ENTAH kenapa kebenciannya terhadap relawan begitu meledak-ledak. Ledakan itu bukan untuk relawan kemanusiaan. Tapi relawan yang Anda gak usah saya kasih tahu namanya.
Sudah tahu… atau sama-sama tahu… Yang kerjaannya ngintip elektabilitas. Numpang naik perahu atas nama banyak slag orde. Slag orde ngomong, nulis, ngumpulin orang atau bikin ghibah.
Pecahan ledakan “si nya”… bertaburan ke banyak arah, termasuk ke arah saya yang gak pernah jadi relawan secuil kalipun. Si nya menyebut kata kotor- dikotori hingga jenis penyakit akut untuk makhluk ini.
“Tujuannya. “katanya,” karena ingin ikut menikmati duit demokrasi.”
Memberi hentakan pada kata duit dan demokrasi ia mengarahkan pelototan pada saya.
Yang lantas menyebut banyak nama, termasuk nama sahabat saya.
Nama-nama menteri, wakil menteri atau komisaris badan usaha milik negara. “Macam kakek moyangnya punya negeri ini,” ujarnya penuh kebencian.
Kebencian juga untuk para wakil menteri yang masih ngendon di badan usaha milik negara untuk mendapatkan jatah hidup dari gaji dan bonus serta tantiem.
Saya menyederhanakan saja kebenciannya itu dengan kalimat; do first impressions and self-evaluations affect voting decisions?
Anda cari sendiri terjemahannya. Mudah kok.. lewat mas google..
Dan itu adalah orisinalitas. Sesuatu yang yang tak mudah dicitrakan, apalagi oleh relawan amatiran, tapi selalu minta jatah.
Yang jatahnya kue kekuasaan, camilan jabatan, minuman proyek hingga dekorasi pernak-pernik jaringan kolega di meja pesta.
Di moment itu relawan bisa menikmati sajian pembuka pesta bermodal euforia, militansi dan keberpihakan.
Selain itu, yang saya tahu dari banyak bacaan, relawan menjadi sebuah kerja politik organisasi tentunya butuh logistik operasional untuk bergerak, beracara, ataupun ber-deklarasi.
Hari-hari ini gerbong relawan mulai berjalan beriringan dalam kabut masih abu-abu. Belum terang benderang. Abu-abu dalam fenomena saling “menyeberang.”
Sepertinya mereka punya insting matematika, akuntansi dan neraca rugi laba serta berhitung meja pesta mana yang lebih “gurih” sajiannya.
Sementara bagi relawan yang berkomitmen kuat, berjuang di jalan lurus saya mengamati masih setia berdiri di gerbong awal mereka terpanggil.
Celakanya di antara mereka mulai melahirkan kecambah relawan dengan berstatus kaki seribu… bukan kaki satu.. yang terbanyak berkaki dua.
Itulah watak anak merdeka. Perilaku paling liar. Bukan seluruhnya, tapi sebagian. Dan mungkin juga sebagian kecil.
Mereka berbahaya?
Saya berani menjawab: tidak. Jumlahnya kecil.
Muncul lagi pertanyaan. Apakah jumlah yang kecil tapi terorganisir bisa mendatangkan bahaya besar yang pasif?
Tidak juga.
Karena yang kecil itu juga tidak terorganisasi, apalagi terdidik. Karena tidak terdidik maka tidak terorganisasi. Juga, karena tidak terorganisasi maka tidak terdidik.
Kalau pun ada, banyak di antara kelompok relawan atau pendukung itu dipersatukan oleh uang. Kalau bukan oleh uang, kayaknya juga bukan oleh ideologi.
Paling banter, oleh karena bius ketokohan aktor yang didukungnya. Dan itu bersifat temporer. Bukan permanen. Syukur-syukur dapet duit. Siapa tahu jadi komisaris.
Dalam politik, jika tak by design, tidak ada yang lebih genuine dibanding keotentikan dan keunikan.
Itu mengutip petuah Einstein; you have to learn the rules of the game. And then you have to play better than anyone else!
Pelajari aturan permainan, kemudian bermain lebih baik dibanding yang lain.
Saya sering menyebut perangai beginian inkarnasi jaman jahiliyah.
Wah, gawat! Gawatnya lagi bila tulisan ini terus ngebongkar dosa-dosa masa lalu beberapa nama tenar. Termasuk ngebongkar seorang pejabat nyuri buku sekolah. Belum lagi cerita-cerita cinta monyet.
Ups, stop!
Di hari saya ketemuan dengan kawan yang meledak-ledak itu ia masih dengan gaya lama. Eksentrik, nyleneh, dan terkesan suka menyepelekan orang lain. Termasuk menyepelekan saya dengan sebutan lu… dan dirinya gua…
Suaranya meledak-ledak. Kalau sudah tahap ini kakinya didudukkan ke atas kursi, atau bahkan nangkring di atas meja.
Di hari saya jumpa itu ia mengaku masih tetap menulis. Karena, katanya kepada saya ada keengganannya disebut “mantan wartawan”.
“Saya bukan mantan, tetap wartawan. Walaupun tak punya koran, saya merasa diri wartawan. Saya masih menulis di mana-mana.”
Jatah menulis di banyak online. Bisa indonesiana, kompasiana dan siana-siana lainnya. Bila ada teman atau tokoh meninggal, pasti ada media yang menurunkan obituari sang tokoh hasil nulisnya.
Begitu juga bila ada “ulang tahun” peristiwa bersejarah, tulisannya pun tak pernah absen.
Sang teman saksi hidup sekaligus sejarah demokrasi dan pergantiannya. Sejarah yang terbuka. Lembar buku sejarah itu baginya terus saja membuka, seperti tertiup angin.
Terhadap wartawan sekarang ia punya penilaian. “Lebih bagus ketimbang dulu,” katanya ketika kami ketemu terakhir kali.
Seraya membandingkan tingkat pendidikan wartawan maupun kemapanan media dimana mereka bekerja, yang tak sebanding dengan apa yang dialaminya di awal karirnya Tahun tujuhpuluhan.
Ketika saya ketemu itu suara batuk beratnya sering mengusik. Ia pun segera menutupinya dengan selembar sapu tangan. Batuk itu tidak menghentikan ngomong tegangan tingginya.
“Tugas wartawan demokratis tidak mudah,” katanya mengulang ucapan setiap bertemu.
Dia harus mencoba dengan berhati-hati mendorong mundur wilayah kesewenang-wenangan oleh pemerintah dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ia juga harus membina suatu jenis hubungan dengan khalayak pembacanya yang akan memungkinkannya memperluas daerah pengaruh dan efektivitasnya.
Betapa pun serba terbatasnya satu-satunya tempat bagi wartawan demokratis adalah membela hak-hak manusiawi dan demokratis rakyat…”
“Oleh karena keprihatinannya yang pertama bukanlah pemerintah yang tertib dan efektif, melainkan pembelaan di dalam batas-batas kemungkinan hak-hak azasi manusia.”
Ia lanjut, wartawan demokratis harus melancarkan perjuangan dari daerah operasi mana pun yang disediakan baginya oleh rezim yang berkuasa. Soal yang pokok ialah dia harus berjuang.
Menjadi tugas kewajiban pers yang berjiwa demokratis dan wartawan-wartawan yang mengabdi kepada cita-cita kemerdekaan pers untuk menyalakan terus api aspirasi-aspirasi demokrasi.
Berhadapan dengan tekanan dari pihak pemerintah. Mengobarkannya dengan memperkuat kepercayaan rakyat akan hak-haknya serta kesediaannya berjuang untuk hak-hak itu…”
“Demikianlah pers akan harus bekerja dalam batasan-batasan yang ditentukan oleh suatu pemerintah otoriter.
Dan selamanya wartawan demokratis yakin bahwa sekalipun di dalam pembatasan itu dia dapat menyampaikan suaranya betapa pun bersifat berhati-hati,
betapa pun terselubungnya melewati pembatasan-pembatasan itu, maka adalah tugasnya untuk bekerja terus.
Tetapi, segera dia melihat bahwa ini tidak mungkin lagi, maka adalah tugasnya menghentikan kegiatan-kegiatannya sebagai wartawan.”
Berpuluh-puluh tahun yang lampau telah dikatakan bahwa tugas dan fungsi surat kabar adalah to comfort the afflicted and to afflict the comfortable atau dalam bahasa kita “menghibur mereka yang sengsara dan mencambuk mereka yang keenakan”.
Saya memulai persahabatan dengannya di sebuah malam bulan purnama.
Beda jauh dengan sekarang. Meski masih mengatasnamakan sudah kehilangan watak kerelawanannya.
Bahkan sejak ketika mereka ngancam membubarkan diri, karena setelah memenangi kontestasi.
Tak jadi membubarkan diri, karena itu cuma tantrum politik. Sekarang, mereka yang nunggu perintah jika tidak memainkan hal itu sebagai bargaining position, pastilah relawan absurd.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”