IKN Warisan

 

JAWABANNYA sederhana, Sesederhana pertanyaannya: tanyakan saja ke presidennya. Apakah ibu kota negara nusantara akan lanjut atau mangkrak.



Atau tunggu saja akan jadi warisan terbesar sesuai dengan jadwalnya. Atau juga ada strategi baru agar ia gak jadi monumen di tengah krisis ekonomi dan gelombang protes rakyat.

Saya sendiri gak punya pertanyaan atau jawaban. Semua itu hanya saya kutip dari diskusi setengah kamar akhir pekan lalu di sebuah kafe kawasan blok m. Sebagai pendengar.

Hadir karena digaet tanpa mengantongi undangan. Pesertanya acak. Beragam profesi, Birokrat, setengah birokrat, politisi, peneliti. Ah … macam-mamlah. Termasuk pengangguran seperti saya.

Tentu saja dalam diskusi itu ada yang pro dan kontra. Karena terikat pertemanan, baik yang pro maupun yang kontra bisa berhahaha.. hihihi.. Sepuasnya. Sepanjang diskusi.

Sehingga topik yang berat jadi ringan karena ditenteng bersama. Hingga akhir diskusi tak ada yang kalah dan menang. Hasilnya seri. Namanya “win-win solution”.

Diskusi dimulai makan bareng.. lanjut ngopi bareng dan masuk ke materi  ibu kota negara baru.

Ibu kota yang payung hukumnya sudah dibuat. Kita semua sudah tahu. Lokasinya  Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Idenya, agar pembangunan merata. Ibu kota lama sudah terlalu padat serta banjir. Bahkan di hari diskusi itu polusi udaranya sudah sangat kritis.

Kritisnya seperti publis studi yang dilakukan oleh “vital statistic” udah macam hantu yang menakutkan.  Penyumbangnya  tiga sektor. Transportasi, industri dan pembangkit listrik.

Biaya ibu kota negara awalnya dianggarkan empat ratus enam puluh enam koma sembilan triliun rupiah. Presiden sempat mengatakan gak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Bikin senang menteri keuangan. Sri Mulyani bisa tersenyum ketika diminta jawabannya oleh “pelawak” di gedung beratap kura-kura.

Eee..  kenyataannya sang menteri mengeluarkan jurus cemberutnya ketika muncul keppres yang memosisikan kantong anggaran negara  bisa menanggulanginya sebesar dua puluh persen. Itu sama dengan sembilan puluh tiga triliun rupiah.

Angka itu  sama dengan jumlah dana alokasi umum yang disalurkan untuk menopang negeri saya. Aceh. Untuk harga sebuah perdamaian. Selama tujuh belas tahun. Tapi hang .. dihabisi toke bangku dan toke pokir…

Saya gak tahu apakah anggaran ibu kota negara akan hang… Seorang teman diskusi curiga. “Nantilah. Mungkin di hilirnya. Di hulunya aman, Masih diketikan buku anggaran.

Di ibu kota negara awalnya banyak toke benaran yang akan ikut. Tapi, setelah tiga tahun investor asing itu menggelengkan kepala. Seperti soft bank. Mereka punya alasan: gak fesiable. Gak layak.

Alasanya, banyak ramalan angka pembangunan ibu kota negara itu  bengkak. Di angka tujuh ratus triliun rupiah.

Masya Allah besarnya untuk negeri pemilik utang segunung ini. Padahal kalau dibagi rata untuk pemulung bisa bikin makmur.

Saya gak tahu apakah bengkaknya juga akan mengempiskan duit anggaran negara. Kata para peramal itu pasti. Sehingga sang presiden bujuk sana…bujuk sini agar mau bangun ibu kota negara.

Tidak hanya bujuk membujuk, presiden, seperti yang dikatakan pengeritik pujaan Anda, “jual proyek” hingga ke cina. Dari “jualan” itu keluarlah dua kata yang bikin keruh: “bajingan… Anda bisa menyambung ujung kata itu di titik…

Apakah ada yang terbujuk?

“Masih wait and see,” kata seorang teman diskusi. Investor masih waswas. Kecuali ada yang nekat Sepanjang investor belum bergerak, sepanjang itu juga keran anggaran dibanjirkan.

Dari diskusi itu saya tahu ada pengusaha yang nekat  Ada dua orang. Ada cinanya. Tapi bukan cina sana. Cina sini. Yang namanya tidak pakai deng, mao atau xin…  Sudah migrasi.  Aguan dan Sukanto Tanoto.

Kalau Aguan saya gak tahu akar tunjang usahanya. Terlalu dalam. Sulit membongkarnya.

Tapi kalau Tanoto kenal amat. Dulu saya pernah kenal. Pernah menulisnya. Ketika ia masih memakai merek “cina medan.” Tjina Tjong Afie. Masih dagang sawit ecek-ecek. Entah bagaimana ia bisa menyalin nama “n-jowo”

Lupa menanyakan ketika ketemu dulunya.

Dalam diskusi itu argumennya sama. Ke ekonomi global. Yang  guncang lantaran perang. Alasan lainnya, proyek visioner itu hadir  di waktu yang tidak tepat. Saat ekonomi berat dan rakyat butuh penguatan daya beli.

Saat  anggaran negara butuh posting yang lebih besar untuk proyek penguatan daya beli rakyat.

Apakah akan tetap jalan seperti jadwal?

Apakah seperti proyek taman mini milik penguasa era yang tumbang nekat jalan di tengah krisis dan protes?

Lantas bagaimana dengan istana yang kini sedang tahap penyelesaian. Akan jadi seperti istana kepresiden di Yogya atau Tampak Siring?

Praktis satu tahun sisa pemerintahan. Harus ngebut membangun infrastruktur. Wajar yang kontra didiskusi itu pesimistis. Sebab, ini membangun kota dari nol dengan target satu tahun sudah difungsikan sebagai ibu kota.

Mungkin membangun istana dan gedung inti pemerintahan bisa dilaksanakan dengan aliran duit Sri Mulyani.  Tapi, bagaimana mengakomodasi puluhan ribu aparat negara untuk mendapat fasilitas kehidupan layak.

Maaf… sekali lagi saya gak mau menjawab.

Saya hanya mau menulis sedikit tentang seorang presiden yang mau berdamai dengan proyek ikoniknya. Namanya Anda sudah tahu. Bacharuddin Jusuf Habibie. Bj Habibie.

Ia memilih untuk tidak meneruskan proyek ikonnya. Proyek pesawat industri pesawat terbang nusantara ketika ada kesempatan  lanjut saat posisinya sebagai presiden.

Habibie bisa saja melanjutkan proyek bergengsi itu. Alasannya gak perlu dicari. Kan masuk proyek untuk masa depan bangsa. Istilahnya proyek super strategis hingga tetap bisa jalan walaupun krisis ekonomi.

Proyek pesawat itu dirintis dan eksis di tangannya. Ia memiliki ilmunya. Memiliki jaringannya. Paham betul dengan industri itu. Proyek ini pun bak  mata uang dua sisi baginya. Habibie adalah pesawat. Pesawat adalah Habibie.

Saat memasuki krisis dulunya, megaproyek itu masuk rekomendasi dana internasional untuk dihentikan. Dianggap berbiaya tinggi di tengah krisis.

Soeharto yang lengser di ujung kekuasaannya ikut melengserkan proyek ini. Mengikuti saran dana moneter internasiona. Ketika Habibie melanjutkan tongkat kepresidenan ia  tak melakukan upaya untuk menyelamatkannya.

Ia memilih berjuang mengatasi inflasi yang meroket. Juga, melawan dolar yang memakan rupiah  Ia berhasil membuat dolar bertekuk lutut.

Sukses juga menyehatkan perbankan. Melakukan konsolidasi. Menggabungkan empat bank milik pemerintah. Melahirkan  Bank Mandiri.

Habibie  menepikan sikap aji mumpung untuk membesarkan proyek pesawatnya. Padahal, kalau dilanjutkan, proyek pesawat itu bisa menjadi legasi yang akan membuat namanya terkenang.

Setelah turun dari kursi presiden, dalam sebuah acara televisi, Habibie mengaku tidak marah, tetapi kecewa dengan penghentian proyeknya itu.

”Saya mulai proyek dengan dua puluh orang. Saat saya jadi  wakil presiden, saya serahkan perusahaan strategis itu dengan  empat puluh delapan ribu  karyawan dan turnover sepuluh miliar dolar,” ujar Habibie yang saya kutip dari biografinya.

Ia juga menjelaskan sudah delapan puluh persen mengantongi sertifikat badan penerbangan dunia.  ”Sudah terbang, eh disuruh berhenti. Yang benar aja,” tuturnya.

Tapi, mengapa, saat menjadi presiden, tidak diteruskan? Habibie menjawab saat itu dirinya  gak mau meninggalkan warisan inflasi tinggi.

Nilai rupiah saat itu anjlok atas dolar. Orang antre, makanan kurang, pemutusan hubungan kerja banyak. Itu kan lebih penting daripada pesawat terbang. Jadi, ia mengalah untuk menang. Yang menang itu siapa? Ya, rakyat.

Habibie pun melepas momentum untuk mewujudkan warisan yang akan dikenang sepanjang hayat. Walaupun di kemudiannya perusahaan itu destrukturisasi. Pasca-era Habibie.

Semua pemimpin sebenarnya ingin meninggalkan warisan yang akan mengabadikan namanya.  Proyek yang identik dengan dirinya.

Apakah presiden sekarang  tetap nekat.  Anda jawab sendiri. Diskusi yang saya ikut juga gak ingin menjawabnya.

Jawabnya ada di presiden. Yang katanya ingin proyek itu terwujud di ujung legasinya. Seperti juga jalan  tol yang sambung menyambung di jawa. sumatera. Ia ingin legasi itu untuk dikenang.

Beda presiden beda keinginan. Habibie yang tidak ingin membangkitkan proyek pesawat walau punya kesempatan. Beda dengan presiden sekarang yang memilih ibu kota ketimbang membenahi perut rakyat.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”