Heboh Baru

Darmansyah

HEBOH baru datang lagi. Usai heboh yang belum padam: pro-kontra revisi qanun lembaga keuangan syariah.

Sebelumnya sudah ada heboh-heboh lainnya. Heboh: usul ganti penjabat gubernur. Heboh down-nya jaringan sistem bank syariah indonesia. Heboh dana otonomi khusus, Heboh pokir. Heboh Aceh miskin.

Tak terhitung. Banyak… Banyak sekali. Bukan sekali banyak. Berurutan.

Bahkan, sejak akhir pekan lalu datang lagi heboh baru. Anda pasti tahu. Lebih tahu dari saya.

Sedangkan saya tahunya dari google. Google yang banyak tahunya. Saya trahu setelah menuliskan  kata: rumoh geudong. Tambah kata: runtuh. Maka lengkaplah runtuhnya Rumoh Geudong.

Lengkap juga tahunya saya. Rumoh Geudong yang runtuh dari sebuah klik ujung jemari. Yang Anda juga  bisa tahu semuanya. Seperti saya.

Rumoh Geudong diruntuhkan. Diratakan. Akan dibangun masjid di atas pertapakannya, Entah .. akan,,,akan.. apalagi. Baca sendirilah dari judul dan isi berita yang banyak itu.

Kalau saya hanya bisa membacanya dengan tawa terbahak. Judul-judul berita hanya berbumbu komentar yang kadang terpeleset dan ada hoax-nya.

Tujuannya bukan semata-mata mengemukakan atau menceritakan fakta, tetapi spekulasi dan ilusi dengan efek kehebohan. Ada bayang-bayang kepentingan yang mengendap-endap di sana.

Kalau sudah begini, hilanglah beberapa fungsi media massa: memberi informasi yang akurat, mengedukasi pembaca, memberikan inspirasi, atau mempengaruhi pembaca menjadi lebih baik.

Lantas apa yang tersisa dari berita-berita itu. Cuma hiburan, setidak-tidaknya bagi saya sendiri.

Bagaimana saya bisa tertawa bahak-bahak membaca judul-judul berita yang “aneh bin ajaib” itu.

Kemudian tawa saya menjadi sempurna tanpa takut dosa manakala membaca kelanjutannya yang bermuara ke “rezim programmatic” dan “google friendly”.

Tawa saya malah makin meledak setelah seorang teman memberitahu bahwa ada unsur “hate speech“. Kebencian yang dibalut dalam banyak komentar oleh  “rezim programmatic” dan “google friendly”.

Saya sendiri nggak punya kepentingan dengan Rumoh Geudong. Kalau  itu dari sisi kepemilikan. Paling kepentingan saya dari angle-segi-tulisan.

Itu pun dulu. Ketika saya menuliskannya dengan narasi hambar sebagai reporter lokal  Ketika Rumoh Geudong bak penjara “Tangerang”,  “Masuk gemuk … keluar tinggal hang.”

Heboh Rumoh Geudong ini ampuun ramainya. Ramai membengkok-bengkokkan. Membelok-belokkan. Bengkoknya gak patah-patah. Sedangkan belokannya atas nama kepentingan.

Kepentingannya Anda pun gak perlu saya ajarkan. Tahu sama tahu. Bahkan seorang kawan mengirim pesan ke saya tentang kepentingan ini dengan nada canda mengejek. “Peng griek,” ngon.

Anda jangan mengartikulasikan “peng griek” itu dengan titik..titik.. Artikan saja sebagai pragmatism. Pragmatisme inilah yang kini menjadi “live style lonely” para “rakan geutanyo.”

Saya tak ingin memberi terjemahan apa itu “live style lonely.”  Anda bisa cari sendiri arti sesungguh. Lantas gumamkan. Jangan semburkan. Please….

Saya hanya ingin menulis sedikit tentang Rumoh Geudong itu. Rumah setengah panggung. Khas rumah raja kecil atau kepala nagari yang di Aceh dinamai dengan ulee balang.

Letaknya di Gampong Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie,

Lainnya, biarlah orang lain yang menulisnya. Bisa lebih lengkap.

Yang saya tulis ini adalah Rumoh Geudong saat ini menjadi topik perbincangan publik. Hanya sepelemparan jaraknya dari jalan raya Banda Aceh-Medan. Tak jauh dari  sebuah pertashop Teupien Raya.

Belok kanan kalau dari arah Sigli. Rumoh Geudong yang menyimpan banyak misteri.

Selasa, 27 Juni 2023, Jokowi ke Rumoh Geudong untuk sebuah acara kick-off penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu di Aceh secara non-yudisial.

Acara ini penting sebagai penyembuh luka menahun yang getirnya masih sangat dirasakan oleh Aceh. Luka yang dalam. Dalam sekali.

Untuk itu mungkin sisa bangunannya harus diratakan karena  merupakan tempat pelanggaran hak asasi manusia kelas berat  saat masa daerah operasi militer.

Namun, pembongkaran Rumoh Geudong itu mendapatkan penentangan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Mereka keberatan bangunan itu dibongkar. Juga dipertanyakan alasan  pembongkaran walaupun dengan dalih untuk pembangunan masjid.

Bukankah di kawasan itu  sudah ada dua masjid sehingga dinilai cukup. Mereka menolak dengan tegas pengalihan fungsi situs sejarah kekerasan itu.

Karena apapun ceritanya itu merupakan bukti sejarah waktu masa konflik dulu.

Bahkan sebuah organisasi mantan kombatan sudah menyurati Jakarta agar situs bangunan tersebut tidak dimusnahkan. Justru mereka meminta agar bangunan itu dibuat museum atau sekolah.

Lantas muncul kecurigaan tentang kemungkinan  upaya penghilangan sejarah maupun bukti pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rumoh Geudong agar pelaku yang masih ada dan terlibat tidak bisa dijerat.

Curiga atau gak, hari Selasa, Joko Widodo tetap akan  meluncurkan penyelesaian non-yudisial dua belas pelanggaran hak asasi manusia berat  di lokasi Rumoh Geudong yang sudah rubuh.

Lantas bagaimana sejarah getir rumah ini.

Anda tahu Rumoh Geudong merupakan sebutan untuk sebuah gedung pos satuan taktis dan strategis di sektor A, Gedung ini pada masa darurat militer digunakan sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan warga.

Di Aceh sendiri ada tiga lokasi pelanggaran HAM berat. Ada Simpang KKA, Rumoh Geudong dan  pos sattis lainnya  di Jambo Keupok.

Rumoh Geudong menjadi salah satu dari puluhan kamp penyiksaan militer yang tersebar di Aceh. Sederet kisah luka menjadi catatan dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang dialami rakyat Aceh di era daerah operasi militer.

Rumah itu sendiri ditempati sementara oleh tentara tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saat itu, pemilik  sempat menyatakan keberatannya. Namun, pasukan pemerintah sudah membuat rumah itu sebagai lokasi tahanan.

Ada yang menyaksikan aksi kekerasan dan juga masih merasakan trauma mendalam. Ada yang sangat membekas dan sempat menyebabkan kebencian terhadap negara.

Rumah itu dibakar massa usai pencabutan status daerah operasi militer. Massa, entah bagaimana ceritanya, berbondong-bondong mendatangi rumah penuh sejarah itu dan membakarnya.

Rumah yang semula berbentuk khas Aceh itu dibakar namun masih banyak kerangka bangunan yang tersisa di lahan dua hektare tersebut. Saat itu tersisa sebuah tangga berdiri kokoh setinggi satu setengah meter.

Tidak jauh dari sana, bekas lantai dan dinding beton sudah dipenuhi semak belukar. Lokasinya sekitar seratus meter dari Jalan Nasional Medan-Banda Aceh. Kini semuanya sudah rata dengan tanah. Tak ada lagi bangunan yang tersisa.

Yang tersisa hanya kisah pilu, getir, dan menyesakkan. Entah kapan pula sisa itu bisa diratakan.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”