NEWS, OPINI  

Kekerasan Terhadap Perempuan di Media Daring

M. Noval Pratama

Oleh M. Noval Pratama*)

KEKERASAN terhadap perempuan yang terjadi di dunia nyata adalah masalah serius terhadap martabat kemanusiaan yang hingga saat ini tidak dapat tertangani dengan serius.



Masih banyak korban kekerasan tidak berani melaporkan kasusnya karena menganggap bahwa membuka aib pribadi dan keluarga ke publik, di samping khawatir terhadap pemberitaan di media massa yang memojokkan.

Kasus-kasus yang dilaporkan pun tidak selalu selesai di ranah hukum. Bahkan korban kekerasan terutama kekerasan seksual mengalami kekerasan berulang karena aparat hukum yang tidak memiliki perspektif terhadap perempuan dan terhadap korban. Korban yang seharusnya dilindungi, dikuatkan, dan dipulihkan justru sebaliknya dicap sebagai perempuan tidak baik.

Kondisi menjadi semakin rumit karena masyarakat juga terhubung dengan media internet atau dalam jaringan (daring), di mana setiap orang di berbagai negara dan benua dapat terhubung dan berinteraksi tanpa batas di dunia maya. Media daring pun ikut menambah deretan kekerasan terhadap perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mencatat kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber yang merupakan bagian dari kejahatan berbasis jaringan (cyber crime).

Jika pada masa konvensional, kekerasan di media hanya dilakukan oleh jurnalis, maka di media daring setiap orang yang terhubung di dunia maya dapat melakukan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan media sosial menjadi media baru bagi kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan di media daring dan medsos umumnya berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi dan kekerasan seksual.

Beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan di media daring antara lain:

(1) cyber harassment atau perundungan dan gangguan daring biasanya berbau seksual;

(2) cyber grooming yakni memperdayai perempuan;

(3) malicious distribution atau penyebaran konten yang merusak reputasi korban, misalnya ancaman distribusi foto atau video pribadi di medsos atau di website porno;

(4) revenge porn adalah bentuk khusus dari malicious distribution yang dilakukan dengan menggunakan konten pornografi korban atas dasar balas dendam;

(5) cyber recruitment (rekrutmen daring) untuk menghubungi, mengganggu, dan mengancam korban juga untuk trafiking atau perdagangan perempuan dan kejahatan lainnya;

(6) cyber hacking atau penggunaan teknologi untuk mengakses suatu sistem secara illegal dengan tujuan mengubah atau merusak reputasi korban;

(7) morphin atau mengubah gambar atau video untuk merusak reputasi orang atau korban, dan; (8) sexting atau pengiriman gambar atau video porno kepada korban.

Selain itu, praktik doxing (document tracing) yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian mengarah pada persekusi dan kekerasan lainnya terhadap perempuan. Doxing adalah kegiatan mengumpulkan dokumen seseorang atau perusahaan daring yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan kejahatan terhadap pemilik dokumen.

Sedangkan persekusi adalah perlakuan buruk atau penganiayaan secara sistematis terhadap seseorang atau kelompok karena suku, agama, dan pandangan politik.

Perempuan sangat rentan mengalami persekusi, baik karena suku, agama, dan pandangan politiknya.

Rekrutmen daring untuk perdagangan perempuan dan anak semakin mudah karena jangkauan perekrut yang tidak dibatasi oleh daerah, negara, dan benua. Di sisi lain, pengguna medsos yang rentan menjadi korban dengan mudah terhubung dengan jaringan perekrut.

Media daring dan medsos menambah panjang daftar bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang mengalami kekerasan di dunia nyata, begitu mudah dipotret dan diunggah yang kemudian dikomentari oleh siapa pun.

Tentu tidak semuanya bersimpati, tetapi ada yang membully dan menyalahkan. Artinya perempuan tersebut mengalami kekerasan di dunia nyata dan di dunia maya. Oleh karena itu, perhatian para pihak harus diarahkan pada media daring dan medsos.

Kampanye dan edukasi juga harus diarahkan kepada pekerja media daring dan pengguna medsos. Pengguna medsos tentu lebih sulit dijangkau, diedukasi apalagi diatur. Lebih sulit lagi karena masyarakat kita adalah masyarakat dengan tingkat literasi sangat rendah.

Masyarakat kita adalah pembaca judul dan langsung membagikan alias masyarakat berjari. Dengan jari itulah, pengguna medsos melakukan kekerasan terhadap perempuan.[]

*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU)