HUKUM, NEWS  

PENA 98 Aceh Tetapkan Kriteria Capres 2024, Terkait IKN dan Politik Identitas Begini Pandangan Mereka

Arie Maulana (kiri), Rachmad Djailani (tengah), dan TM Zulfikar (kanan) menjawab pertanyaan wartawan pada konferensi pers yang digelar Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Aceh di Costa Café Lantai II, Jalan Stadion H. Dimurthala, Lampineung, Banda Aceh yang merupakan Sekretariat PENA 98 Aceh, Jumat sore, 19 Mei 2023. (Foto Portalnusa.com)

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Aceh menyampaikan pernyataan secara terbuka mengenai kriteria calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024. Ada delapan kriteria yang disampaikan PENA 98, termasuk tentang program Ibu Kota Negara (IKN) baru dan isu politik identitas.

“PENA 98 Aceh memandang bahwa dinamika menuju Pilpres 2024 menjadi sesuatu yang sangat penting untuk disikapi. Karena Pilpres 2024 akan menentukan arah perjalanan bangsa ini setidaknya untuk lima tahun ke depan,” kata Rahmad Djailani selaku Jubir PENA 98 pada konferensi pers di Costa Café Lantai II, Jalan Stadion H. Dimurthala, Lampineung, Banda Aceh yang merupakan Sekretariat PENA 98 Aceh, Jumat sore, 19 Mei 2023.

Diskusi 25 Tahun Reformasi; “Kami Menolak Lupa.”

Konferensi pers yang diikuti belasan wartawan lintas media tersebut menghadirkan Arie Maulana (Presidium Nasional) dan Ir. TM Zulfikar, MT., IPU selaku Koordinator Departemen Tata Ruang, Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup di organisasi aktivis tersebut. Sedangkan Dosen FKIP USK, Dr. Budi Arianto, S.Pd.,M.Pd bertindak sebagai moderator.

Selain konferensi pers, PENA 98 Aceh juga menggelar Diskusi 25 Tahun Reformasi bertema, “Kami Menolak Lupa” dengan kalangan mahasiswa yang dipusatkan di Aula FISIP USK, Jumat pagi, 19 Mei 2023.

Diskusi di USK selain dihadiri TM Zulfikar dan Rachmad Djailani (Sekretaris Komite SMUR & Aktivis 98) juga Bakti Siahaan, SH., M.Hum (Dosen Hukum USK) dan Aulianda Wafisa (Program Manager YLBHI-LBH Banda Aceh).

“Diskusi yang melibatkan adik-adik mahasiswa perlu kita hidupkan terus agar mereka tahu bagaimana gerakan mahasiswa pada 98 yang meruntuhkan rezim Soeharto,” kata Arie Maulana.

Dalam pernyataannya, PENA 98 Aceh menyebutkan, Gerakan Reformasi 98 merupakan perjalanan sejarah gerakan demokratisasi Indonesia yang patut menjadi renungan bagi seluruh elemen bangsa Indonesia.

Gerakan yang muncul akibat kekuasaan rezim Soeharto yang selama 32 tahun memerintah semakin jauh dari harapan dan realitas ideal cita-cita Indonesia merdeka. Masa-masa di mana kekuasaan telah menutup ruang demokrasi dan keadilan bagi seluruh warganya. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) serta pemerintahan militeristik yang represif telah menyebabkan jurang kesenjangan sosial masayarakat Indonesia pada waktu itu semakin lebar.

Kondisi ekonomi juga semakin carut marut. Ruang politik dan kebebasan berekspresi juga tertutup rapat. Sebuah kondisi sosial yang pada akhirnya membuat kalangan muda, khususnya kalangan intelektual kampus mulai gerah dan segera bangkit menghimpun kekuatan bersama rakyat untuk melawan.

Perlawanan yang dimulai dari seluruh kampus di Indonesia ini mengalami eskalasinya sejak awal tahun 1998. Di mana mahasiswa bersama rakyat mulai menyatu untuk turun ke jalan berdemonstrasi. Akibatnya rezim Soeharto pun jatuh pada bulan Mei 1998.

“PENA 98 Aceh ikut mewarnai peringatan 25 Tahun Gerakan Reformasi dengan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Diskusi Menolak Lupa dan pernyataan sikap terkait kondisi kekinian termasuk Pilpres 2024,” tandas Rachmad Djailani.

Aceh, lanjut Arie Maulana, bagaimanapun tak terlepas dari Gerakan Mei 98 secara nasional. Meskipun dalam perjalanannya Aceh mengalami dinamika sosial politik yang lebih spesifik. Pelanggaran HAM di Aceh selama rezim Soeharto telah menyebabkan tragedi kemanusiaan dan berujung pada perlawanan masyarakat Aceh terhadap Jakarta.

Konflik Aceh pun meletus sejak 1999 hingga berakhir damai pada 16 Agustus 2005. Namun demikian sejarah kelam konflik Aceh tentulah tidak boleh dilupakan begitu saja. Bukan saja terhadap akar permasalahannya (karena rezim Soeharto yang militeristik) namun juga terhadap dampak sosial yang timbul karenanya. Yang paling penting dari semua itu adalah memastikan bahwa sejarah kelam konflik Aceh akibat pemerintahan Jakarta yang militeristik tidak terulang kembali.

PENA 98 Aceh memandang bahwa dinamika menuju Pilpres 2024 menjadi sesuatu yang sangat penting untuk disikapi. Karena Pilpres 2024 akan menentukan arah perjalanan bangsa ini setidaknya untuk masa lima tahun ke depan.

Dalam pandangan PENA 98 Aceh, dinamika dalam proses pilpres ini akan menjadi tolak ukur terhadap kualitas demokrasi, kualitas calon pemimpin dan bagaimana tingkat kesadaran politik rakyat. Isu-isu yang dilemparkan oleh masing-masing tim kampanye akan menjadi catatan sejarah yang melekat dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia.

Kampanye yang berlangsung damai atau tidak, akan sangat menentukan bagaimana persatuan sesama anak bangsa pascaPilpres. Selain itu juga akan sangat menentukan besar kecilnya investasi yang akan masuk ke Indonesia dan menentukan banyak hal-hal lainnya.

Kriteria Capres

Terkait kriteria capres yang akan maju pada Pilpres 2024, PENA 98 Aceh menyatakan, setelah melalui diskusi panjang, maka lahirlah delapan kriteria yang bisa menjadi pedoman bagi rakyat untuk menentukan pilihannya dalam Pilpres 2024.

Kriteria tersebut disusun berdasarkan harapan-harapan agar sejarah kelam yang pernah dilewati bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya tidak terulang lagi.

“Sebagai bagian dari Aktivis 98, kami punya kewajiban moral, intelektual dan sejarah untuk memastikan arah perjuangan reformasi tetap berjalan walaupun mungkin dalam praktiknya tidak atau belum sempurna,” kata Rachmad Djailani.

Bagi PENA 98, lanjutnya, popularitas dan elektabilitas dari hasil survei tidak menjadi kriteria yang dianggap penting. Karena yang terpenting dari semuanya adalah rekam jejak, keberpihakan terhadap rakyat dan gagasan-gagasan yang baik bagi Indonesia ke depan.

Berikut kriteria Capres 2024 yang disusun PENA 98 Aceh:

1. Menjaga Pancasila, berpedoman pada UUD 1945, setia pada NKRI, menghormati keberagaman, dan merawat kebhinekaan.

2. Bukan bagian dari rezim Orde Baru; Watak otoritarianisme Orde Baru dengan pendekatan militeristik dan KKN yang akut, mestinya sudah diakhiri sejak reformasi 1998. Capres 2024 yang masih tersandera dalam pemikiran, perilaku, apalagi berafiliasi dengan rezim Orde Baru, dipastikan tidak akan mampu membawa Indonesia melangkah maju tanpa beban masa lalu.

3. Tidak punya rekam jejak terlibat dalam penggunaan politik identitas; Jika kita berharap, bermimpi, berkeinginan dan bercita-cita Indonesia ke depan menjadi negara modern, multietnis, multiras, multikultur, multiidentitas, beragam agama dan keyakinan dan sebagainya, yang kesemuanya bisa hidup damai di tengah keberagaman, maka memeriksa rekam jejak calon presiden apakah pernah terkait, menggunakan, membiarkan atau setidaknya diuntungkan dari digunakannya politik identitas, menjadi penting dicermati dan diwaspadai.

(Dalam makna bahwa ketika identitas tidak digunakan untuk menyatukan tetapi malah mempertajam perbedaan, mempertajam diskriminasi, maka ini bisa dikategorikan sebagai politik identitas. Namun sebaliknya, ketika perjuangan untuk membangun kesetaraan dibangun berdasarkan identitas, maka penggunaan identitas tersebut tidak bisa dikategorikan ke dalam politik identitas).

4. Tidak pernah terlibat dalam pelanggaran HAM; Pelanggaran HAM adalah kejahatan kemanusiaan (extraordinary crime). Siapa pun Capres 2024 harus sama dipastikan dia tidak pernah terlibat dalam praktik pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini untuk memastikan Indonesia ke depan, peristiwa pelanggaran HAM tidak terulang lagi untuk alasan apapun.

5. Tidak pernah terlibat kasus korupsi; Terdapat dua Ketetapan MPR RI yang dengan tegas mengatur soal korupsi ini. Yaitu TAP MPR RI No.XI/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan TAP MPR RI No. VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Capres 2024 haruslah figur yang dipastikan tidak sedang atau pernah tersangkut kasus korupsi.

6. Melanjutkan Program Kerja Presiden Joko Widodo; Keberlanjutan dan kesinambungan program pembangunan oleh tiap pemimpin nasional teramat penting guna memastikan tidak ganti presiden, ganti program. Banyak program yang telah disusun dan sementara berjalan, jadinya mangkrak dan anggaran negara terbuang sia-sia. Utamanya pada program-program kerakyatan (pendidikan, kesehatan, pertanian, koperasi dan UMKM, infrastruktur, serta pembaruan agraria dan perlindungan SDA), termasuk di dalamnya pembangunan IKN.

7. Berkomitmen memperjuangkan agenda reformasi, menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan mewujudkan reforma agraria; Keseriusan untuk tetap berjalan di atas rel agenda Reformasi 1998, melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dan teguh menjalankan amanat reforma agraria adalah syarat mutlak bagi Capres 2024. Juga komitmen serius untuk menuntaskan pelanggaran HAM Berat masa lalu sebagai wujud pemihakan keadilan pada korban dan keluarganya. Kita tidak ingin bangsa ini berjalan dengan beban sejarah masa lalu.

8. Berkomitmen melakukan upaya-upaya memperkuat ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta berpihak kepada rakyat; Komitmen Capres 2024 terhadap program pemihakan dan penguatan pada sendi-sendi ekonomi kerakyatan berbasis koperasi, usaha mikro dan menengah menjadi faktor kunci agar perekenomian Indonesia bertumbuh maju dengan tetap setia pada roh konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Sebab dalam koperasi dan UKM, kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Pemahaman praktikal Capres 2024 atas hal ini dapat terlihat selama menduduki jabatan publik atau dalam gagasan yang diutarakan selama interaksi sosial politik keseharian.

“Hendaklah pemimpin tidak menjadi penguasa tapi menjadi pengurus bagi rakyatnya,” tutup pernyataan PENA 98 Aceh.[]