SAYA tak menyangka ia bertanya sekaligus menjelaskan prinsip bank syariah untuk meluruskan debat hitung kancing baju di Aceh. Debat simalakama. Debat makan mati ayah nggak makan mati ibu.
Atau makan dua-duanya langsung koit. Bisa juga nggak makan dua-duanya lantas hang….
Tak menyangka pertanyaan dan penjelasan itu datang dari seorang yang kuah nggak beulangong pun jauh. Jauh.. jauh sekali…
Ia sendiri nggak ada sangkut sengkarutnya dengan bank syariah dalam konteks lembaga keuangan syariah yang telah ditabalkan dalam Qanun hamparannya “idem dito” peraturan daerah. Akronimnya perda.
Perda dibuat eksekutif dan legislatif di daerah. Kabupaten/kota dan provinsi. Proses legislasinya bisa cepat atau pun larut berdasarkan kepentingan. Bisa masing-masing atau pun bersama.
Untuk kemudian disetujui secara bersama. Persetujuan untuk mendapat pengesahan Stempel pengesahan itu datang dari departemen dalam negeri.
Saya tahu qanun keuangan syariah itu sudah disahkan. Sudah diberlakukan yang membuat lembaga keuangan non-syariah, seperti bank konvensional diberi tiket “exit permit.” Da..da..dah…
Yang bertanya dan menjelaskan prinsip bank syariah itu adalah anak Temanggung, Jawa Tengah.
Namanya Bambang Bujono.
Nama ini mengingatkan saya pada seorang teman ..dulu sekali… di majalah Tempo. Hanya nama yang sama. Profil dan karier beda. Bujono sana kecil mungil. Yang ini besar tinggi.
Tapi cara ngomongnya sama sebangun. Lebih banyak guyon dari seriusnya.
Bambang yang ini adalah seorang banker. Bankir hebat. Di City Bank. Di sebuah periode yang panjang. Kini sudah pensiun. “Mempensiunkan diri,” ujarnya nggak jelas.
Berada di usia enam puluhan akhir. Sudah sangat mapan. Rumahnya saja, kalau Anda mau tahu ada di Senopati. Orang Jakarta tahu siapa yang bisa punya rumah di Senopati.
Kalau Bambang wajar. Badannya saja besar. So pasti juga kantongnya juga besar. Tapi kesehariannya sangat sederhana. Kaos oblongnya saja dibeli di Glodok. Mobilnya Rush butut.
Kalau soal ini saya masih menang darinya. Ini selalu bikin ngakak kalau kami ketemu.
Hari ia bertanya dan menjelaskan tentang bank syariah ke saya ngomong awalnya tentang kopi. Kopi Pantan Musara. Kopi yang menjadi jembatan persahabatan saya dan dia. Arabica gayo mountain coffe.
Saya menamainya kopi diplomasi. Kopi yang menjadikan kami bisa mengukuhkan persahabatan
Kopi yang kini taste-rasa-nya sudah bisa direkayasa dari bibitnya. Mau anggur, apel atau orange juice. Bisa juga dengan rasa ….. ahhh cukup titik.. titik…
Kopi diplomasi inilah yang meneguhkan persahabatan saya dengannya. Persahabatan yang kami tabalkan dalam sapaan “ngon.”
Hingga di hari ia bertanya dan menjelaskan tentang bank syariah dalam kaitan dengan qanun keuangan syariah di Aceh ketika saya ketemuan di warung padang “pagi sore” kawasan Cipete.
Pertanyaan bagaimana dengan kelanjutan keberadaan qanun lembaga keuangan syariah. Yang saya jawab dengan gelengan kepala. Menyebabkan ia langsung menyombong:
“Ngon, syariah itu tidak membenci uang. Yang penting jangan biarkan uang mengatur syariah. Bank itu hakekatnya kan dagang uang.”
Ia mengingat, dulunya, banyak teman-teman sesama pegawai bank yang mengajukan pensiun dini dengan alasan tidak mau memakan uang simalakariba.
“Saya sendiri sebagai seorang muslim juga tidak mau kalah. Sering mengklaim adanya ekonomi syariah. Tetapi apa dan bagaimana sistem serta wujudnya terbentur oleh ketidakjelasan”.
“Sistem bebas bunga?”
Semua sistem perbankan di negara muslim maupun di negeri berpenduduk mayoritas muslim tetap memakai sistem bunga.”
Pro-kontra lembaga keuangan syariah. Termasuk perbankan, terus menjadi wacana publik sepanjang era.
Di Indonesia sekarang tumbuh bank syariah. Tetapi bisa dilihat bahwa bank syariah itu juga bekerja dengan sistem bunga. Entah apapun itu namanya. Semuanya dikelola serta di bawah naungan bank sentral. Bank Indonesia.
Tidak ada satu pun bank sentral di dunia ini yang dikelola dengan prinsip tanpa bunga. Anda bisa menjawab: apakah ada sebuah bank sentral yang bekerja tanpa sistem bunga?
Kayaknya mustahil ada prinsip-prinsip ekonomi dan perbankan yang bekerja tanpa sistem bunga.
Selama kita masih pakai uang nominal, bukan intrinsik; tidak mungkin ada sistem perbankan tanpa bunga. Bunga adalah konsekuensi dari sistem mata uang dan perbankan.
Hal di atas tersebut adalah pengetahuan ekonomi secara umum, mungkin saja ada di antara kita yang sanggup menjelaskan sebenarnya bagaimanakah lembaga keuangan syariah itu dijalankan.
Tapi faktanya hingga saat ini belum ada.
Di luar soal bunga, adakah soal lain dalam lembaga keuangan syariah?
Gagasan ekonomi syariah dibangun dari postulat bahwa Islam adalah sebuah sistem yang utuh, yang mengatur semua hal. Termasuk ekonomi.
Lalu orang-orang berpikir untuk membuat rumusan-rumusan. Seperti melahirkan qanun lembaga keuangan syariah dan kemudian direfleksikan dalam kerangka pemikiran ekonomi modern.
Bambang mengatakan, ibaratnya; seperti orang yang hendak membangun rumah.
Teknologi fondasi dan struktur bangunan ia dapatkan dari barat. Ia mencari potongan-potongan hiasan membuat bentuk lengkungan pintu, yang bergaya muslim. Lantas, ia menyebut itu sebagai rumah Islam.
Kalau memang masih mau membangun ekonomi syariah sepertinya ada prinsip-prinsip yang harus ditinggalkan.
Persis seperti orang-orang kapitalis maupun sosialis dengan mengadopsi prinsip “lawan”.
Mungkin bangunan qanun yang ada sekarang hanya sedikit hiburan, dengan jargon-jargon lembaga keuangan syariah yaitu bebas riba dan bank syariah.
Banyak di antara kita yang alpa bahwa, biar pun akad—perjanjian—di bank syariah itu memenuhi kriteria syariah, tapi dalam pelaksanaannya dekat sekali dengan bank umum.
Sangat dekat. Sebut saja satu item. Soal meminjam uang. Perjanjiannya adalah pinjam uang, untuk modal, dengan sistem bagi hasil. Kita yang berusaha. Bank syariah yang membiayai. Kalau usaha itu menghasilkan, labanya dibagi dua.
Anda memang tidak perlu membayar bunga. Anda cukup menyisihkan sebagian laba ke bank yang memberi modal. Berapa bagian masing-masing disesuaikan dengan perjanjian. Apakah itu bunga atau bagi hasil.. Terserah…
Lainnya, secara luas: apakah hanya bank syariah yang bisa menggerakkan ekonomi. Ataukah, itu hanya sekadar ganti nama, tapi praktiknya ya sama saja dengan keuangan lainnya?
Lanjutannya muncul pro-kontra terhadap bank syariah. Muncul dengan berbagai argumentasi dan mendominasi wacana publik Pro kontra ini makin menguat setelah bank syariah Indonesia, yang kini mendominasi Aceh down dan menyandera para nasabahnya. Aceh nyaris lumpuh total.
Lumpuhnya hampir satu pekan. Tapi antrean nasabah di teler dan anjungan tunai mandiri hinga berpekan-pekan. Mungkin sampai hari ini.
Saya sendiri kecipratan lumpuhnya walau pun dari kejauhan. Sayup-sayup. Dalam bentuk antrean. Tapi tidak panjang mengular. Dan tertolong oleh label nasabah prioritas.
Tambah lanjutnya. Muncul wacana dari legislatif untuk melakukan revisi terhadap qanun lima tahun lalu itu. Qanun lembaga keuangan syariah. Alasannya untuk menyempurnakan produk hukum.
Katanya. ide melakukan perubahan tersebut akan disikapi secara bijak lantaran yang hendak diubah tersebut merupakan produk buatan manusia.
Saya mengutip banyak “daleh” —alasan—untui memperbaiki qanun ini.
“Di perjalanan waktu, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan dari produk hukum tersebut sehingga tidak salah juga apabila legeislatif dan eksekutif berinisiatif melakukan perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan ummat.”
Yang mengatakan kutipan saya ini Anda sudah tahu. Mungkin juga sudah tahu. Itu barusan yang pro.
Ada juga yang kontra. Menuding revisi qanun sebagai upaya untuk menghapus atau menghilangkan sistem syariat dalam sistem keuangan di Aceh seperti yang ada di dalam beberapa pasal, di dalam produk hukum tersebut.
Pro kontra ini bak gayung bersambut. Ramai. Gaduh.
Bahkan memunculkan suara tengah. Kalaupun ada keinginan merevisi qanun upaya itu untuk memberikan pilihan bagi warga Aceh dalam menggunakan jasa lembaga keuangan. Bisa syariah maupun non-syariah.
Saya maklum saja terhadap semua ‘daleh.” Bagi yang pro qanun saya mafhum. Lahirnya perda itu dari proses perjuangan Merupakan buah dari keinginan warga h untuk menjalankan syariat secara kaffah.
Tanpa ada keinginan menafikan bank tertentu memonopoli jasa lembaga keuangan.
Sebagai daerah yang berkeinginan maju dan berkembang, serta tidak selalu dijadikan jargon daerah tertinggal, perlu mempertimbangkan berbagai peluang masuknya investor ke daerah ini termasuk dalam hal aturan daerah terkait jasa keuangan.
Selama ini, terdapat keluhan dari beberapa calon investor yang terkendala untuk berinvestasi di Aceh karena tidak beroperasinya bank konvensional di daerah tersebut sehingga menyulitkan mereka dalam melakukan transaksi.
Jangankan masuk, pengusaha lokal pun terpaksa keluar hanya karena sulit bertransaksi.
Pilihan masyarakat seharusnya diberikan dalam menggunakan sistem bank seperti apa untuk melakukan transaksi ekonomi di daerah ini.
Jikapun nanti bank konvensional kembali beroperasi, tetapi pelayanan bank-bank syariah akan berpacu jauh lebih baik sehingga warga tetap bertahan untuk menggunakan jasa keuangan bank sistem syariah.
Saya amin saja keinginan untuk mengubah produk hukum buatan manusia, selama itu bertujuan untuk mendapatkan hal yang lebih baik.
Wacana perubahan qanun lembaga keuangan syariah bukan untuk menghapus substansi syariatnya.
Kalau pun lembaga keuangan syariah diubah itu bukan berarti jilat ludah sendiri. Setiap keputusan yang salah memang harus dikoreksi lagi.
Entahlah simalakama…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”