SAYA sedang di penurunan Naggrek untuk memutar di belokan pasar Limbang usai keluar dari Bandung untuk menuju Cibatu lanjut ke Garut ketika treng handphone itu datang.
Penurunan Naggrek dan putaran pasar Limbang adalah derita di setiap hari-hari “week end.” Derita macet.
Simpul macetnya bak pilinan benang kusut. Saya gak usah mengajari Anda tentang benang kusut. Juga macet yang kusut. Sudah tahu sama tahu.
Macet Naggrek – belokan pasar Limbang macetnya berkilometer. Juga bisa belasan kilometer.
Apalagi ketika saya melewatinya di hari hujan gerimis itu ada tambahan derita. Musim liburan sekolah.
Kalau di hari-hari akhir pekan saja macetnya bak benang kusut apalagi jika ditambal oleh musim liburan sekolah. Pikir sendirilah.
Secara derajat kemacetannya, bagi Anda yang pernah melewati jalur ini pasti tahu angka grafik dan skala benang kusutnya.
Bisa sampai pada angka tiga ratus enam puluh. Angka puncak. Di angka seratus delapan puluh saja kita sudah hoyong. Apalagi di posisi dua kali lipatnya.
Kalau angka ini Anda pindahkan untuk tensi di termo ukuran darah tinggi akibatnya pasti koit. Di posisi angka ini pembuluh darah ke otak bisa pecah. Kalau pun tidak koit dampak paling ringannya stroke.
Macet Naggrek-Limbang ini bagi saya adalah sebuah “stroke jalanan.” Satu kata untuk di-”hambo”-kan. Pangsan…
Kalau pun mau dikomparasikan dalam hitungan jam kemacetan ini bisa mencapai empat hingga lima jam. Berarti, kalau hitungan perjalanan di kampung saya waktunya Banda Aceh-Lhokseumawe. Atau Banda Aceh-Meulaboh.
Padahal kilometer Naggrek-Limbang cuma sepelemparan. Cuma dari Banda Aceh-Lambaro. Jika dihitung pilin kemacetannya bisa sampai Samahani maupun Indrapuri. Anda hitung sendirlah jarak kilometernya,
Bandingkan juga dengan jarak tempuh Jakarta–Bandung lewat tol Cikampek plus Padalarang cuma satu setengah jam. Seratus lima puluh enam kilometer. Seperti waktu tempuh perjalanan saya.
Bagi warga seputar Bandung Raya, Tasik maupun Garut soal macet ini dijawabnya dengan dua kata pendek: mah …biasa..
Kalau Anda?
Saya gak mau menulisnya dalam dialek “spartan.” Gak sopan untuk ukuran “nan geulis.” Walaupun sangat biasa untuk prokem Anda.
Tapi bagi Anda yang pernah menikmati macet kawasan Lambhuk di Ulee Kareng, tentang macet Naggrek saya gak tahu bagaimana umpatan ala “toke bangku” yang meuhambo.
Atau bagaimana triitt..tit..tit ..gaduhnya bunyian klakson.
Tapi ini Naggrek plus Limbang. Gak ada trat..trit..trit. Semua pengendara maklum. Obatnya sabar lewat mainan handphone. Termasuk saya.
Hingga treng telepon lewat aplikasi whatsapp itu. Yang lambat saya respons dan lantas padam. Yang kemudian saya jreng kembali dan blass…
Sang penelepon teman sekalian abang. Teman satu profesi. Jurnalistik. Dulunya. Dulu sekali. Yang Anda-anda belum lahir atau belum mengenal apa itu jurnalistik.
Yang dalam perjalanan hidup si abang. kemudiannya, dihampiri profesi baru. Entrepreuner. Yang hakikahnya pengusaha. Pengusaha yang selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkan sebagai peluang.
Menggenggam dua profesi sekaligus menyebabkan si abang melambung. Satu profesi saja digenggam lambungan bak layangan tunang apalagi dua.
Saya memanggilnya abang bukan berarti hanya faktor umur biologis, Tapi juga stratanya di profesi jurnalis lebih tinggi. Ia “toke” koran. Sedang saya “koeli” koran.
Sedangkan untuk sapaan “koeli tinta”-nya status saya sama sebangun dengannya. Ha..ha.. ha..
Ketika ia menelepon saya di simpul macet Naggrek-Limbang itu.. holalah…. Fokus sambungannya masih tentang jurnal. Tentang tulisan saya di “Kolom Bang Darman.” Judulnya: Aceh Marah.
Di sana ada kata tokoh secara berulang. Dan kata tokoh itu pula yang diulang-ulangnya dalam pembicaraan awal kami. Tokoh akademis yang marah tentang degradasinya marwah Aceh.
Marwah yang dinarasikan sang tokoh sebagai penghinaan dalam negosiasi penunjukan penjabat gubernur. Narasi “kiamat” kecil untuk integritas Aceh. Kiamat penghinaan. Yang saya gak tahu siapa menghina dan terhina.
Saya sendiri gak merasa terhina. Saya lebih terhina ketika syahwat pokok-pokok pikiran yang akronimnya pokir makin sulit dikendalikan. Syahwat pokir yang menyebabkan wakil rakyat makin telanjang,
Telanjangnya berada dalam angka em-em-an. Anda tahukan angka em ini. Bukan angka yang di deh-em-kan sebagai belanja “bu gurih” rasyid di pagi jumat.
Ah,, gak usahlah saya lanjut dengan masalah ini. Memalukan.
Lebih baik bicara mengenai tokoh, marwah, penghinaan dan lain-lainnya. Yang lain itu, seperti, sapaan si abang tentang marwahnya yang digilas kasus perpajakan. Kasus perpajakan dari Jakarta.
Yang menyebabkan tujuh rekening diblokir. Yang menyebabkan kehidupannya menjadi paria. Padahal ia masih naik bmw seri terbaru, penampilan kasual dalam balutan busana calvin klein dan sebagainya.
Selain itu ia masih punya banyak asset dan belum menguap posisinya sebagai seorang distributor sebuah pabrik semen sebagai tulah atas tanah milik indatunya.
Saya tidak bicara mengenai bisnisnya. Hanya ingin bicara tentang penghakiman dirinya sebagai tukang kemplang pajak. Padahal dia seorang gentlemen dalam bisnis.
Lurus ke atas dan lurus ke bawah serta meluruskan tangannya ke samping. Itu prinsip bisnis yang dia jalankan. Prinsip bisnis dari cina hokian atau pun kwantung temannya bermitra ketika memulai bisnis.
Si abang ini gak mau terima tuduhan tukang kemplang ini. Ia mengajukan surat keberatan. Tapi tak di-amini.
Kalau Anda pernah punya urusan dengan pajak pasti tahu kalau surat keberatan ini ditolak. Siap-siap saja untuk langkah selanjut. Langkah jalan lurus menuju peradilan.
Saya tak tahu jalan berbeloknya. Menurut banyak cerita yang beredar ada jalan berbelok yang menikung. Seperti kasus Rafael Alun, mungkin. Entah juga ya…
Bagi si abang ia lebih senang menempuh jalan lurus. Tak mau dengan kompromi jalan berbelok yang menikung. Bahaya bagi jati dirinya. Sebuah dosa tak termaafkan di hari tuanya.
Jalan lurus yang ditempuh si abang adalah marwah Aceh. Integritas moral dalam balutan satu kata: eleganitas. Jalan ini yang ia tempuh.
Bukan jalan banyak teman-temannya yang membawa posisi tawar berselera rendah. Selera kepentingan pribadi atau kelompok. Seperti yang terjadi waktu pengajuan nama penjabat gubernur kemarin.
Si abang menghimpun kekuatan. Membuat surat ke banyak institusi terhadap kasusnya. Saya tak ingin merinci ke mana surat itu dilayangkan. Dan juga tak mau menyalin apa isinya. Pokoknya keras.
Ia sendiri mendatangi pusar masalah. Bersuara keras walaupun dikemas dengan intonasi datar sebagai ciri khasnya sejak dulu.
“Cukup satu hari Man,” katanya kepada saya tentang penuntasan masalahnya yang rumit tapi sederhana cara menyelesaikannya. Tidak seperti heboh perpanjangan masa jabatan penjabat gubernur.
Heboh perpanjangan jabatan penjabat gubernur yang pro kontra. Dakwa-dakwi khas syedara. Dakwanya diramaikan dengan demo seruduk pintu gedung dewan.
Sedangkan dakwinya undang wartawan lewat gelas kopi enam ribu rupiah plus pulot panggang khas keude solong atau taufik. Atau pun bisa ditingkatkan ke marwah lebih tinggi pajoh kuah belangong.
Lantas dalam hitungan menit ada jemari menari untuk menghadirkan peunajoh haba di media online yang judul dan isi berita nggak pernah nyambung dalam satu tarikan kalimat.
Terima kasih untuk si abang Dahlan Sulaiman yang telah men-treng saya untuk tulisan ini.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”