NEWS, OPINI  

Usul Satu Nama Pj Gubernur, DPRA Mainkan Gaya Khas Orang Aceh

Said Mursal

Oleh Said Mursal*)

CUKUP kompak dan satu suara. Itulah sikap Pimpinan DPR Aceh bersama seluruh ketua fraksi. Mereka memutuskan calon tunggal untuk Pj Gubernur Aceh, yaitu Bustami Hamzah. Nama itu sudah diantar langsung ke Mendagri, Kamis, 15 Juni 2023.

Ini usulan DPR Aceh yang mewakili berbagai khalayak masyarakat Aceh dan resmi alias formal. Bukan main main, bukan gaya siwah “galak galak kutak sigo”.

Ini  harapan rakyat Aceh yang dibawakan oleh para wakilnya dengan satu kata. Kalau usulan ini ditolak oleh Mendagri, tentu akan jadi harapan kecewa seperti lagunya Allahyerham Datok Ahmad Jais dari Tanah Semenanjung.

Bila kukenang kurenung. Remuk redam rasa tak tertanggung. Harapan bahagia nan menggunung. Terhampar hanyut terapung.”

Artinya, kalau diterima jadi harapan bahagia. Ditolak? Ya, terhampar hanyut terapung.

Lalu, nama Pj Gubernur yang sekarang, Achmad Marzuki, dengan beberapa pertimbangan tak diusulkan lagi.

Yang tak menghendaki bukan empat lima fraksi, tetapi seluruh dari sembilan fraksi di DPR Aceh. Kompak dan satu suara.

Langkah ini sama artinya penjabat yang sedang berkuasa tak dikehendaki lagi memimpin Aceh ke depan. Titik. Bahasa pasarannya atau enaknya, “kami tak menghendaki Anda lagi, silakan bungkus baju. Kalau mau tambah lagi, Anda tak usah cari cara untuk bertahan atau diperpanjang daripada kita ribut nanti.”

Yang tahu selama setahun pekerjaan Pj Gubernur adalah DPRA dan sebagian warga Aceh. Sedangkan orang Jakarta atau Mendagri  sana kan tidak tahu. Ya kalau pun tahu hanya sedikit-dikit. Itu pun dibawa oleh ‘agen’. Yang namanya agen mana mau mempromosikan yang jelek-jelek.

Surat Mendagri Nomor 100.2.1.3/2971/SJ Tanggal 5 Juni 2023 yang ditujukan kepada Ketua DPR Aceh, perihal Usul Nama Calon Penjabat Gubernur, memuat salah satu poin penting, yaitu:

“Berkenaan dengan hal tersebut, DPR Aceh melalui Ketua DPR Aceh dapat mengusulkan tiga nama calon Pj Gubernur dengan orang yang sama atau berbeda untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden dalam menetapkan Pj Gubernur Aceh.”

Ini artinya, tak diusul lagi penjabat yang lama boleh-boleh aja. Tak ada yang salah. Diminta tiga nama kenapa diusul satu nama. Kan lebih baik satu diusul ke Mendagri atau Presiden biar pimpinan tak sakit kepala memikirkannya, karena banyak urusan lain yang  harus mereka selesaikan.

Usulan satu nama itu menurut pemikiran saya yang tak mau “cawe cawe” sudah bagus. Jakarta paling-paling kasih wanti-wanti dan petuah kepada penjabat yang diusulkan.

Kalau kemudian dipaksa  memang harus tiga  nama kurang arif. Lagi pula pejabat eselon I yang  ada di Aceh sangat terbatas.

Langkah atau sikap  DPR Aceh jangan membuat orang Jakarta ”teukeujot badan“.  Ini an riak-riak kecil yang berarti tak dalam.  Biasa aja bagi mereka, paling  kalau tak setuju mereka akan “cah rot lain.”

Biasalah permainan begitu. Kalau seluruh fraksi DPR Aceh sudah sepakat bulat, ini  bagi orang Aceh sama artinya “meunyo kapakat lampoh jeurat tapeugala.”

Lalu ada yang mengatakan sikap dan cara DPR Aceh ini memang khas gaya orang Aceh. Kalau sudah “beurigen”mereka  bakal “peuleuh bron.”

Cara yang ditempuh ini masih bagus, karena belum masuk kategori “meuhob.” Orang Jakarta sana harus bisa  mengerti, akan aspirasi dan kemauan orang daerah, jangan dianggap sepele.

Memang kewenangan DPR Aceh cuma sebatas usul, soal diterima atau tidak itu urusan Jakarta sana. Sebab bisa saja usulan ini ditolak atau diminta kembali membuat usulan tiga nama menurut aturan main. Dan, menurut saya, usulan satu nama juga aturan main, bukan aturan main main.

Pihak Jakarta harus mempertimbangkan secara arif dan matang usulan ini. Jangan mengedepan sikap ego. Ini kan wewenang penuh dari Mendagri untuk diusulkan ke Presiden.

Memang betul itu tak salah. Untuk apa juga dibuat aturan DPR Provinsi boleh mengusulkan nama untuk penjabat gubernur. Harus ada dialog yang arif antara kedua pihak. Ini kepentingan daerah usulan DPR Aceh. Tetapi Jakarta juga ada kepentingan. Sama-sama ada kepentingan. Jakarta apa pentingnya? Hanya mereka yang tahu.

Saya kira DPR Aceh atau calon penjabat gubernur yang diusulkan tadi  juga siap mengakomodir kepentingan Jakarta. Orang Aceh juga tahu diuntung, ada tolak-tariknya. Urusan “boh manok mirah bisa dibagi bacut bacut sapo.”

Lalu ada yang mengatakan sikap dan cara DPR Aceh ini memang khas gaya orang Aceh. Kalau sudah “beurigen” begitu cara yang dilakukan  ini masih bagus, karena belum masuk kategori “meuhob.”. Orang Jakarta sana harus bisa  mengerti akan aspirasi dan kemauan orang daerah,  jangan dianggap sepele.

Ini bukan persoalan politik sederhana, tapi boleh juga dikatakan pelik kalau mau dipelikkan. Apakah Mendagri akan mengambil kebijakan untuk mendukung dan mengabulkan yang diminta DPR Aceh. Kita tunggu saja langkah apa yang akan  mereka ambil. Apakah ini  akan jadi  persoalan tolak tarik atau bakal sama seperti  usulan untuk penjabat  gubernur tahun 2022?

Langkah DPR Aceh secara gamblang sudah memperlihatkan secara telanjang kepada masyarakat. Ini pandangan dan sikap kami. Bukan kami  membandel atau apa. Tapi inilah yang bisa  kami sampaikan setelah melakukan evaluasi dan macam-macam.

Bagi saya ada yang menarik. Dulu, pasca-MoU Helsinki, ada pameo di kalangan masyarakat Aceh: Aceh boleh minta apa saja asal  jangan minta merdeka.

Pameo ini yang dibuat oleh masyarakat Aceh atau memang istilah ini datang dari orang-orang penting di Jakarta sana. Saya kurang tahu.

Istilah itu berkembang di masyarakat Aceh. Tapi sekarang tampaknya dengan perjalanan waktu keadaan   berubah, banyak kali minta, kutempeleng nanti.

Lalu kenapa ada demo meminta penjabat sekarang diperpanjang. Ya…biasalah demo begitu, maklum aja. Ada juga suara-suara kecil yang mencoba membela penjabat gubernur. Pro dan kontra biasa. Tapi lihat kadar kontra dan pro-nya, besar mana.

Terkait usulan satu calon, hampir bisa dipastikan akan ada hambatan juga bagi para politisi atau siapalah. Yang pasti akan ada gerilya untuk menghambat usulan ini. Pasti ada orang Aceh yang “gatai leubo.”

Jangan heran kalau ada ureung Aceh di Jakarta sana atau yang dari Aceh ke Jakarta untuk “peukaco ie.”

Pasti akan ada opini yang beginilah, begitulah, kurang tepat, dan semacamnya. Itu sudah dari dulu ada “cit ka peukateun, meunyo ditunyok awak droe kana yang peukaru.”

Biasalah karena semua soal kepentingan. Nanti kalau ditunjuk bukan dari Aceh, mereka juga akan komentar lagi. Dengan nada yang lebih kurang sama. []

*) Penulis adalah wartawan senior