PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Tiga organisasi pers nasional di Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengeluarkan pernyataan bersama terkait laporan dugaan intimidasi terhadap dua wartawan TV oleh oknum polisi pengawal Ketua KPK, Firli Bahuri, ketika berada di Banda Aceh.
Dugaan intimidasi oleh oknum pengawal Ketua KPK tersebut terjadi ketika kedua wartawan, yaitu Raja Umuar (Kompas TV/ Kompas.com) dan Nurmala (Puja TV) menemui Firli Bahuri ketika sedang ngopi dan makan durian bersama dengan pimpinan media dan dan wartawan di bawah Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Aceh di Warung Sekber Wartawan di Banda Aceh, Kamis malam 9 November 2023.
Kronologi kasus itu sendiri diceritakan Raja Umar secara tertulis dan dikirim ke media dan kemudian dibacakannya juga secara langsung pada konferensi pers yang dihadiri hampir 20 wartawan lintas media.
Konferensi pers di Kantor AJI Banda Aceh dihadiri Ketua AJI Banda Aceh Juli Amin, Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin dan Ketua IJTI Aceh Munir Nur.
Menurut Umar (40), pada malam itu sekitar pukul 20.49 WIB, dia mendapat informasi kedatangan Firli Bahuri ke Warung Sekber Wartawan di Banda Aceh. Informasi itu dia dapat dari grup wartawan tv.
Dengan menggunakan sepeda motor, Umar langsung bergegas dari rumahnya yang berjarak sekitar 15 menit berkendara.
Sesampai di lokasi Umar melihat Firli bersama rekan-rekan JMSI Aceh duduk semeja. Sebagai seorang wartawan, Umar langsung mengeluarkan ID-card dan kamera dari tas dan menghampiri Firli sambil memperkenalkan diri bahwa dia wartawan Kompas ingin wawancara terkait agenda kunjungannya (Ketua KPK) ke Aceh.
Umar juga bermaksud meminta tanggapan Firli terhadap tudingan mengulur waktu dari panggilan Polda Metro.
Ketika Umar menyampaikan maksud itu, Firli menjawab “tidak ada komentar soal itu, lagi makan duren”.
Umar menjawab, “iya udah Pak, siap makan duren boleh ya saya tunggu.”
Polisi yang mengawal Firli mengingatkan Umar untuk tidak mengambil video dan foto. Lalu Umar menjawab dengan nada mencairkan suasana, “siap bos saya lagi kerja, saya wartawan”.
Tak lama setelah itu, Umar dihampiri orang yang mengenakan pakaian preman dan meminta Umar menghapus foto pertemuan Firli.
Umar menolak permintaan tersebut, bahkan Umar sempat menanyakan “apa hak Anda menyuruh saya untuk hapus foto?”
Orang yang menyuruh hapus foto itu menjawab, “saya polisi berhak meminta hapus foto itu”.
Karena dipaksa buka galeri di handphone, Umar langsung hidupkan rekaman suara (audio).
Bersamaan dengan itu Umar bertanya foto mana di galeri yang harus dihapus.
Petugas itu ternyata tahu kalau Umar merekam audio kejadian. Makanya dia juga meminta Umar menghapus rekaman audio tetapi secara tegas Umar menolak.
“Audio ini tak bias saya hapus, ini sebagai bukti kepada kantor saya jika terjadi apa-apa,” kata Umar.
Sambil menolak, Umar secepatnya mengirim audio itu ke grup kompas.com. Tujuannya sebagai barang bukti kalau dirinya telah diintimidasi oleh pengawal Firli.
Diceritakan Umar, ketika dirinya menghampiri Firli Bahuri meminta izin wawancara, ternyata sempat divideokan oleh rekannya, Nurmala, Wartawan Puja TV yang akrab disapa Lala.
Oknum polisi menghampiri Lala meminta rekamannya dihapus.
“Sempat saya tolak sambil mengulur waktu agar rekaman itu bisa tersimpan di google. Sayangnya, belum sempat tersimpan karena prosesnya cepat sekali. Saya juga mengatakan, kenapa memaksa saya membuka HP dan melihat hal-hal yang private di HP saya. Namun si petugas tak mau tahu. Tetap meminta saya menghapus video di penyimpanan HP saya,” ungkap Lala.
Sikap AJI, PWI dan IJTI
Merespons kejadian yang dialami oleh kedua wartawan televisi tersebut, Ketua AJI Banda Aceh Juli Amin, Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin, dan Ketua IJTI Aceh Munir Nur mengatakan, pemaksaan penghapusan foto dan video tersebut merupakan salah satu upaya penghalangan kerja-kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan, “menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
Seharusnya, menurut ketua dari ketiga asosiasi pers tersebut, kepolisian memahami dan menghargai kerja jurnalistik yang merupakan perwujudan dari pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi, bukan malah melakukan upaya penghalangan.
“Tidak boleh ada larangan bagi wartawan melakukan peliputan, apalagi di tempat umum, dan peristiwa ini juga terjadi di markas wartawan (Sekber). Maka dari itu, kita mengecam keras dan meminta Mabes Polri dan Polda Aceh untuk mengusut dugaan intimidasi terhadap wartawan tersebut,” tandas Juli Amin dibenarkan rekannya, Nasir Nurdin dan Munir Nur.
AJI, PWI, dan IJTI mengeluarkan lima poin pernyataan sikap, sebagai berikut:
- Mengutuk keras kejadian atau perilaku oknum anggota polisi pengawal Ketua KPK yang telah melakukan intimidasi terhadap Raja Umar (Wartawan Kompas TV) dan Nurmala (Wartawan Puja TV);
- Meminta kepada Mabes Polri untuk memberi pemahaman kepada seluruh jajarannya untuk menghormati kerja-kerja jurnalistik;
- Meminta kepada Mabes Polri untuk menghukum pelaku (anggota polisi) yang telah mengintimidasi Wartawan Kompas TV dan Puja TV yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik;
- Menyerukan kepada semua jurnalis untuk tidak gentar dalam melaksanakan tugas-tugas dan bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik;
- Memberikan kewenangan penuh kepada Redaksi Kompas TV dan Puja TV apakah perkara ini dibawa ke ranah hukum atau tidak. PWI, AJI, dan IJTI siap mengawal dan menghormati apapun kebijakan yang diambil oleh Redaksi Kompas TV dan Puja TV.[]