Capres Budiman

 

SUDAH sepekan terakhir pertanyaan itu saya endapkan. Tak ingin menjawabnya. Berharap akan hang sehingga otak saya terbebas mencari jawaban dari pertanyaannya.



Eeehhh.. tadi pagi pertanyaan itu datang lagi. Saya coba mengelak. Mengalihkan jawaban ke banyak hal. Gak berhasil. Mentok kepentok.

Kembali ke tanya itu juga.

“Siapa Budiman Sudjatmiko itu?

Pertanyaan yang sangat khas. Saya tahu akar-kata disertai aksentuasi pengucapannya. Kelat dan sedikit ada detaknya.

Karena terdesak saya jawab sekena dan seenaknya:: calon presiden.

Jawaban ngelantur. Untuk hahaha—hihi…Tapi ditanggapinya dengan serius. “Yang benar”

Se-serius pertanyaannya saya sambar saja dengan jawaban: benar kok…

Ia terdiam. Keok. Gak lanjut bertanya. Hanya ber bla..bla..bla.. tentang viralnya tokoh satu ini di bulan-bulan terakhir ketika tahun politik bersuhu panas.

Sumbu pertanyaan itu, seperti ia ungkapkan, nama tokoh itu ramai di media mainstream dan media sosial. Sementara ia tak pernah tahu tentang kiprah utuhnya.

Gak usah dia yang bertanya. Saya sendiri yang tertatih-tatih di lingkungan media tak tahu nasab jalan hidupnya.

Tahunya ia anggota di gedung beratap kura-kura. Aktifis garis keras ketika belia. Menghuni hotel prodeo  di ujung kekuasaan monoloyalitas. Lantas menyandang status sebagai reformis.

Reformis yang kebagian tantiem dan bonus di badan usaha milik negara. Tantiem dan bonus sebagai jerih koarnya sebagai relawan. Relawan yang berjubel memakan uang badan usaha negara.

Yang tidak hanya Budiman menikmati. Berjubel. Puluhan. Mungkin juga ratusan dengan satu syarat. Lebllingnya reformis.

Walau pun jawaban saya ngelantur dan tulisan ini berkelok tapi ada benang merah yang nyambung untuk pembenaran jawaban saya tentang si calon presien.

Benang merah itu datang dari “mimpi basah” Budiman Sudjatmiko, dulunya…kala melamar calon istri.

Ia menyatakan ke si calon istri bahwa yang melamarnya adalah lelaki yang akan menjadikan Kesi Yovana dipanggil sebagai ibu presiden. Kesi itu  adalah sang istrinya sekarang.

“Mimpi basah” itu berlanjut di banyak langkahnya. Banyak langkah yang “culun” dalam politik. Tampak terlongong-longong dan terkagum-kagum.

Mungkin Anda jarang mendengar politik dan kekuasaan sering melahirkan anak jadah bernama megalomania, dengan adik-adiknya bernama halusinasi dan ilusi.

Megalomanis itu sudah dimulai. Sang tokoh  bahkan sudah membentuk tim sukses untuk apa yang kemudian disebutnya menuju prabu. Prabowo-Budiman.

Saya menduganya –untuk tidak mengatakan dari kerumitan koalisi politik sandera masing-masing kepentingan. Bukan hanya sebagai bacawapres atau cawapres, melainkan wapres.

Dengan harapan, jika bakal calon presiden terhenti di tengah jalan, karena faktor takdir usia, Inalillahi… Budiman secara konstitusional diangkat sebagai presiden.

Soalnya, banyak cerita beredar kesehatan mantan menantu Soeharto itu tititik …. Informasi a-satu. Saya gak ingin membocorkan. Biar bocor sendiri.

Dengan latar perjalanan melalui sebuah partai yang raib begitu saja, saya sempat terperangah dengan langkahnya. Langkah si  Budiman.

Ketika kemudian masuk ke partai moncong merah ia membentuk republik demokrasi. Lanjut ke parlemen  membuahkan undang-undang desa.

Lantas lompat  lebih tinggi ke bukit algoritma. Spektakuler. Langkah ke istana terasa dekat. Buktinya, ia memang beberapa kali sudah masuk istana.

Karena diundang lurah dalam kepolitikan negeri ini, yang tidak seheroik perjalanannya dibanding tokoh yang diundangnya.

Apakah memang begitu?

Sekali lagi, saya tidak tahu.

Yang saya tahu, ketika masih jadi pejuang dulu ia punya cara tersendiri, ketika mendapat giliran mengepel lantai di markasnya.

Yakni, mengepel lantai bukannya dengan bergerak mundur, melainkan maju. Ia mungkin selalu ingin punya cara yang tidak lazim. Karena indomie seleraku.

Saya tak ingin mensikapi fenomena ini.

Kegagalan para pemimpin partai politik dalam mencitrakan dirinya, yang dilengkapi juga mampatnya para pemimpin alternatif menempatkannya sebagai tokoh alternatif.

Di sisi yang lain, muncul fenomena yang tak kalah menariknya bahwa banyak lembaga survai yang jatuh harga, bukan sekadar tak dianggap lagi hasil risetnya.

Citra sebagai “lembaga pesanan” sulit dipungkiri. Independensi lembaga-lembaga survei jadi bahan pertanyaan.

Bahkan sudah menyangkut pada lembaga-lembaga survai kawakan, yang tak ayal dianggap pada titik terendahnya “menyesatkan masyarakat”. Apa saja lembaga survei tersebut. Ah!

Saya setuju dengan pendapat  banyak orang yang mengidentifikasi Budiman Sudjatmiko sebagai manusia politik.

Budiman sendiri di beberapa kali wawancara tidak mau disebut atau dijuluki sebagai aktivis apalagi politisi. Budiman merasa, yang pas buat dirinya adalah manusia politik.

Lantas dimana bedanya antara politisi dengan manusia politik itu?

Dalam sebuah obrolannya ia menjelaskan tentang dimensi seseorang dalam aktivitasnya di ranah pergerakan.

Pertama adalah penggiat lembaga swadaya masyarakat, lanjut  akademisi, terus politisi dan terakhir yang tertinggi dimensinya adalah manusia politik.

Saya menemukan dimensi penggiat lembaga swadaya masyarakat akrab dengan penggalian ide dan memperkaya otak dengan perpustakaan,  jago berorganisasi, membaur dengan rakyat.

Gak berkehendak pada kekuasaan.

Sedangkan manusia akademisi ditandai dengan kaya dengan penggalian ide dan rajin menimba ilmu di perpustakaan, tidak turun ke rakyat, jarang berorganisasi, dan tidak berkehendak pada kekuasaan.

Bagaimana dengan politisi?

Ini orang,  separo dari energi dan pikirannya berkehendak mencapai kekuasaan, turun ke rakyat jika perlunya saja, berorganisasi sekadarnya saja dan jauh dari penggalian ide-ide besar.

Nah,  dimensi manusia politik adalah mereka yang  penuh dengan ide-ide besar perjuangan pada rakyat dan suka di ruang baca perpustakaan, jago berorganisasi dengan banyak jaringan.

Selnya berada di akar rumput, Membaur dan menyimak denyut nadi rakyat secara langsung, dan berkehendak pada kekuasaan.

Manusia politik berkehendak pada kekuasaan tertinggi sekalipun semisal presiden, untuk tujuan agar ide-ide besarnya bisa direalisasikan dalam orkestra kebijakan dan anggaran yg terencana.

Seorang manusia politik seperti saya, tegas Budiman, berkehendak pada kekuasaan dengan jalur dan cara-cara yang canggih, menjunjung tinggi norma, etika dan disiplin organisasi.

Saya tahu jabatan presiden itu bukan karier yang ada meritokrasinya. Jabatan presiden bukan jabatan fungsional harus menjadi wali kota, gubernur atau menteri sebagai ukuran.

Saya suka dengan kecerdasannya  karena literasi teorinya yang kuat. Jarang sekali mahasiswa yang mau apalagi suka membaca melebihi hobinya di kala muda.

Kalau saya  membaca ya seperlunya saja. Entah karena malas atau ketidakmampuan otak menyimpan rumusan teori hingga sejarah tokoh dunia yang terlalu rumit dihafal.

Maka itu, untuk urusan keseharian atau pergaulan, sebenarnya Budiman bukan tergolong orang yang asyik, bahkan sedikit kaku. Gayanya jaim dan candaannya garing.

Dari dulu lebih suka pakai kemeja lengan pendek putih ditambah syal di lehernya. Sampai-sampai untuk urusan perempuan dia tertinggal lima langkah di belakang  teman-teman aktivisnya.

Bangku kuliah ia tinggalkan dan memilih live in di lokasi konflik dan  ketika ia masuk ke partai dia sudah memiliki modal konstituen yang selama ini didampinginya.

Kelompok rakyat yang dampingi berasal dari kalangan tani, nelayan dan buruh pedesaan yang jelas bukan priyayi sebenarnya, berasal dari keluarga kelas menengah.

Dia sepertinya benar-benar meniru bung besar yang meski turun ke rakyat tapi soal style/gaya harus tetep dijaga. Gaya kelas menengahnya tidak hilang, tampilannya selalu terlihat bersih terawat.

Jadi, yang saya tangkap secara harfiah ketika ia berpaling  saat ini, dia masih hidup dalam alam obsesinya yang mungkin kini lebih global.

Mungkin ia lebih pas diajak membahas geopolitik global di mana negeri ini akan menjadi titik centrumnya. Jujur, ini penilaian secara subyektif.

Hal lain yang tidak terlihat tentu hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya. Karena sejak itu mulai banyak rumor dan spekulasi liar yang beredar.

Pada akhirnya, seperti sekarang yang terjadi. Ia tenggelam di balik obsesi besarnya, dari perbincangan politik nasional.

Tentu tidak sulit dianalisa menggunakan teori bodon saja.

Ya, mereka akan menyatukan gerbong untuk bisa menggemboskan dan mencetak hatrik kemenangan.

Tentu saja langkah brutalnya ini tidak disukai bahkan mendapat serangan dari alumni aktivisnya.

Seperti yang saya baca dari seorang perry Haryanto. Menudingnya borjuis baru. Borjuis yang hedonis yang menyebabkan  banyak kawan aktivisnya kini sudah bersebarangan

Ia sudah dapat mengatakan berdamai dengan masa lalu, tapi tidak harus mengemis posisi atau menghamba kepada calon kandidat.

Meski saya paham dia ingin membuat sejarahnya sendiri, silahkan. Maka sejarah akan mencatatnya sekadar sebagai seorang petualang politik.

Seorang petualang politik itu tidak segan menghancurkan reputasinya yang sudah baik selama ini hanya karena memenuhi kepentingan sesaat yakni hasrat berkuasa tujuan politik memang meraih kekuasaan.

Budiman Sudjatmiko adalah sejarah tentang pemuda, tentang keberanian, perlawanan, cerita tentang runtuhnya sebuah era.

Namun di tengah perjaIanan hidupnya, ceritanya berubah  Tentang pengkhianatan-pengkhianatan kawan-kawannya yang sampai saat ini belum kembali.

Juga ia berkhianat pada demokrasi dan kemanusiaan. Tak ada lagi yang tersisa dari mimpi-mimpinya, cita-citanya untuk negeri ini

Ia telah menyerahkan lehernya untuk tunduk dan patuh tanpa syarat. Kisah kepemimpinannya sebagai pemuda yang berani melawan tirani  demi reformasi kini telah balik badan.

Ia tidak lagi simbol perlawanan. Keberanian dan heroisme yang harusnya ia wariskan kepada para pemuda, tidak bisa ia ceritakan kembali.

Menjadi tahanan politik dan penculikan yang jadi konsekwensi logis perjuangan tak bisa ia pertanggungjawabkan kepada kawan-kawannya, karena kini ia bergandengan tangan dengan sang pelaku.

Saya membaca dan diceritakan bagaimana sakitnya sebuah pengkhianatan. Ia telah melakukan penyucian dirinya, kunci untuk menghapus jejak darah di tangannya.

Sayang dia gagal secara menyedihkan untuk membuat banyak temannya tertawa.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”