Kopi Adalah Aceh

ACEH adalah kopi. Tiada hari tanpa ngopi.

Di tulisan sebelumnya saya mengutip entah itu joke, adagium atau sinisme dari William Lidle. “Wajah Aceh itu ada di warung kopi.”



Pagi ngopi, siang ngopi, sore iya, malam tak boleh kelewatan. Itulah …

Untuk itu saya tak menulis lanjutan. Saya akan membiarkan seorang teman berceloteh. Tinggal memungutnya untuk menjadi artikel carut marut. Seperti yang Anda baca selanjutnya… sebuah your story…

“Dua hari sudah saya keliling. Hari pertama pagi hingga tengah malam. Hari kedua pagi sampai pagi. Thanks… saya  berani menyimpulkan bahwa jumlah penduduk dan warung kopi di sini hampir sama.”

“Fifty-fifty. Lima puluh lima puluh… siyaapp”

Postingan tulisan disertai empat foto dengan latar jam dinding yang jarum pendek dan panjangnya di angka…titik.. titik.. membuat saya terbahak.

Jam dinding petunjuk waktu. Pagi, siang, malam dan malam..malam…

“Ini opini pribadi ngon,” lanjutnya. “Validitas survei akurasinya tinggi. Ayo coba bantah…..”

Saya tak mau membantah. Buat apa. Opini pribadi aja.

Saya membiarkan dia membla..bla.. dan bla.. Masa bodoh…menurut opini pribadi, bukan data asli. Untuk apa buka perdebatan.

Topiknya gak level dengan hilirisasi nikel. Yang dikunyah-kunyah Faisal Basri. Yang menjadikan Luhut bak terpanggang di kompresor smelter.

Debat sekeranjang data dengan angka-angkanya serimbun semak belukar. Validitasnya menjadi taruhan. Gak-lah. Saya bukan sekelas Faisal yang  peneliti. Indef itu. Saya penulis cilet langet…

Tentang ngon yang nantang itu saya tahu kemana arah dia berjalan. Saya tahu juga berapa ratus warung kopi yang ditemuinya. Berjejal di sepanjang jalan. Hadap-hadapan. Dengan puluhan kursi tertata rapi.

Tentang cerocos si ngon yang terus lanjut: “saya tak perlu diberitahu tentang bukanya mulai pagi hingga hampir pagi lagi.”

Lainnya, jarang sekali ditemukan warung kopi yang benar-benar kosong. Entah berapa. Pasti ada saja pengunjungnya.

Lainnya, ia salut setiap orang yang pergi dan nongkrong di warung kopi, ya benar-benar untuk menikmati kopi dan bercengkerama.

Tidak tua … tidak muda. Milenal hingga now dan kini era z…Tidak juga sepenuhnya milik lelaki. Pengunjungnya gak seperti milenial kebanyakan yang lebih banyak memandang layar handphone.

Mereka  memaksimalkan waktu dengan orang di sekeliling. Sebagian besar mereka yang duduk di kedai adalah laki-laki. Bukan berarti tak ada wanita. Beda tipe warung kopinya.

Lelakinya lebih memilih di warung dan kedai. Wanita akan memilih di kafe yang lebih modern.

Saya hanya menuliskan penggalan-penggalan ceplosan kalimat yang tak utuh dari si teman. Ia mengirimnya secara ketengan. Di sela-sela waktu hang..hengnya..

Menyebabkan saya tak ingin menulis secara berurutan. Biar kutipan kalimat berserak dan Anda bisa mengumpulkannya untuk menjahit menjadi paragrap utuh.

Maaf…

“Oh ya, so far saya belum menemukan kopi kekinian macam janji jiwa. Kopi kenangan dan temannya, karena sungguh kopi hitam aja enak sekali. Here you can check it. Situasi kondisi warung kopi.

Ia lanjut. Ada jam malam gak tertulis. Yang seharusnya gak perlu pakai surat edaran. Pakai tanda tangan penjabat. Dari ujung utara, selatan, barat, dan timur.

Jam malam mini semacam kebiasaan dan aturan. Wanita di sini ternyata  memiliki jam malamnya sendiri. Gak ada yang melarang perempuan pergi ke luar hingga larut malam kecuali dirinya sendiri.

Bisa juga orang tua, suami atau keluarga. Itu kalau darurat…

Kan ada qanun yang sanadnya menganggap wanita yang masih nongkrong atau keliaran di atas jam sepuluh malam bukanlah wanita yang sepenuhnya baik.

Dalam kalimat britanica si ngon : “I know iwould be odd for some, but as long as you can handle it, that’s fine”.

Itulah  mungkin sedikit yang berkesan dari begitu banyak hal baru yang saya temukan selama perjalanan ini.

Padahal mulanya saya bertanya tentang “serambi…” Julukan yang sederhana karena banyaknya masjid.

Eh, tapi ya gini kalo maen tapi ga banyak baca. Ternyata julukan ini diberikan karena sejarah yang dulu pernah dipelajari pas masih sekolah.

Sejarah juga ketika ia sampai ke dapu kupi cut zein. Dapu kupi yang telah bermutasi namanya menjadi “kubra.” Kupi Beurawe.

Kedai kopi yang punya forum silaturahmi. Forsikubra. Forum silaturahmi kupi beurawe.. hahaha…

Menu andalan keude kupi ini selain hitam juga coklat. Letaknya sehampiran dengan jembatan layang, fly over. Terhubung dengan titi Surabaya. Di kerindangan dedaunan. Parkiran motornya yang mbludak.

“Saya pesan coklat panas dan kopi hitam tanpa gula. Dua-duanya bikin ekstase. Mungkin ada anunya gak…”

Saya tersenyum kecut. Anda kan tahu di balik kata anunya itu…. Seperti anunya kuah beulangong.. ah..gaklah. “To know its real.”

“Yah… saya jatuh cinta,” tambahnya. Kopi hitamnya gayo robusta. Pahit memang, tapi setelah ngendap bisa merasakan manisnya.

Untuk kopi coklatnya juara. Kental, pahit coklat dan gak bikin neg. Harga kopinya gak nendang seperti starbuck atau kenangan.

Panasaran. Saking geregetnya nanya ke kasir ketika bayar. Coklatnya ternyata lokal. Socolatte, produk coklat khas gampong.

Belum puas rasanya kalau belum merasakan kopi gayo  Jauhnya s ampun-ampun. Sepanjang perjalanan  disambut oleh ratusan hektare tanaman kopi.

Sampainya di sana jujur kami juga tak tahu mau ngopi di mana. Akhirnya random memilih dari google maps. Banyak sekali pilihan, tapi pilihan jatuh ke black beans.

Ruangannya tak seperti kafe. Macam penjual roasting beans. Penyambut seorang “nyi”.  Ramah. Langsung minta menu tapi tak ada. Hanya ada espresso dan sanger.

Ternyata black beans  punya  dua tempat yang terpisah. Jalan pintas masuk ke tempat roasting. Kafenya ada di sebelah yang sayangnya tak sempat masuk.

Ya sudah, karena hanya ada dua menu itu, kami pesan masing-masing satu cangkir. Espresso-nya enak.

Meskipun mereka pakai arabica yang lebih terasa asam, tapi ini gak kuat rasa asamnya. Segelas kecil tak cukup, pesan lagi. Rasanya sungguh lembut, kalem banget di lidah.

Komposisi yang pas antara susu dan kopi. Padahal pakai skm frisian flag! Maunya cari pembanding. Tapi waktunya mepet. Udah..

Karena tak memiliki referensi selain black beans jatuhkan pilihan sanger di sini jadi juara pertama.

Bahkan sebelum pulang kami sempatkan untuk beli take away. Emang ya, ngopi di tempat asal kopi rasanya memang beda. Kalau mau pesen boleh mampir.

Sebelum wobaksot mampir di sebuah keude.Tempatnya di pojokan jalan sukadamai. Strategis. Kawasannya  flyover membuat tempat ini mudah sekali diakses.

Tempatnya luas dengan warna mencolok merah dan kuning.

Mereka juga menjual banyak pilihan makanan. Di sini, semakin malam justru terasa semakin ramai. Mesannya kopi hitam saring tanpa gula.

Sedihnya karena pernah merasakan kopi yang lebih enak, kopi terakhir terasa biasa saja. Syukurnya obrolan malam itu sedikit memberikan kesan negeri ini menyenangkan.

Wah ternyata aku gak begitu banyak nongkrong di warung kopi. Setelah dibuat daftar gini jadinya sedikit sekali, ya.

Eh tapi gini, meskipun sedikit semua tempat memiliki kesan yang berbeda-beda. Tentu dengan ciri khas mereka masing-masing.

Kesan mendalamnya, orang di sini menyenangkan. Bercengkerama ketika mereka di warung kopi. Bukan untuk kerja, bukan untuk nge-game, bukan pula untuk update status.

Tapi ya kerena memang mereka ingin berbagi cerita satu sama lain.

Ngopi di Aceh yang punya produk kopi unggulan membuat penasaran. Secara otomatis membanding-bandingkan dari satu tempat ke tempat lain.

Setelah ini enaknya ngopi di mana, ya?

Anteng banget hidup orangnya. Ngopi setiap waktu, beli jajan tak pernah ketinggalan, justru pelengkap yang wajib ada.

Setiap pagi banyak sekali penjual jajanan basah seribuan di pinggir jalan. Kebanyakan mereka beli untuk bekal anak sekolah, sarapan pagi atau hanya sekadar camilan.

Di warung kopi juga sama. Penjual akan menghidangkan satu atau dua piring kecil jajanan sebagai pendampingnya.

Bukan hanya penjual makanan ringan; warung, restoran, kedai dan semacamnya juga banyak sekali ditemukan di sini.

Gak perlu takut kelaparan, asalkan cocok dengan bumbu dan rasa makanannya saja. Akhirnya sekarang sudah paham gimana ceritanya punya temen orang Aceh yang suka jajan, ya kebiasaan ini.

Adzan sama artinya dengan menutup toko. Sudah menjadi kebiasaan untuk penduduk sini terutama bagi kaum laki-laki untuk bergegas pergi ke masjid ketika adzan berkumandang.

Pernah suatu kali berkunjung ke tempat makan pas sebelum magrib.

Tak lama setelah pesanan datang, seorang pelayan masuk dan memberitahukan untuk segera membayar karena kasir dan pelayan lain akan segera pergi shalat.

Atau jika mau menunggu ya dibayar setelah mereka selesai. Mereka akan menutup kunjungan ketika waktu shalat tiba, jadi ya opsinya menunggu atau datang tidak pas jam shalat.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”