Kangen Gayo

DI gayo tak ada gerakan aceh merdeka. Katanya. Kata anak teman yang sedang menyiapkan tesis tentang akulturasi Gayo dengan modernisasi.

Saya percaya saja. Untuk menyenangkannya. Kalau saya hempang kelimatnya akan terjadi bandang adu argumen. Bisa panjang. Bertele-tele. Sebab kutub dia dan kutub saya terbentuknya berbeda.



Dia dari seberang sana: kutub akademisi. Saya kutub sini, jurnalis. Beda juga ketika  melabuhkan jangkar otak. Bisa diseret arus egoism masing-masing. Apalagi kalau egoismenya sektoral.

Saya dengar saja tesis awalnya itu dengan gumam kalimat pendek bertempelan tanda tanya: apa iya?

Bisa saja iya. Karena orang gayo kaya dengan hasil bumi. Kopi, jagung, sayur mayur. Yang pasti  gak ada strabuck, kopi kenangan, kapal api dan lainnya.

Tambahan lagi bangunan penduduk gayo itu beda dengan “de acheher.” Jadi mungkin saja gayo gak ada gerakan aceh merdekanya yang sering disebut dengan “atjeh morden.”

Ia datang menemui saya beberapa hari lalu. Membawa draft tesisnya. Belum jadi. Masih bisa diorat-oret. “Gak apa-apa om kalau ada yang perlu ditambah,” katanya memberi copi-an dalam bentuk buku.

Copi-an ini atas permintaan saya setelah kiriman dalam bentuk pdf di whatsapp saya bermasalah. Portable document format. Format untuk berbagi versi final file.

Yang  untuk menambahkan atau mengedit teks dibuat di program office seperti excel atau publisher.

Fungsi aplikasi ini sebenarnya untuk membuka dan membaca file atau dokumen dengan menggunakan aplikasi.  Maka berbagai file dalam bentuk ini bisa langsung dibaca di perangkat android.

Cilakanya, saya gagap tekhnologi. Sering dikebiri dengan perkataan anak saya “payah.” Dasar memang payah. Hand phone saya saja sering salah pencet dan hang.

Bahkan, karena jadul pernah di-hack. Kena phising. Dikerjain hacker dengan bayar tagihan berlipat-lipat.

Terus terang saya gak mau nambah atau mengurangi tesisnya. Tidak berada dalam kapasitas itu. Paling maunya saya diskusi kecil-kecilan sambil meneguk kopi pantan musara yang ia bawa.

Pantan musara yang arabica tambah dengan ,,,, Wuihh.. bikin melayang. Arabica gayo mountain coffee. Kopi yang posisinya disejajar dengan arabica costa rica. Di atas arabica brasilia.

Menurut kajiannya norma adat gayo terkonsep dalam:  tertip; mukemel; mulie; sumang; jis; jengkat; madu ni edet.

Pembahasannya menggunakan pendekatan berdasarkan perspektif kajian peri mestike pragmatic.

Konteks kajian dan pembahasannya membandingkan teori-teori sosial yang berkaitan dengan kemanusiaan dan tata tertib manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan dengan mahluk lainnya.

Ia juga membahas pandangan gayo  memperlakukan alam dan orang lain dengan baik, sopan, santun dan ramah,

Saya sangat gak suka mendengar kajian akademik model ini. Tapi karena ia ingin saya mendengarkan, ya.. sudah.

Apalagi ketika ia  meminta pendapat saya tentang moralitas manusia berdasarkan konsep adat dalam budaya  gayo.

Gak tahulah. Gak tahu bagaimana cara membuat batin tenang dan tidak rusak.

Lewat menyelaraskan maksim tertip, mukemel, sumang, madu ni edet, jis, jengkat dan mulie. Yang kemudian mengaitkan dengan pengetahuan yang pucuk bulet ku tuyuh mujantan tegep”

Saya gak tahu bahasa gayo. Walau pun punya ipar yang gayo. Walau pun punya petak kopi di gayo. Kan masyarakatnya terkenal ekslusifnya dalam kesehariannya.

Ekslusif berkomunikasi menggunakan bahasa gayo sebagai bahasa daerah.

Yang saya tahu tentang gayo terbatas. Terbatas pada tradisi pacuan kuda  yang masih berlangsung sekali setahun bersamaan dengan diadakan pesta rakyat.

Saya tahu uniknya kuda-kuda yang dipacu.

Biasanya adalah kuda juga berfungsi sebagai pembajak sawah. Tradisi pacuan kuda tradisional  itu sudah beberapa kali saya lihat.

Selain pacuan kuda paling saya tahu tradisi bejamu saman. Pergelaran saman. Pernah saya tulis. Berlangusng  selama dua hari dua malam dinamai “roa lo roa ingi”.

Ada dua kampung yang tampil bersama dan berbagi peran dengan bertindak sebagai tuan rumah dan tamu.

Bejamu saman dilakukan dengan mengirimkan salah satu pemuda desa untuk meminang desa lain sebagai rekan.

Hal yang menarik dari bejamu saman adalah karena setiap anggota grup penampil tamu akan tinggal sebagai saudara  (serinen) di rumah masing-masing anggota grup penampil tuan rumah.

Hal ini membuat tradisi itu lekat dengan nilai-nilai persaudaraan yang dapat berlanjut hingga ke anak-cucu mereka.

Tentang bicara yang mendalam kajian linguistic  seperti peri mestike berbicara dalam bahasa yang sarat dengan nilai dan makna saya ngah.

Ranah itu itu biarlah  menjadi landasan tesisnya.

Itu masuk dalam tatanan adat dan budaya gayo uang memunculkan kata adat tertip, mukemel, mulie, sumang, jis, jengkat, madu ni edet.

Semua kata ini hakikatnya sebagai kearifan lokal yang mengarah kepada wibawa, martabat, akhlakul karimah, menuju masyarakat madani.

Lainnya saya hanya mau cerita tentang  pemilik kedai kopinya. Yang  dikuasai aneuk naggroe. Ada sedikit cina. Gak banyak. Bisa dihitung. Bukan seperti keude kupi aceh yang gak terhitung.

Keude kopinya buka dari malam ke malam. Dari pagi ke pagi. Dari siang ke siang….

Hukum minum kopinya di negeri ini wajib. Di atas sunat. Gak ada makruhnya. Apalagi dosa.

Kalau sehatnya jangan pernah dipermasalahkan. Datang aja ke pantan musara.  Advisnya: sehat.

Kopi saringnya bikin hati dibolak balik. Bolak dan baling ….hanya dengan satu alasan: kangen.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”