SEHARUSNYA saya menunggu sampai besok. Apakah demo besar itu akan jadi. Demo besar seperti ditulis oleh beberapa media mainstream maupun online.
Kalau pun demo ini jadi, sayangnya, saya gak bisa ikut apalagi menyaksikannya langsung. Terlalu mahal ongkos yang harus saya keluarkan untuk sekadar ikut maupun menyaksikan langsung.
Kepentingan saya hakikinya hanya untuk menghitung jumlah pendemo, jumlah spanduk plus isi tulisannya. Lantas siapa yang didemo. Juga sekalian merekam yel-yel para pendemo.
Lainnya… dan sebagainya… dan sebagainya…
Kalau pun juga saya harus ikut dan menyaksikan paling sebagai “old jurnalis” yang diberi label senior editor. Saya akan melebarkan reportasenya lewat pertanyaan secara personal kepada pendemo.
Apakah demo ini aspirasinya murni, terprovokasi atau diprovokasi, dapat transport gratis plus makan siang gratis. Atau hanya sebagai aksi hura-hura. Kan gak ada makan siang gratis walaupun untuk sebuah demo.
Anda sendiri pasti sudah tahu tentang rencana demo hari ini. Kalau pun gak tahu saya beri tahu sajalah: demo penolakan perpanjangan masa jabatan penjabat gubernur Aceh Achmad Marzuki.
Saya sendiri tahu rencana demo ini dari kiriman postingan berita di whatsapp seorang teman. Narasinya masih dalam bentuk seruan. Dan saya menanyai sang teman, apakah rencana demo ini sudah matang?
Jawabannya cespleng. “Setengah matang.”
Saya maklum. Kan muasalnya masih seruan, Jadi demonya masih rencana. Entah … usai publish tulisan ini demonya jadi. Wallahualam…..
Please… lihat, dengar atau baca saja.
Dari bacaan saya yang literasinya jurnalistik, seruan itu nadanya gak bergeser dari narasi tokoh kampus dan intelektual Aceh tentang marwah tanoh indatu yang harus dikembalikan dari kezaliman pusat atas dinamika penunjukan penjabat.
Saya gak menuding sang tokoh sebagai provokator. Terlalu naif, Sebab ia seorang intelektual yang tahu tentang etika. Tahu memilah mana yang hoak dan literasi.
Baginya, keputusan memperpanjang masa jabatan sang penjabat ditempatkan pada posisi hilangnya nilai tawar Aceh di tingkat pusat. Hilangnya kesetaraan dialog pusat-daerah
Narasi Aceh tidak lagi macam ketok palu. Tak ada lagi suara yang saling bersahutan. Integritas Aceh dalam negara kesatuan gak ada apa-apanya. Pusat tidak lagi mengakomodir suara Aceh secara integral.
Bahkan, baginya, pusat memberi sahutan dalam bentuk penghinaan.
Betulkan demikian?
Saya bukan orang yang pantas untuk menjawabnya. Terlalu simplistic. Menyederhanakan masalah lewat narasi kemarahan. Apalagi kalau dikaitkan dengan sejarah masa lalu Aceh dalam konteks pusat-daerah.
Apalagi kalau kasus perpanjangan jabatan penjabat gubernur ini diposisikan sebagai pelecehan kedua untuk Aceh usai pembubaran provinsi di era lima puluhan.
Kalau sisinya sebuah pembelajaran saya sih oke. Pembelajaran dari lemahnya nilai tawar Aceh ke pusat. Nilai tawar yang pusat tahu di mana letak kelemahannya. Kelemahan terhadap tawaran “peng griek.”
Pembelajaran juga terhadap eksistensi otonomi khusus yang memberikan ruang bagi keberadaan partai lokal sekaligus munculnya institusi pemerintahan lokal dalam bentuk wali nanggroe.
Ruang politik dan institusi yang hanya sebatas nama tanpa mampu mengadopsi suara akar rumput untuk dijadikan pressure bagi kebaikan bersama.
Saya gak ingin masuk wilayah ini. Anda pasti tahu bagaimana sulit menyatukan suara elite yang memiliki basis masa di akar rumput. Terlalu rumit untuk memilahnya.
Memilah antara nagabonar yang satu dengan toke bangku yang lain. Nagabonar dan toke bangku yang menjadi ciri romantisme pascaperang dimanapun. Romantisme kepentingan.
Anda gak percaya. Minta saja para akademisi idealis menelitinya dari sisi kiri, kanan, samping dan atas bawah. Pasti ketemu simpul yang membelitnya.
Secara kasat mata Anda sendiri pasti sudah membaca resensi panggung dari naga bonar dan toke bangku ini. Bahkan menjadi tontonan. Saya tak tahu mana cuak atau penjilat.
Sehingga tulisan ini sengaja saya dangkalkan di batas demo yang poster seruannya mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh memperjuangkan marwah bangsa Aceh
Caranya mendesak pusat untuk membatalkan surat penunjukan perpanjangan penjabat gubernur
Yang kemudian mendesak sang penjabat mengundurkan diri karena tidak memberikan dampak yang berarti dalam pembangunan provinsi ini.
Masih ada lagi narasi lain di poster itu. Mendesak pusat untuk menetapkan putra terbaik Aceh sebagai penjabat.
Stop penzaliman dan bla..bla..bla,,. Sangat sederhana. Dan tidak sederhana untuk dipenuhi.
Saya tak tahu apa yang akan menjadi jawaban mereka yang sasaran demo. Pasti berada di tataran normatif. Mereka terlalu sibuk dengan pokir maupun mengumbar janji untuk jargon: ….lupa berdiri.
Sama normatifnya dengan mereka yang mendukung. Hitung saja berapa jumlah person yang mengatasnamakan lembaga yang memberi aplaus terhadap perpanjangan masa jabatan penjabat ini.
Saya tak ingin menyebutnya satu per satu. Terlalu banyak kop beritanya. Dan saya tak mau mengulangnya di tulisan ini.
Saya kira mereka tahu apa yang harus dikerjakan secara kelembagaan, tanpa harus kita perintah. Mereka bukan anak-anak.
Lantas bagaimana sikap dewan atas kenyataan ini? Akankah menerima begitu saja “barang” yang sebelumnya sudah ditolak?
Ataukah parlemen Aceh melakukan “perlawanan” dan kekeh menolak untuk melanjutkan kepemimpinan di Aceh?
Sekian sajalah…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”