SAYA tahu postingan yang ia kirim itu hasil “translate.” Terjemahan. Tahu dari muatan kata di rangkaian kalimatnya bak barang rongsokan yang belum terurai. Kacau balau.
Anda kan tahu apa itu barang rongsokan. Lihat saja isian bak truk sampah. Ampuunn…
Tapi saya nggak mengumpat dengan gelemak peak kata yang belum terurai di postingan itu. Sebagai seorang yang pernah menjalani kerjaan sebagai editor itu mah.. keciill.
Apalagi saya pernah menyandang status sebagai editor senior. Redaktur senior. Yang merupakan strata tertinggi seorang jurnalis di sebuah media mainstream.
Stratanya bisa disamakan dengan seorang doctoral untuk gelar akademis.
Tambahan lagi, kini, saya diberi status baru: wartawan senior. Ini yang hebatnya. Wartawan senior itu sama dan sebangun dengan gelar guru besar di perguruan tinggi. Guru besar anugerah.
Saya professor? Hahaha..
Balik ke isi postingan yang dikirim oleh ia yang men-”translate.” Ia dengan status ponakan. Saya sangat berterima kasih walaupun tidak menyebut dari mana muasal sumbernya.
Mungkin lupa. Atau, mungkin juga asal ngirim. Karena ia nggak tahu a..b..c..d.. penulisan sebuah berita atau laporan. Ya.. udah.
Nama si pengirim: Agus. Saya tak ingin menambah nama trahnya. Privacy. Kerjaannya spesialis informasi teknolgi. Cyber di perusahaan perminyakan dan gas. Sudah dua belas tahun. Di Abu Dhabi.
Bagi saya masalah sumber ini bisa serius. Bukan seperti masalah “translate” yang kacau dan balau itu, Masalah sumber ini bikin sungsang otak. Cilakanya di angka empat belas kalau dikaitkan dengan profesi saya sebagai seorang jurnalis.
Alpa menulis sumber untuk ”publish” sebuah tulisan adalah dosa besar. Tak terampunkan. Melanggar etika. Kecuali beritanya a-satu bisa terlindungi lewat “off the record” tambah lagi “hak menolak jawaban.”
Itu privelege yang hanya dimiliki jurnalis. Tidak dimiliki profesi lain. Apakah pengacara, dokter dan lainnya.
Untuk itu saya nggak pernah abai terhadap sumber ini.
Ya… mungkin jurnalis abal-abal yang bisa santai dengan persoalan ini. Kalau saya nggak-lah. Ini kan menyangkut keutuhan tulisan. Plus etika. Sebagai jurnalis persoalan etika ini “is the number one”
Entahlah…
Lantas saya mencari sumbernya lewat akar kata yang ada di belukar postingan. Plassh…Ketemu. Ternyata sumbernya sahih. Di media mainstream. Sebuah koran harian berbahasa Inggris terbitan Dubai, Uni Emirat Arab.
Korannya prestise. Keberadaannya sudah empat puluh lima tahun. Pasarnya uni dan negara lain di Teluk Persia. Namanya “Gulf News.” Yang kalau diterjemahkan:berita teluk. Oke, sumbernya valid.
Gulf News media besar dan sedang oleng dalam merampungkan proses mutasi ke digital.
Isi postingannya tentang investasi resor di Pulau Banyak. Investasi murban energy yang gagal diteken memorandum of understanding-mou-nya di dua tahun lalu.
Kala Nova Iriansyah masih gubernur dan Mursid masih jadi bupati Singkil. Gubernur dan bupati yang Pulau Banyak masuk daerah kerjanya. Daerah kerja untuk dijadikan proyek.
Proyek resor mewah untuk tempat rehat para emir emirat setelah Syeichless dan Maldives dianggap sudah kurang representaif.
Balik lagi ke isian utuh postingan itu. Tulisannya seperti membangkitkan batang terendam. Anda kan mafhum tentang batang terendam? Ya udah…
Batang terendam itu banyak benang kusutnya. Benang kusut dari fasilitas infrastruktur, kemudahan perpajakan hingga safety . ya, macam-macamlah.
Macam-macamnya mulai dari insentif tax holiday, non-collected value-added tax, super deduction tax, hingga import duty.
Kalau mau lengkapnya lagi macam-macamnya tanya saja sendiri sama si Luhut Binsar Panjaitan yang dulunya menggelembungkan investasi ini sebagai barang hampir jadi.
Kan dia yang dulu memberitahu bahwa investasi ini segera akan direalisir lewat mou yang dibawa bersama Jokowo ke Abu Dhabi.
Barang setengah jadi yang mengelembung kemudian pecah dan isinya angin yang soh…
Saya sendiri sempat terpana dengan greget investasi murban ini dua tahun. Alasannya, karena “trending topic” di media hingga berpekan-pekan.
Media lokal, nasional maupun internasional. Apalagi media sosial. Heboh….
Bahkan media seukuran asia today, cnn inetrnational, strait time dan south cina morning post juga kepincut menulisnya.
Nggak percaya?
Aktifkan “search google” Anda. Telusuri dengan menuliskan kata murban energi lcc.
So pasti Anda akan menemukan sederet judul berita yang isinya tentang rencana investasi konglemerasi milik Mohamad Thani Al Rumalthi itu
Konglemerasi yang menjanjikan akan membangun resort prestiseus di kepulauan belahan barat selatan Aceh itu dengan dana sebesar lima ratus juta us dollar. Atau tujuh koma lima triliun rupiah.
Saya sendiri yang semula adem dengan kabar itu sempat menudingnya sebagai berita “bombas.”
Bahkan, di sebuah pagi, saat ngopi bareng saya pernah memonyongkan mulut dengan ekspresi nyeleneh ke arah seorang mantan pejabat senior Aceh yang menginformasikan kabar ini
Lewat sebuah desahan “ah,” saya menggelengkan kepala sebagai isyarat nggak percaya. Untuk Anda tahu, kata “ah” itu di kalangan kaum jurnalis diartikan sebagai “cet langet.”
Sikap saya yang nyeleneh ini punya alasan kuat. Sebagai wartawan, yang sekaligus pengamat Pulau Banyak, saya telah muak dengan kabar rencana investasi resort di Pulau Banyak.
Sejak dua puluh tahun terakhir, seperti yang saya ingat, ada delapan investor yang jadi berita ingin menanam modal di sana.
Tahu apa “ending”nya?
“Soh.”
“Soh” itu sebuah kata dalam bahasa Aceh. Artinya bohong.
Kini, usai saya mencibir dan kemudiannya mendapat potongan informasi dari Abu Dhabi tentang eksistensi Murban Energy LLC, lewat seorang “stringer,” yang berstatus ponakan, perdamaian setengah hati pun saya kibarkan.
Perdamaian itu bukan berarti saya percaya utuh. Masih fifty-fifty. Setengah percaya setengah tidak.
Sebagai jurnalis yang “never die” di satu sumber, saya terus melakukan perburuan. Kalau bisa ke lumbungnya. Ke lumbung Murban itu sendiri.
Berburu untuk mendapat kebenarannya. Sehingga bisa menaikkan kepercayaan saya lebih dari lima puluh persen.
Untuk sampai ke lumbung Murban itu sendiri saya pasti tak mampu. Namun begitu, saya punya “orang.” Saya memanggilnya dengan sapaan “bro.”
Ia orang beken. Sobat lama. Juga telah menjanjikan akan membuka akses hingga ke pejabat di Abu Dhabi.
Untuk itulah,, di sebuah pagi, awal pekan ini, ketika handphone saya berdenyit dengan nada “kring” antusias saya membuncah ketika membaca nama sang pengirim pesan.
Dugaan saya tak meleset Bunyi “kring” itu memang datang dari “si bro.”Yang meleset hanya harapan besarnya. Ternyata sang teman hanya menyemat sebuah pesan dalam kalimat pendek.
“Sabar Bung. Saya kenal dengan menteri investasinya bernama Suhail. Namun tak mudah untuk berkomunikasi dengan beliau.”
Pesannya ini membuat kebuncahan saya meleleh. Dalam gumam panjang saya hanya bisa menarik napas sembari melepaskannya dengan desahan aahhh…
Pesan itu saya balas dengan satu kata, “thanks….”
Untuk sementara harapan saya pupus.
Ya, sudah!
Saya sendiri, saat itu, nggak ngotot amat mendapatkan”clearance.” Jalan ke sana, seperti disampaikan seorang rekan, yang namanya nggak usah disebut. takut dibreidel, masih panjang.
Masih akan ada studi ulang dan perbaikan persyaratan.
Sang rekan, yang sudah puluhan tahun bermukim di Abu Dhabi, dan bekerja di sebuah corporat investasi, hanya tertawa ketika saya interogasi.
“Ah… nggak usahlah saya ditanyai macam pesakitan. Anda kan seorang jurnalis beken. Bukan wartawan odong-odong,” katanya dalam nada canda diiringi tawa lepas.
“Bukan merupakan pepesan kosong?” tanya saya mengejar jawabannya sebelum ia tertawa lagi.
“Entahlah?” jawabnya mengalihkan pembicaraan tentang bagaimana dengan kondisi Pulau Banyak hari-hari ini.
Pembahasan tentang keindahan Pulau Banyak akhirnya menjadi topik utama kami hari itu.
Maaf, sekali lagi saya tak ingin menyebut dan menulis namanya dalam tulisan ini.
Untuk Anda tahu, sang rekan yang saya interogasi itu adalah anak “ketelatan” yang sukses menapak karier sebagai prefesional di bidang investasi.
Anak “ketelatan” ini merupakan sebutan heboh kami sejak remaja bagi mereka yang “keluar” dari Aceh Selatan di akhir tahun enam puluhan.
Ia memang anak “ketelatan” yang berasal dari sebuah desa terpencil di ujung Bakongan. Melewati jenjang pendidikan sekolah menengah di Tapaktuan untuk kemudian beringsut melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di salah satu universitas di Jawa.
Sejak muda ia memang senang dengan hitung-hitungan dan menyelesaikan pendidikan akutansinya dengan cumlaude dan bekerja di Jakarta, Singapura, Taiwan serta ke Abu Dhabi.
“Saya concern dengan investasi resort di Pulau Banyak Namun tidak terlalu senang dengan investor luar. Kenapa nggak dibangun lewat kreatifitas anggaran daerah atau pusat. Kok dikit-dikit asing,” katanya dengan nada tinggi.
Masih dengan suara baritonnya, sang rekan, memberitahu bahwa Murban Energi itu ada adukan Cinanya. Kelak mereka akan menyerahkan manajemenya dengan Cina dan ujungnya akan masuk tenaga kerja Tiongkok.
“Aneuk aso lhok i pe tak. Alasannya sepele, nggak bisa kerja. Kita akan dapat remeh temehnya.”
Saya mengamini celotehan sang rekan. Ia banyak benarnya. “Investor asing itu nyinyir lho bang. Mereka ingin safety saja. Mereka selalu mengecilkan faktor risiko. Yang digimbalnyakan kita,” tambahnya.
Saya hanya bisa menyahut di ujung pembicaraan, Wallahualam…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”