PAGI tadi saya nelepon ke Mon Keulayu. Desa “bineh laot.” Jauh. Di sudut laut selat malaka. Istilah lebay-nya di “sagoe donya”.
Desa “sagoe donya” itu hari-hari ini viral dan menjadi “headline” di banyak media mainstream. Cetak dan online. Viral juga di media sosial. Tiktok, facebook, instagram dan lain.. dan lain-lainnya.
Padahal, sebelum viral, Mon Keulayu tak pernah disenggol media. Kalau pun tersenggol hanya sebatas berita lima w tambah satu h… Berita ringkas. Di media lokal online. Media yang kadang gak jelas juntrungannya.
Media yang hanya menulis tentang pemilihan kepala desa atau yang ringan-ringan lainnya tentang desa. Desa yang kini punya modal satu miliar rupiah setiap tahun. Yang mungkin bisa bayar harga sebuah berita..
Mon Keulayu kini sedang pasang naik. Melimpah. Populer. Jadi tujuan wisata setori. setori yang Anda sudah tahu. Saya gak ingin merincinya. Buka aja website atau blog atau cari dengan dua kata “mon” dan keulayu.” Klik.. beres..
Mon Keulayu kini mudah terucapkan. Gak perlu harus dengan lidah dicengkokkan dan lidah ditekuk untuk dikelatkan dengan suara berdetak.
Populernya Mon Keulayu juga ditopang oleh leburnya dunia dalam satu beulangog bernama digital. Digital mendekatkan yang jauh dan bisa juga menjauhkan yang dekat.
Viralnya desa “bineh laot” ini karena sebuah nama: Imam Masykur. Imam yang sudah “berpulang.”
Dipulangkan ke Mon Keulayu yang Anda lebih tahu dari saya alasan “kepulangannya”.
Neleponan saya ke Mon Keulayu ke seseorang. Namanya disapa: Yed Din. Penggalan nama yed ini berasal dari kata sayed. Sebenarnya sayed itu bukan nama. Sayed itu adalah label untuk pengukuhan sebuah trah.
Ia identik dengan teuku, cut, syarifah atau apalah.
Nama utuh yang saya telepon pagi itu: cilaka ..hampir lupa. Sayed Nurdin.
Usianya jauh di bawah saya. Berada di posisi setengah baya. Usia pertengahan. Empat puluh sembilan tahun. Saya juga diberitahu nama panggilannya: Din.
Panggilan itu datang darinya sendiri. Sebagai pembasaan “peumulia rakan.” Sikap “pemulia” untuk “aneuk nanggroe” hadir dibanyak kesempatan. Bisa di-“peumulia jamee” dan lainnya.
Dari pembasaan itu jadilah ia yang saya telepon itu sebagai “Yed Din.
Di kalangan trahnya yed ini biasa untuk penggalan kata sayed. Panggilan untuk lelaki. Kalau wanitanya biasa dipanggil syarifah. Atau nyak.. seperti istri saya yang dipanggil “nyak”….Anda gak perlu tahu lengkapnya.. “secret men”.
Kalau Anda ketemu dengan nama panggilan beginian luruskan akar otak dan tetapkan jangkauan. Pasti ketemu “arab”nya. Bisa “arab pageu”nya.. Seperti trah besar keluarga istri. “Arab pageu.”
Hahaha… maaf untuk sang istri dan untuk keluarga besar “yed” dan “pah”
Di atas strata “arab pageu” ini ada namanya “habib.” Untuk persisnya, gak semua “habib” itu ustadz. Habib itu bisa tentara, pengusaha, aparat sipil atau apalah.
Seperti ayah teman saya dulu: Habib Muhamad Syarif. Tentara. Sangat terkenal di Aceh Utara. Bekas danrem.
Khusus tentang Yed Din, ee… ternyata ia keuchik. Kepala desa. Keuchik sebuah gampong. Di kecamatan Gandapura. Gampong perbatasan. Bireuen-Aceh Utara.
Yed Din sudah memasuki tahun kelima sebagai keuchik. Tahun depan ia akan lengser. Gak tahu apakah lengsernya bersamaan dengan presiden. Saya gak tahu juga apakah Yed Din akan terpilih dan dipilih lagi.
Dulunya sebelum Aceh Utara disapih gampong Mon Keulayu bagian dari Aceh Utara.
Desa itu berjarak dua puluh lima kilometer dari ibu kota kabupaten. Bireuen. Arah timur. Lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kilometernya persisnya saya lupa.
Pertanda yang jelas, sebelum ketemu jembatan over pass, atau fly over, Cot Tunong, belok ke kiri. Terus lurus. Arahkan perjalanan Anda ke utara.
Dari belokan Cot Tunong jaraknya ada tiga kilometer. Kondisi jalannya lumayan. Gak seperti jalan di Lampung dulu ketika dikunjungi sang presiden. Merangkak dan bergoyang.
Jalan ke Mon Keulayu rata. Setahu saya statusnya jalan gampong. Entah kini udah naik kelas. Jalan kabupaten. Yang biayanya bisa dari anggaran kabupaten. Bisa juga dari dana otonomi khusus.
Ahh… otonomi khusus lagi.
Mon Keulayu sendiri merupakan satu dari empat puluh desa di kecamatan Gandapura. Desa ini masuk wilayah kemukiman Gandapura Barat.
Dalam struktur pemerintahan Aceh masih menempatkan mukim sebagai strata pemerintahan. Di atas desa dan di bawah kecamatan.
Mon Keulayu sendiri bertetangga dengan Gampong Samuti Rayeuk, Samuti Krueng, dan Blanh Rhee. Desanya di “bineh laot.” Kawasan Selat Malaka.
Sebelum menyapa Yed Din, saya “menugaskan” mantan junior sewaktu menjadi sesuatu di sebuah media mainstream prestise untuk menelisik Gampong Mon Keulayu.
Hasil telisikannya dikirim lewat whatsaap. Sumir. Bergaya straight news. Gak depth. Ya… seadanya. Saya bersyukur untuk informasi awal. Gak perlu harus mengumpat. Ia masih ingat saya.
Bisa melaksanakan tugas. Walaupun saya kesulitan untuk “update.”
Dari dia yang saya “tugas”-kan tahulah jumlah penduduk Mon Keulayu. Seribu empat ratus orang lebih dengan jumlah keluarga empat ratus sepuluh keluarga.
Jumlah penduduk dan keluarga ini jauh lebih kecil dari satu kluster rumah saya di summarecon residence, Yang satu klusternya saja ada enam ratus empat puluh keluarga. Itu baru satu rukun tetangga.
Padahal klusternya ada empat. Kalikan saja jumlahnya. Empat kluster ini baru satu rukun wilayah. Belum lagi sebuah kelurahan. Sebuah gampong. Saya gak tahu berapa keluarga untuk satu kelurahan.
Mungkin jumlahnya sama dengan keluarga di Kecamatan Gandapura yang empat puluh gampong… hahahah…
Kehidupan Mon Keulayu stratanya sederhana. Strata ini berada di atas miskin. Bukan seperti strata yang disandang provinsi termiskin keenam di negeri ini. Dan di puncak miskin untuk sumatera.
Mon Keulayu bukan desa miskin. Kehidupan mereka terlihat dari lalu lintas keseharian hidup keluarga penghuni.
Sebagai desa “bineh laot” keluarga Mon Kelayu hidup dari hasil laut dan tambak. Seperti yang saya kutip dari orang suruhan .. ee.. wartawan tanpa surat tugas Yusmandin Idris, desa ini bukan desa tertinggal.
Bukan juga desa terbelalang. Ada puskesmas di pinggir sawah pada ruas jalan dalam kawasan desa tersebut. Ada sekolah dasar negeri.
Pemerintahan desanya berjalan damai dan nyaris gak pernah ada friksi.
Tapi gak biasa datang dari otak saya. Otak wartawan gaek yang datang dari profil si Imam yang telah berpulang, Profil hidung mancung, sorot mata tajam dan raut muka yang arabis.
Dari satu kata “arabis” inilah saya terhubung dengan Yed Din. Si kepala desa. Si keuchik yang ada “arabis”-nya. Dan Mon Keulayo ternyata memang gampong heterogen yang ber”-gelamak peak” dengan sayed plus syarifah.
Dan ini bukan teks opini dunia maya yang terserak oleh buzzer, influencer atau netizen. Ini artikel yang ada penulisnya. []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”