Implementasi Kurikulum Merdeka Dinilai Hanya untuk Serap Anggaran

Ketua Pergunu Jawa Barat, H. Saepuloh (Foto: NU Online Jabar/dokumentasi pribadi)

PORTALNUSA.com | BANDUNG – Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang diluncurkan pemerintah dan diterapkan di sejumlah sekolah dinilai hanya untuk menyerap anggaran dari APBN. Pasalnya, dalam Kurikulum Merdeka tidak ditemukan adanya perubahan atau perbedaan yang signifikan dengan kurikulum sebelumnya.

“Perubahan kurikulum tersebut hanyalah perubahan istilah saja, misalkan dalam Kurikulum 2013 ada istilah guru inti, pada Kurikulum Merdeka diubah istilahnya menjadi guru penggerak,” ungkap Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Barat, H Saepuloh dalam siaran pers tertanggal 5 Agustus 2023.

Pada Kurikulum 2013, sambung dia, istilah sekolah inti diganti menjadi sekolah penggerak, KI dan KD (kompetensi inti dan kompetensi dasar) diganti jadi CP dan TP (capaian pembelajaran dan tujuan pembelajaran), RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) diganti modul ajar, PAS (penilaian akhir semester) diganti SAS (sumatif akhir semester), dan beberapa perubahan istilah lainnya.

“Sehingga menurut saya perubahan kurikulum ini hanyalah sebuah proyek serap anggaran saja,” katanya.

Saepuloh pun sangat menyayangkan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan terkait perubahan kurikulum pendidikan, sebab konsekuensi dari kebijakan ini adalah adanya beban anggaran yang bernilai cukup besar untuk menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut.

“Sangat disayangkan, hampir Rp 2,86 triliun anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk uji coba Kurikulum Merdeka bagi 2.500 sekolah penggerak dan 18.800 guru penggerak dan hampir Rp 1,4 triliun digelontorkan untuk uji coba kurikulum 2013, ini angka yang sangat besar,” jelasnya.

Padahal, kata dia, anggaran tersebut akan lebih terasa manfaatnya jika digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru karena guru itu merupakan ujung tombak pendidikan.

“Apapun kurikulumnya kalau ujung tombaknya tersebut tumpul, maka jangan berharap akan ada terjadi perubahan yang signifikan dalam pembelajaran,” tegasnya.

Menurut Saepuloh, Kurikulum Merdeka seharusnya dapat memberikan keleluasaan kepada guru untuk menciptakan kualitas pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan lingkungannya.

Pada kenyataannya, tambah dia, Implementasi Kurikulum Merdeka tersebut tidak mengubah mainset dan mental guru dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran bisa lebih berkualitas.

“Tetapi setiap ada perubahan kurikulum, perubahan yang signifikan dirasakan oleh guru hanyalah perubahan administrasi pembelajaran saja,” imbuhnya.

Ia pun mendorong sekolah atau satuan pendidikan untuk mempunyai kurikulum lokal atau mandiri. Hal ini bertujuan agar sekolah punya pegangan yang kuat dan tidak terombang-ambing oleh kurikulum pemerintah yang identik berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan.[]