Blur.. Gerung

 

SEHARI setelah pidato kenegaraan Jokowi tiga hari lalu, Kamis malam, jaringan Metro tv, menghadirkan wawancara dengan Rocky Gerung.



Durasi wawancaranya pendek. Saya gak ingat menitnya. Juga gak ingat nama pewawancaranya.

Seingat saya ada dua kali jeda iklan plus ingat lainnya sang pewawancara seorang reporter wanita. Latarnya studio wawancara gelap. Segelap permainan dalam susunan kalimat yang ditembakkan untuk Gerung.

Yang semuanya diterkam dengan sekali plas… Yang  menyebabkan ada denging dan saya terpaksa memperbesar volume suara televisi.

Isi wawancaranya gak khusuk amat saya simak. Sudah tahu duluan. Hanya pengulangan plot lama dengan update angle baru. Karena saya sudah lebih duluan tahu saya leluasa mendekat ke gestur Gerung ketika menjawab pertanyaan.

Ketika menjawab gestur Gerung pun gak berubah. Jawabannya pendek-pendek. Patah-patah. Disertai  acuh, nyelekit dan lain… dan..lain-lainnya…

Gestur ini  bisa dibaca secara utuh  Yang kemudiannya saya tanyakan ke seorang pakar, Midian Simanungkalit. Teman dari anak teman.  Seorang ahli gestur. Yang dijawabnya dengan satu kata: tahulah…

“Sudah tahu ngapain Om tanya,” jawabnya tak kalah nyelikit. Lantas saya membalas.”hahaha… terima kasih.”

Semua jawaban Gerung di wawancara itu bak seorang yang gak pernah merasa berdosa tapi dihujat sebagai pendosa. Sebagai seorang dosen yang memotong pertanyaan mahasiswa ngawur. Ceplos…

Ya.. sudah.. Gak perlu dibahas. Anda dan Anda, pembenci maupun penyuka Gerung tak penting mencelotehinya. Tambah gak produktif untuk ditulis. Padahal seorang Gerung adalah persona. Ngapain harus membicarakannya…

Dalam wawancara  itu banyak kata dari sebuah kalimat yang di-“blur.”  Anda kan tahu kalau ada gambar atau kata yang di-“blur” untuk sebuah tayangan televisi so pasti itu bukan siaran “live.” Siaran langsung.

Saya ngakak setiap ada kosakata dalam sebuah kalimat Gerung di-“blur.” Ngakaknya, media sehebat metro grup sengkarut juga untuk menyiarkan utuh  “mbalelo” permainan kata seorang Gerung. Kwekk..kwekk…

Tentu tidak hanya metro yang sengkarut. Akhir-akhir ini ramai jadi perbincangan mengenai sejumlah tayangan televisi yang disensor dengan cara di-blurur, karena dianggap tampilannya tidak pantas untuk didengar pemirsa.

Kalau dulu, sebelum muncul teknik mem-“blur” tayangan semacam wawancara Gerung di Metro tv itu cukup di gunting. Tekhnik gunting itu era sekarang kuno. Cukup diblur pada bagian-bagian yang membahayakan.

Teknik blur ini lebih baik karena  pemirsa  masih tetap bisa menyimak dialognya komplet, sehingga tidak sampai kehilangan kontinuitas alur cerita.

Pada beberapa tayangan bahkan dilaporkan blur ini merambah ke hal-hal yang menjurus absurd.

Dalam blur konteks Rocky Gerung penyebabnya jelas. Ia intens mengkritisi banyak hal tentang kebijakan pemerintahan sekarang

Pada setiap narasinya yang panjang ia sering memadukan kosakata yang sulit diartikulasikan dalam bunyi menghibur.

Kalimat lurus. Tak berbelok. Langsung ke persoalan  sehingga sering terdegradasi. Viral entah kemana-mana.

Akibat itu, Rocky makin populis bagi mereka yang sepakat dengan narasi yang dibangunnya. dari sisi lain ia makin sangat menjengkelkan bagi kaum loyalist .

Rocky Gerung sering mengkhawatirkan saya. Ia seperti hidup dekai  “sumur tua” yang tidak punya  pengaman. Mudah terperosok dan berbahaya.

Rocky seperti belum bisa melepaskan diri sebagai aktivis ketimbang akademisi. Aktivis yang sering kebentur…kebentur lagi .. dan..lagi

Saya paham sanad seorang aktivis seorang Gerung. Sandaran berpikirnya dalam menyampai sebuah keyakinan akal sehat  Mohon jangan dipleset sebagai sanad….

Sanad Gerung ini sudah terbentuk dari  karakter serta pemahamannya tentang bernegara.

Saya tak tahu apakah karakter ini terbentuk dari  efek kerasnya kehidupan perpolitikan masa era tiran dan otoriter dulu. Kalau mau jelasnya tanya saja dia.

Belenggu masa lalu itu tentu tak ingin dirasakannya kembali. Dirasakan oleh generasi setelah dia. Untuk itulah analisisnya tentang sebuah kebijakan yang halu spontan di “prank”nya

Saya secara pribadi tidak kenal dekat dengannya yang memilik background  sebagai aktivis, penulis, pengajar, pengamat politik.

Di era lalu itu  Gerung sangat intens  mengunjungi rekan-rekan aktifisnya untuk bertukar informasi, berdiskusi, menjadi narasumber dalam diskusi terkait sepak terjang dan kebijakan pemerintah.

Saya menganggap ia telah membangun sebuah konstruksi berpikir  yang sehat.

Konstruksi berpikir ini mendekatkan dia pada pilihan kosakata yang hebat Sehingga saya salut atas kepiawannya ini. Ia adalah bapak kata-kata alias man of ideas”.

Saya tak pernah beranjak dari kesan bahwa ia adalah petarung sejati. Meski dalam beberapa hal saya juga belum sependapat, tapi itulah dia.

Tetap piawai dalam memainkan isu sebagai bagian dari cara dia melawan rezim yang anti demokrasi dan menginjak injak harga diri kemanusiaan.

Pada titik ini, saya kira saya sepaham, bahwa tidak boleh ada siapapun yang ada  di negeri ini melawan kesepakatan final bernegara  yang dibangun lewat  sebuah konsensus oleh para pendiri bangsa

Kita bersepakat dengan konsensus itu. Tak perduli itu presiden atau siapapun yang mengatas namakan kekuasaan.

Orasi Gerung yang melahirkan kata “bajingan….”  Eeee … kok diblur… sejatinya bukanlah sesuatu yang aneh dan patut untuk disikapi secara reaktif, kecuali memang kita menjadi antek rezim dan anti-demokrasi.

Apa yang disampaikannya adalah sebuah kegelisahan tentang tentang bahaya yang mengancam demokrasi dan nasib rakyat. Untuk itu suara yang harus dilantangkan.

Sebab dengan suara berbisik dan …. tak bisa lagi menyadarkan banyak orang.

Dibutuhkan suara lantang untuk mengajak semua kita untuk berpikir terhadap kebijakan  yang salah. Suara berteriak meminta semua orang  menjauhi kesewenang-wenangan.

Bagi saya,  dengan cara berpikir seperti itu  akan semakin tumbuh dan berkembang suluh demokrasi. Pernyataan-pernyataan Gerung  yang menggelitik bukanlah  “sampah akademis” yang memenuhi lini media masa.

Gerungisme menjadi “oase” di tengah fanatisme politik yang saling berhadapan, terlepas dari ide, gagasan, bahkan narasi-narasinya yang terkesan kontradiktif.

Hampir seluruh narasi Gerung yang diungkapkan—dan yang paling banyak di media sosial—lebih cenderung dianggap  bernarasi “penghinaan”—jika tak boleh disebut kritis.

Diksi “bodoh”, “dungu”, atau “akal sehat” barangkali menjadi ikon naratif  malah dilaporkan oleh pihak-pihak yang terganggu dengan berbagai ceramahnya.

Sosok Gerung yang terus menuai kontroversi seolah terus dipersekusi agar siap menghadapi konsekuensi hukum atas segala hal yang diperbuatnya

Ia dibidik karena ucapannya dibanyak “soal”, suatu diksi hukum terkait ujaran kebencian yang sarat nuansa politik dibelakangnya.

Pernyataan yang sudah kadaluarsa ini seolah menegaskan bahwa “gerungisme” harus diberantas hingga akar-akarnya karena mengganggu dalam konteks politik.

Saya tak mengenal Gerung dan mungkin juga anda. Saya hanya  menulisnya secara sumir lalu mempublis  di ranah media.

Kritik pada sosok Gerung lalu dikait-kaitkan dengan latar belakang dirinya sebagai akademisi yang bergelut dalam dunia ilmu filsafat.

Banyak orang yang terganggu dengan pernyataan Gerung karena dianggap menyerang penguasa, padahal dalam suatu iklim demokrasi mengkritisi dengan warna apapun tentu saja bentuk kewajaran yang tak perlu dipersoalkan.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”