RUMOH Geudong, Simpang KKA dan Jambo Keupok melupakan Pulot Tjot Jeumpa.
Saya sengaja menuliskan Pulot Tjot Jeumpa dengan ejaan lama. Ejaan bahuela. Ejaan yang menyebabkan Aceh amnesia. Amnesia ketika alpa menziarahinya di batangan akar memori.
Saya sendiri tak tahu apakah amnesia itu datang dari kerusakan sistem limbik di otak. Sistem yang berperan dalam mengatur ingatan dan emosi seseorang. Entah ya..
Amnesia yang ingin saya tulis ini hakekat maknawi ke-acehan-nya “tuwo.” Melupakan.
Lupa oleh penyakit “peh dada” Penyakit “peh dada” dalam dinamisasi gerak seudati disertai koor kosakata “keu” sembari meneruskan tudingan telunjuk ke semua arah… “kon dron.”
Anda bisa membuat persepsi sendiri tentang “tuwo” ini untuk kemudian mem-”framing”-nya sebagai bagian dari konstektual untuk sebuah kesimpulan.
Selanjutnya… kemaslah jawabannya. Sesuka hati… Saya sendiri tak ingin masuk dalam jaringan serabut jawaban Anda.
Saya hanya ingin mengingatkan banyak orang tentang luka Aceh yang bukan hanya Simpang KKA, Rumoh Geudong, Jambo Keupok maupun Bantaqiah.
Masih ada Pulot Tjot Jeumpa yang di hari saya menulis ini ia sudah berada di ejaan baru..Ejaan yang ending-nya belum bergeser dari rumoh gedung, simpang kka dan jambo keupok.
Ejaannya tetap dalam satu kosakata: non-yudisial.
Non-yudisial yang kemasannya: maaf. Maaf seperti dari Gampong Bili yang narasinya sama tapi lokasi dan pemerintahannya beda.
Di Pulot Cot Jeumpa narasi maafnya di parlemen. Oleh seorang Ali Sastroamidjoyo. Ali yang perdana menteri berjenggot dan barewok lebat.
Di pelataran reruntuhan Rumoh Geudong Anda sudah tahu. Tak perlu saya tulis.
Beda lainnya narasi maaf Pulot Cot Jeumpa masih berada di pascaromantisme kemerdekaan itu tak disertai dengan kata “kick off.”
“Kic off” yang menyempal dengan kalimat tambahan berbunga “living park” atau memorial atau juga monumen. Entah apa lainnya saya tak tahu. Seperti Anda juga gak tahu.
Di hari ejaan Pulot Cot Jeumpa yang berubah itu ia menendang memori saya. Tendangannya datang ketika saya menurun dari pendakian Kulu usai Paro untuk bertemu dengan Geurutee.
Pendakian dan penurunan Kulu itu kelokannya bak syair “dodo ida.. doda idi”…..hingga berakhir di telapak Cot Jeumpa.
Tendangan memori Pulot, Leupung, Cot Jeumpa, Lhoong, Krueng Kala plus pembunuhan massal… Masih saja menggelantung dalam jahitan bahasa prokemnya pelanggaran hak asai manusia berat.
Pelanggaran hak asasi manusia berat dimanapun dan kapanpun unggahan rumusannya tetap di satu kata: tragedy.
Pulot Cot Jeumpa memang tragedi. Saya kesulitan memakai kata pelanggaran untuk kasus ini. Sejak dulu. Sejak saya mendapatkan cerita sahih-nya dari mulut pertama. Pelanggaran berat atau pembantaian.
Entahlah…
Saya tak ingin menyiram akar otak Anda dengan hak asasi manusia berat ini. Anda bukan bagian darinya. Bahkan Anda masih di langit Tuhan kala itu.
Saya sendiri yang lahir di era itu juga ikut amnesia hingga di dhuha itu ketika sampai di telapak Kulu. Amnesia menemukan jalan ke Pulot.
Pulot yang kuburan massal tempat enam puluh empat dari sembilan puluh sembilan anak manusia yang dikuburkan setelah dikoyak bedil republik yang misinya “sabang-merauke.”
Saya menyengajakan menulis Pulot Cot Jeumpa. Di hari-hari ini. Hari-hari semua kita dihinggapi penyakit amnesia. Amnesia oleh mimpi rumoh geudong. Mimpi marah, kecewa, memaafkan dan sebagainya,,,
Padahal bentangan benang merah antara Pulot Cot Jeumpa dan Rumah Geudong itu sendiri tak pernah terputus. Ia tersambung. Oleh kesejarahan dan tragedi bin tragedi….
Sehingga saya dalam banyak kesempatan sering dengan kalimat satire mengatakan: simpang kka, rumoh geudong dan jambo kapok muara bin-nya ada di pulot cot jeumpa.
Anda nggak percaya?
Telusuri benang merah jalan hidup seorang Hasan Tiro yang menghubungkan Pulot Cot Jeumpa dengan Rumoh Geudong dalam narasi keadilan.
Jalan hidup seorang mahasiswa di Universitas Columbia, Amerika Serikat. Hasan Tiro yang nyambi pada dinas penerangan delegasi Indonesia di PBB.
Hasan Tiro yang menyentak dan membentak bahwa tragedi Pulot Cot Jeumpa adalah pembunuhan massal. Sebagai bentuk genosida.
Ia menyempal dari pekerjaan nyambinya. Melancarkan protes ke pemerintah Indonesia, mengirim request dan bentuk surat ultimatum ke pemerintahan Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.
Surat terbuka tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa Kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara.
Bahkan Hasan Tiro melaporkan kejadian itu ke agenda PBB.
Karenanya, Tgk Hasan Tiro dicabut kuasa diplomatnya. Tgk Hasan Tiro pun balik arah, mendukung Darul Islam.
Sejak itu ia menjadi bagian perlawanan dan pernah diminta untuk diekstradisi, tapi dia mendapat jaminan untuk tidak dipulangkan.
Ketika di era damai Aceh meraih predikat istimewa keadilan tetap terbengkalai. Berselang empat belas tahun kemudian, di tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh enam Hasan Tiro mendeklarasi aceh merdeka
Saya tahu dan pernah diberitahu gumpalan benang merah. Benang merah Pulot Cot Jeumpa, Simpang KKA, Rumoh Geudong dan sebagainya yang berpilin oleh ketidak-adilan.
Ketidak-adilan terhadap bakti Aceh ke republik. Dari pengerdilan wilayah dengan disapihnya Langkat dan Tanah Karo. Juga pengerdilan sumber daya alam yang dibancak.
Anda sudah tahulah bagaimana distribusi kue gas alam arun dibagikan. Bagaimana Aceh akhirnya menerima sumur tua di ladang gas arun yang sudah mengering.
Perlawanan Aceh bukan atas nama ingin menyapih, seperti kesimpulan saya dengan seorang intelektual Aceh yang telah syahid di era gerakan aceh merdeka. Bukanlah karena ingin memisahkan diri.
Kalaupun harus berpisah ada eleganitasnya. Referendum.
Ini yang disuarakan dengan lantang di era euphoria tuntutan merdeka. Tuntutan untuk mendapat jawaban dari flashback.
Ah …terlalu jauh saya menerawang di luar konteks Pulot Cot Jeumpa. Padahal ia adalah tragedi. Seperti juga rumoh geudong, simpang kka, jambo keupok, bantaqiah dan tragedi entah apa lainnya.
Mungkin tragedi kita sendiri. Di hari ini. Di hari-hari otonomi khusus. Di hari-hari “peng griek,” toke bangku, pokir dan semuanya….
Usai menemukan belokan Pulot saya menelusuri jalan bersemak. Menemukan gerbang di lima ratus meter dari lintasan jalan Banda Aceh-Meulaboh di kaki Kulu.
Masih ada pertanda yang sudah berdaki dari gerbang bertuliskan: Kuburan Syuhada Pulot Cot Jeumpa. Dalam ejaan baru.
Gerbang yang pintunya besinya dimakan usia dan berantakan. Masih ada pagar yang melingkari makam yang ditumbuhi rerumputan sebagai pertanda sudah lama tak didatangi penziarah.
Pulot Cot Jeumpa memang bukan living park. Bukan memorium. Bukan juga monumen, tapi ia tetap sebagai tonggak non-yudisial. Ia adalah saksi bisu dari sebuah tragedy.
Tragedi yang diungkapkan secara telanjang oleh sebuah media lokal. Media lokal yang investigasinya di enam puluh delapan tahun. Harian “Peristiwa.”
Harian yang memberi tempat di headline halaman pertamanya: Bandjir Darah di Tanah Rencong.
Kata “banjir” ini menjadikan benar-benar banjir ketika media mainstream global membuat laporan tersebut kemudian secepat kilat menjadi santapan dunia internasional.
Beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya dan media terbitan luar negeri seperti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang ikut mengutip laporan tersebut.
Saya tak ingin menulis peristiwanya sebagai utuh. Peristiwa tentara yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai pulot dalam amukan kemarahan membara itu.
Mereka menyeret warga berdiri berjejer. Menggiring anak-anak, pemuda, serta orangtua ke pantai dengan menghadap lautan lepas lantas dor..dor..dor…
Tujuh puluh lima orang tumbang. Tujuh puluh di antaranya syahid meninggal dunia di tempat. Lima orang lainnya luka-luka.
Peristiwa ini sendiri berawal dari penghadangan sebuah truk militer di Jembatan Krueng Raba, Lhoknga, oleh pasukan tentara Islam.
Anda tak perlu saya ajari kalau penghadangan itu di masa darurat militer. Jawabannya pun pasti Anda lebih tahu dari saya. Tentu ada kata sapunya. Entah itu sapu bersih atau sapujagad.
Karena saya gak menulis tentang peristiwa Pulot Cot Jeumpa dan menulis amnesia maka sistem limbik otak mengatur ingatan dan emosi sampai di sini.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”