SAYA dapat kiriman master plan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Lhokseumawe. Dikirim via aplikasi WA. Dalam bentuk pdf file. Yang besarannya dua puluh enam megabyte. Jumlah halamannya seratus lebih.
Sebagai sebuah master plan sajiannya lengkap. Dalam dua bahasa. Inggris dan Indonesia. Lengkap pula dengan sket, foto dan denah. Runut.
Sebagai sebuah master plan ia sudah memenuhi semua syarat awal yang dikehendaki oleh investor. Belum syarat lanjutannya. Berupa informasi kapasitas terpasang berikut kapasitas infrastruktur lainnya.
Fokus investasinya energi, petrokimia, agro industri ketahanan pangan, logistik serta industri penghasil kertas kraft.
Seperti dicantumkan, tujuan utama pengembangannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, serta meningkatkan daya saing.
Bisa di sektor industri, pariwisata, hingga perdagangan. Proyeksi ke depannya, seperti yang saya baca, dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan daya saing di pasar internasional.
Saya bukan siapa-siapa di KEK Arun ini. Hanya sebagai “cuak” yang ingin tahu. Istilah jauhnya “outsider.” Bukan pemain atau orang yang ingin ikut main.
KEK Arun ini terletak di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah enam tahun silam.
Sudah diresmikan oleh presiden setahun setelah peraturan pemerintahnya ditandatangani. Berarti keberadaan kawasan ekonomi ini sudah lima tahun. Satu periode jabatan publik.
Kawasan ekonomi ini bertumpu pada lokasi geografis daerah yang dilintasi oleh “sea lane of communication.” SloC. Selat Malaka.
Masih dalam master plan dikatakan punya keunggulan komparatif untuk menjadi bagian dari jaringan produksi global atau rantai nilai global.
Kawasan ini berbentuk konsorsium dari beberapa perusahaan eksisting. Ada Pertamina, Pupuk Iskandar Muda, Pelindo 1, lembaga asset negara dan dan PEMA.
Yang terakhir ini, PEMA adalah sebuah badan usaha milik daerah berbentuk perseroan terbatas.
Pengelolanya sebuah perusahaan bernama Patriot Nusantara Aceh.
Untuk informasi awal tentang kawasan ekonomi khusus ini saya merasa lebih dari cukup. Yang belum cukup justru banyaknya pertanyaan yang gak terjawab terhadap pengembangan investasinya.
Masih jalan di tempat. Belum melangkah jauh seperti diproyeksikan. “Masih seperti dulu,” ujar seorang eksekutif yang ikut merancang kawasan ekonomi itu.
Seperti dulu yang ia maksudkan saya maklum. Malah bisa mengamininya.
Saya tidak bermaksud membawa sentimen melihat lambannya pengembangan potensi kawasan ekonomi ini. Intensi saya hanya sebatas pengamatan. Sembari mengkritisinya.
Sekalian, kalau pun bisa, mendorong lebih banyak proyek pembangunan untuk kemajuan ekonomi daerah.
Banyak pilihan untuk mendorongnya, salah satunya, ya ..kawasan ekonomi khusus ini bisa melakukan revitalisasi dengan sistem berkelanjutan yang menerapkan strategi pengelolaan kawasan.
Perlu langkah konkret dengan mempercepat proses revitalisasi untuk melakukan pengelolaan dan pengembangan terutama untuk sektor industri yang bersifat berkelanjutan.
Saya pernah ikut sebuah diskusi tentang revitalisasi kawasan industri. Dibutuhkan perpaduan antara sistem industri berkelanjutan dan strategi pengelolaan kawasan berkelanjutan.
Dari sektor energi kawasan ekonomi ini memiliki peluang mengembangkan regasifikasi gas alam cair dengan pengembangan pembangkit listrik yang ramah lingkungan atau clean energy solution provider.
Infrastruktur logistik juga dikembangkan untuk mendukung input dan output dari industri minyak dan gas, petrokimia dan agro industri, melalui peningkatan infrastruktur pelabuhan dan dermaga.
Saya gak ngah sekali dengan target pengembangannya. Target dengan potensi dan peluang menarik investasi sebesar tiga koma delapan miliar us dollar.
Dan proyek lainnya, dapat menyerap tenaga kerja sebanyak empat puluh ribu tenaga kerja hingga empat tahun ke depan.
Kehadiran kawasan ekonomi ini sendiri, bagi saya, adalah lanjutan dari “booming” gas dari ladang Arun di lima puluh lima tahun silam.
Ketika mobil oil, raksasa, minyak dan gas, kontraktor bagi hasil tersebut berhasil menemukan ladang gas alam. Ladang gas menyimpan cadangan sangat besar.
Yang diestimasi sebagai cadangan gas alam terbesar di dunia.
Tidak main-main, ladang gas Arun ditaksir menyimpan cadangan gas mencapai tujuh belas koma satu triliun kaki kubik. Penemuan ladang gas itu mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Dari temuan bengkak cadangan gas dan aktivitas kinerja eksponya menjadikan kawasan itu mendapat julukan sebagai petro dollar.
Aktifitas temuan cadangan gas tidak hanya menghasilkan devisa melalui ekspor, tetapi juga menstimulus aktivitas industri lainnya yang bergantung pada gas untuk aktivitas produksinya.
Saat itu lahirlah sebuah kawasan bernama zona industri Lhokseumawe. Populer dengan zils. Yang menghadirkan beberapa perusahaan yang sisanya menjadi bagian kawasan ekonomi khusus.
Aktivitas industri tersebut telah menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat hingga berhenti beroperasi seiring menipisnya cadangan gas alam yang menjadi bahan baku utamanya.
Saat ini, sebagian aset perusahaan itu dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pengolahan gas alam yang tersisa.
Saya yakin kawasan ekonomi ini juga berpotensi menjadi salah satu ekosistem perairan yang kaya dan produktif dan memungkinkan menjadi basis pengembangan industri perikanan tangkap.
Untuk mewujudkan revitalisasi kawasan industri ekonomi khusus berkelanjutan diperlukan sinergi dari banyak pemain. Para stakeholder dan pelaku usaha.
Sinergi ini dilakukan melalui sosialisasi, koordinasi, penilaian, serta evaluasi peran pemangku kepentingan. Saling terkaitlah. Disertai koordinasi dengan administrator.
Terutama untuk membicarakan peluang usaha dan kemungkinan investor yang masuk. Lainnya perlu dilakukan pula pengembangan usaha di luar minyak dan gas.
Istilah kerennya diversifikasi bahan baku dan produk dan pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk industri.
Ada analisis terhadap perubahan yang terjadi pada dimensi dan indikator lingkungan, sosial, dan ekonomi di kawasan eksternal dan internal industri, sebelum dan sesudah ada kawasan ekonomi.
Perubahan ini diukur dengan nilai keberlanjutan menggunakan metode statistical matching dan normalisasi.
Dari pengukuran tersebut ditemukan bahwa terjadi kenaikan pada indeks keberlanjutan internal, sedangkan pada indeks keberlanjutan eksternal terjadi sebaliknya.
Dengan menganilisis kepentingan dan pengaruh stakeholder pada keberlanjutan kawasan. Dengan metode stakeholder analysis, terlihat bahwa sebagian stakeholder penting masih berperan sebagai penonton.
Selain itu, meskipun potensi sumber daya alam tergolong membanggakan, masyarakat setempat masih nyaman menjadi konsumen.
Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan, masyarakat lokal justru menjadi para pencari kerja di tanahnya sendiri.
Masyarakat pendatang justru memanfaatkan peluang dan potensi besar ini, dan dengan fondasi modal yang kuat menempatkan diri mereka menjadi produsen yang kreatif bagi masyarakat lokal.
Terlepas dari potensi besar pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan di kalangan masyarakat akar rumput masih menjadi momok yang enggan teratasi.
Dalam pertumbuhan ekonomi tersebut, sebagian kecil saja dari penduduk asli yang benar-benar merasakan keuntungan dari roda ekonomi daerah.
Sebagian besar proporsinya justru lebih dirasakan oleh para pelaku usaha dari luar atau para investor asing.
Sekiranya ada empat faktor utama yang mendorong keterpencilan peran masyarakat lokal dalam aktivitas ekonominya sendiri.
Empat faktor ini juga akan menjadi kunci utama terhadap isu ketimpangan pembangunan tersebut.
Pertama, kekuatan modal yang kurang mumpuni. Dengan standar hidup di bawah garis kemiskinan, masyarakat lokal kesulitan mendapatkan modal untuk memulai sebuah usaha.
Meskipun sistem pinjaman telah marak dan semakin mudah diakses, masyarakat lokal lebih berpegang teguh pada prinsip lebih baik hidup susah daripada berhutang.
Jika dipaksa oleh keadaan, pinjaman yang didapat digunakan untuk menutup tagihan pinjaman lain. Jadi, bukan dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
Agar para pelaku mampu menjalankan perannya secara poporsional dalam roda ekonomi deerah, pemerintah perlu sigap untuk memfasilitasi modal usaha.
Kebijakan pemerintah perlu mendorong kemudahan akses pemodalan kepada masyarakat dari daerah-daerah tertinggal, baik melalui lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan (koperasi).
Kebutuhan ini perlu juga dibarengi dengan sistem yang transparan dan fleksibel tanpa memberi beban tambahan kepada masyarakat.
Kedua, konsep kultural tentang subsistensi. Yang dimaksud dengan subsistensi adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Masih banyak orang yang mengolah lahan dan kekayaan alam yang dimiliki demi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mereka tidak berpikir tentang pengembangan usaha, akselerasi profit, ekplorasi bisnis, inovasi usaha, peningkatan produk atau perambatan daerah baru sebagai sasaran pemasaran serta pertimbangan-pertimbangan marketing lainnya.
Lahan, alam dan segala potensinya kurang mampu dimanfaatkan secara penuh untuk kepentingan sosial yang lebih besar.
Pemenuhan sektor domestik jauh lebih diprioritaskan dibanding pengembangan produktivitas.
Sejauh lambung tetap terisi, pertimbangan dan tuntutan ekonomis lain adalah hal yang sekunder dan fakultatif semata.
Berbeda dengan pemahaman konvensional ini, para pebisnis asing yang notabene para pendatang justru sadar betapa penting aspek peningkatan kuantitas dan kualitas serta ekspansi sebuah usaha.
Untuk mewujudkannya, mereka berani meminjam modal besar dan kerap berinovasi dan berkreasi sesuai tuntutan zaman dan lanskap ekonomi yang berubah.
Hambatan kultural dan sosial perlu diatasi untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi yang lebih merata.
Meskipun demikian, kebajikan-kebajikan leluhur yang terpelihara dalam budaya dan adat masih harus tetap menjadi pengingat etis atas cara masyarakat memanfaatkan alam.
Alam dan segala potensinya perlu dieksplorasi dan bukan malah dieksploitasi.
Ketiga, para pelaku usaha, khususnya orang-orang lokal, perlu mendapat pelatihan keterampilan yang memadai.
Pengembangan sebuah bisnis, apa pun skalanya, perlu juga diimbangi dengan kreativitas dan keterampilan dari para pelakunya. Dengan jalan ini, suatu aktivitas ekonomi mampu survive di tengah riak zaman.
Aspek ini kerapkali diabaikan, sehingga daya kompetitif masyarakat lokal terkesan lebih inferior dibandingkan masyarakat pendatang.
Jangan sampai “buya tamong bareuseki-buya….ta duek-duek” []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”