumlah anjungan tunai mandiri-atm- saat travel di Aceh.
Mereka kesulitan karena card premier miliknya berlabel visa diterjang atm merek syariah. Milik bank aceh dan bank syariah indonesia-bsi. Dua bank yang terdapat di area mereka travel.
Derita yang banjir bandang komentar di media sosial waktu itu. Di facebook, whatsapp, instagram dan twitter. Bahkan merambah ke media online.
Sejak dua tahun lalu semua bank konvensional yang tidak memiliki unit syariah harus hengkang dari Aceh. Aturan itu tertuang dalam qanun lembaga keuangan syariah.
Dengan kebijakan itu, hanya bank aceh syariah dan bsi yang mendominasi di Aceh, karena memiliki cabang di pelosok.
Qanun ini berlaku untuk seluruh layanan bank dan produk keuangan. Produk yang boleh diakses hanya berskema syariah.
Dengan begitu, aktivitas keuangan konvensional atau nonsyariah harus ditutup dan tidak boleh diberlakukan.
Alasannya? Agar perekonomian nanggroe bisa semakin islami.
Ini berati sistem perbankan yang beroperasi harus berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebuah piilihan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank.
Sebuah penonjolan rasa keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan bebas maghrib-maysir, gharar, haram, riba, dan batil.
Kepercayaan dan kehati-hatian dalam pengelolaan yang didasarkan pada akad.
Saya tak mempersoalkan tujuan ekonomi syariah dalam transaksi. Saya hanya ingin mengingatkan permainan perbankan.
Bank yang menghimpun uang dari masyarakat. Pemilik uang yang disebut nasabah. Yang tidak mendapat infomasi apapun tentang bagaimana uang mereka dikelola, dipinjamkan ke pihak mana, untuk bisnis apa dan bagaimana dampak dari bisnis itu.
Anda tahu dan saya juga tahu pemilik uang hanya sebagai konsumen, pengguna jasa, yang meminta uangnya dikelola, dengan cara apapun, terserah para pengelola perbankan.
Saya tak paham bagaiman telikungan bank meraup keuntungan besar dari uang orang lain yang mereka kumpulkan.
Itu rahasia bank. Dan yang bukan rahasia adalah uang itu tak punya agama dan tidak juga antiagama
Untuk itulah para pengeritik perbankan konvensional mengatakan cara kerja mereka kapitalistik. Mereka mengangkat isu keribaannya untuk diperdebatkan.
Apalagi ketika memasuki bunga menjadi halal setelah diubah namanya menjadi margin dalam administrasi perbankan syariah.
Lantas saya berdamai dengan hati tentang riba dalam konsep ekonomi islam yang secuil kecil pun bisa menjadi haram.
Berdamai juga dengan bank syariah di naggoroe indatu yang merepotkan rakyat dengan keterbatasan teknis dan fasilitas selama masa transisi, jika kehadirannya mengoreksi problem-problem utama perbankan konvensional.sebagai lembaga keuangan alternatif.
Bukan hanya menjadi tandingan narasi, tanding substansi dan tanding sistem.
Seperti yang saya baca dari banyak tulisan ahli ekonomi islami yang doktrin dasarnya adalah nasabah itu pemilik modal, bank hanyalah pengelola,
Pihak bank harus selalu memberi laporan kepada nasabah sebagai mekanisme kontrol pemilik uang atas tatakelola uang mereka.
Bagi hasil keuntungan dari industri perbankan lebih besar untuk nasabah sebagai pemilik uang, dibanding bank sebagai pengelola uang.
Bank tidak mencari untung besar pada pinjaman nasabah, Maka pihak bank mengembangkan bisnisnya melalui investasi pada kegiatan ekonomi produktif di sektor ril, seperti perkebunan, persawahan, perikanan, peternakan, kelautan, dan sejenisnya.
Ada keseimbangan antara pasar uang dan pasar produksi.
Untuk itu saya menyesali kehadiran bank syariah yang menggebu-gebu di Aceh dengan mengubah istilah-istilah kapitalis dengan bahasa arab, tanpa mengubah apapun dari tatanan dasar perbankan konvensional.
Sehrausnya perbankan syariah menawarkan perubahan prosedur-prosedur transaksi melalui akad melibatkan kosa kata arab dengan menyentuh substansi penghapusan praktik-praktik penghisapan mengejar keserakahan profit.
Lantas bagaimana dengan perbankan syariah di Aceh?
Saya hanya menyimpulkan jawaban sederhana : menggandakan kelicikan perbankan konvensional lewat praktik-praktik penghisapan dengan membuat baliho besar.
Saya juga tahu perbankan terbuka untuk sebuah risiko . Seperti risiko BSI. Risiko spesifik bank syariah..dengan nama “displace commercial risk.” Risiko nasabah yang berpindah ke bank konvensional.
Karena nasabah bank syariah adalah mereka yang rasional. Mereka memilih bank syariah sepanjang ia menguntungkan. Nasabah jenis ini dinamai dengan “swing voter.” Nasabah yang suka gonta-ganti bank.
Gonta-ganti mana yang lebih menguntungkan. Kalau di sana bunga depositonya tinggi ia jebol. Begitu pun sebaliknya.
Sebagai produk bank BSI tak seharusnya demikian. Jumlah mereka ini cuma dua puluh persen dari nasabah yang ada. Tapi ketika krisis moneter di ujung tahun sembilan puluhan Bank Muamalat terselamat oleh nasabah jenis ini.
Risiko spesifik lainnya adalah “rate of return risk” Nasabah yang berpindah dengan alasan menguntungkan. Menguntungkan dari simpanan bagi hasil atau pun rendahnya beban pembiayaan.
Risiko lainnya, adalah masalah kata syariahnya sendiri yang sering bikin terpeleset. Yaitu ketika bank-nya sendiri tidak menjalankan fikih syariah. Tidak “complay” dengan hakekat syariahnya.
Saya menyebutnya dengan risiko reputasi. Risiko yang sama dengan kasus teknologi yang mereka hadapi hari ini.
Reputasi qanun yang kini mulai pudar di negeri otonomi khusus.
Wallahualam bisawab….[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”