SAYA membaca edaran itu. Ada bedanya dengan narasi edaran pandemi covid tahun-tahun silam.
Kalau edaran covid silam ada kewajiban pakai masker, cuci tangan pakai sabun dan gosok-gosokkan sanitizer. Masih ada lagi: larangan berkelompok plus jam malam. Lainnya.. dsb.. dsb….
Anda dan saya sudah tahu. Mengalaminya. Susahnya ampun…. pahit ndelekit,,, Dampaknya banyak yang koit. Koit manusia dan koit kantong. Banyak pula yang koit usaha.
Kalau edaran yang saya baca ini gak ada wajib masker dan cuci tangan. Tapi ada sisi persisnya. Jam malam dan larangan berkelompok Lelaki dan perempuan. Bahasa syar’i-nya yang bukan muhrim.
Larangan kumpul nonmuhrim ini punya batasan. Dua jam sebelum jam malam. Masih ada larangan ini, tidak untuk akil baliq. Dan lain… dan lain-lainnya…
Yang tak terbaca dengan saya, apakah lgbt, yang akronimnya: lesbian gay biseksual dan transgender bisa masuk atau berada di luar batasan ini. Bisa melampaui jam malam..entahlah ..
Abis.. kaum lgbt ini kan marak dikampanyekan sebagai orientasi penyimpangan yang dulunya saya sering membacanya sebagai frasa komunitas gay.
Sebab salah satu item edaran itu kan juga membatasi penyimpangan. Penyimpangan kumpul lelaki dan perempuan yang bukan bini-suami.
Kalau bini-suami? Solusinya: kantongi saja buku nikah… Kacau….
“Bedanya hanya kemasan ngon,” ujar teman saya yang memposting isi surat edaran itu di aplikasi whatsapp pagi tadi. Saya hanya tergelak usai baca postingannya.
Sisi persis lainnya yang saya baca tetap pakai kata seruan. Seruan yang kata bakunya sebuah panggilan nyaring. Bisa ajakan, anjuran, peringatan dan doa.
Kalau saya disuruh milih artian kata seruan ini cukup dengan doa aja.
Doa disertai gelak karena virus yang melandasi surat edaran itu beda amat dengan coronavirus disease. Kalau sana suntikannya antivirus.
Antivirusnya bekerja dengan cara membunuh atau menghambat perkembangbiakan kuman di dalam tubuh, sehingga jumlahnya berkurang dan infeksi dapat teratasi.
Kalau edaran ini virusnya keude kupi. Suntikannya datang dari polisi pagar praja…Ooo maaf namanya lupa. Sudah diganti dengan wilayatul hisbah. Akronimnya wh…. Macam di gurun saja.
“Ya ngon. Kita di sini hidup macam di negeri gurun. Apoh-apah,” kata si pengirim postingan surat edaran menahan geli.
Postingan yang dikirim ngon itu sebuah surat edaran. Utuhnya dikeluarkan penjabat gubernur. Namanya tak perlu saya tambah di tulisan ini. Anda sudah tahu banyak “prank” yang menyertai penunjukkannya.
Tambah lagi “prank” ketika perpanjangan masa jabatannya.
Surat edaran itu pembatasan jam buka warung kopi dan kafe hingga pukul kosong-kosong waktu indonesia barat .
Dasar edaran itu kekhawatiran terjadinya pelanggaran syariat islam. Edaran itu muatan materinya suka-suka dan ditujukan ke bupati-wali kota, kepala desa, aparat sipil negara dan masyarakat.
Entah masyarakat mana. Mungkin masyarakat badui. Sepertinya kita sudah dianggap badui semua.
Edaran tersebut terdapat beberapa poin. Salah satunya untuk batasan buka kafe. Kalimat itu ada di poin huruf d. Tentang pelaku usaha.
Warung kopi, kafe, dan sejenisnya agar gak buka lewat jam malam.
Masih dalam rangkuman edaran: dilarang berkegiatan usaha dengan mengeluarkan bunyi yang gaduh dan mengganggu pada saat dikumandangkannya azan,
Lainnya gak ada urusan dengan tulisan ini: aparat sipil negara dan masyarakat melaksanakan syariat islam, pada seluruh aspek kehidupan yang meliputi aqidah, syariah dan akhlak.
Entah aqidah, syariah dan akhlak yang mana. Mungkin juga meliputi pelaksanaan korupsi, bancak anggaran, naikkan pokir dan entah apalagi.
Saya betul-betul terbahak ketika surat edaran itu menyentuh cara mendidik anggota keluarga terutama anak-anak, sebagai generasi penerus terkait pemahaman dan pelaksanaan syariat sejak dini.
Ah… kok lebay amat edarannya nyelonong jaga diri dan anggota keluarga dari perilaku maksiat. Jaga aurat, optimalkan shalat jamaah lima waktu di tempat kerja, gampong dan tempat umum lainnya.
Kok yang diurus tetek bengek. Yang bengek benarannya dibiarkan. Hanco…
Hanconya… usai edaran itu dipublis muncul dakwa-dakwi di media mainstream maupun media sosial. Ramainya bak sarang lebah dikibas sayap elang.
Istilah kerennya dakwa-dakwi ini kan pro kontra. Yang kalau saya menyimpulkan kontra itu akal sehat dan pro itu otak jongkok.
Di antara dua kelompok pro dan kontra saya gak mau masuk ke mana-mana. Ingin di luar arus pro kontra. Mengedepankan akal sehat. Seperti anutan si bikin heboh bajingan titik.. titik..
Suara kontra bunyinya seperti orkestrasi sempalan. Datang dari politisi, lembaga swadaya yang intinya bernarasi cekak. Macam suara tercekik.
Salah satu bunyinya yang saya kutip: masyarakat kita ini sekarang sedang sulit ekonomi, Dengan mematikan usaha warkop jam malam, ini sama dengan mematikan ekonomi rakyat kecil.
Ia cerita tentang warung kopi yang punya daya tarik bagi wisatawan dan sudah menjadi budaya. Kan masih banyak kebijakan lain yang bisa diambil oleh pemerintah untuk tegaknya syariat.
Kok warung kopi sebagai sasaran tembak. Tujuan tegaknya syar’i kok warung kopi yang dibatasi aktfitasnya.
Saya setuju aktifitas di warung kopi jangan hanya dilihat di daerah perkotaan. Bagaimana dengan usaha warung kopi di daerah lain yang denyut ekonominya bergantung pada sektor ini.
Anda gak percaya. Duduklah di solong atau taufik kopi. Ambil batu. Tutup mata. Lemparkan kesemua arah. Udah itu buka mata.
Anda akan terbahak hingga basah bawahan. Semua batu itu jatuhnya ke warung kopi. Pungut saja. Hahahaha…..
Makanya jangan hanya melihat daerah kota saja. Lambaro, Samahani, Saree hingga Matang, Lhoksukon, Kuala Simpng. Ekonomi malamnya keude kupi.
Saya percaya kalau tidak ada warkop pada malam hari ekonomi kawasannya bisa kerlap kerlip.
Soal perempuan dan anak-anak di warung kopi kok urusan pemerintah. Itu privacy keluarga. Mungkin kurang kerjaan… bukan kurang akal atau kurang ajar…
Ada cara lain misalnya khusus perempuan di atas jam dua belas dibatasi. Anak-anak yang umurnya di bawah tujuh belas tahun ke bawah dibatasi. Itu urusan lain.
Bukan menutup tempat usaha. Salah sasaran. Siapa pun tahu kini asap dapur dalam pemulihan. Namun di tengah usaha tersebut malah disemprot air. Padam.
Kalau saya disuruh pilih: kemplang saja surat edaran itu. Robek dan masukkan ke tong sampah. Abis. Silakan jualan. Jangan takut dengan surat edaran. Surat edaran aja kok.
Kalau nada politisi atau …. Tentu memakai kata eufumisme melawan kalimat surat edaran itu. Penghalusan. Mengedepankan kata revisi. Revisi surat edaran. Gak abis-abisnya kata revisi.
Revisi undang-undang pokok pemerintahan aceh saja masih meriang. Kok revisi surat edaran lagi. Gak abis-abisnya urusan kecil di negeri antah berantah ini.
Tentang proses dan latar belakang surat edaran yang heboh ini saya gak tahu. Gak peduli. Otomatis gak memperdulikan. Dari mana muasal draftnya.
Apakah datang dari orang kerjaan karena dahsyatnya demoralisasi masyarakat oleh kehadiran warung kopi. Yang bagaikan hambalang.
Anda mungkin mengamini gak ada demoralisasi itu. Semuanya baik.
Keluaga besar saya yang jumlah anggota grup whatsappnya mencapai dua ratus orang dan berpinak ke bawah hingga ribuan gak ada yang terjerat tali demoralisasi.
Si ngon saya yang mengirim postingan membisikkan kajian draft itu datang dari akademisi. Ada nama intelektual. Ada yang bergelar guru besar dan tengku a-b-c dan d.
Saya angguk-angguk. Mungkin ada memorandum of understanding. Mou. Selembar kertas yang harganya bisa selangit karena ada surat perintah jalan. Spj. Ada diskusi, panel atau seminar. Hepeng…
Perbincangan yang terjadi terjadi di antara mereka mengesankan bahwa penguatan syariat islam mengalami kemunduran.
Ah…pemikiran akademis memang dipenuhi literasi usang. Berputar-putar ke masa kegemilangan. Terjerat di tali sejarah masa lampau.
Gak jujur terhadap kelahiran peradaban sekarang. Masih aja mengagungkan peradaban yang menginspirasi dunia.
Masih melihat Islam dahulu. Entahlah, donya…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”