Semalam di Wisma Atlet, Agak Lain Memang

Sebagian anggota rombongan PWI dan IKWI Aceh bersiap-siap meninggalkan Wisma Atlet Kemayoran menuju Ancol, lokasi kegiatan HPN 2024, Sabtu, 17 Februari 2024. (Dok PWI Aceh)

Catatan Nasir Nurdin/Ketua PWI Aceh

SEHARI menjelang keberangkatan ke Jakarta mengikuti perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di Ancol, saya ditelepon Ketua PWI Jakarta Utara, Ilham Dharmawan.

“Kawan-kawan Aceh saya sarankan nginap saja di Wisma Atlet Kemayoran, karena hotel yang disediakan panitia berlaku mulai tanggal 17,” kata Ilham yang juga unsur panitia HPN 2024.

Tower di Kompleks Wisma Atlet, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Saran itu saya teruskan ke grup WhatsApp ‘PWI-IKWI Aceh’.

Tak ada yang menolak.

Termasuk tak ada yang keberatan ketika saya beritahukan ada pembebanan biaya Rp 65.000/orang/malam.

Juga tak ada yang mempersoalkan meski Wisma Atlet Kemayoran pernah difungsikan sebagai Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC).

Ya, Wisma Atlet yang memiliki 10 tower itu pernah jadi RSDC sejak 23 Maret 2020 hingga 31 Maret 2023.

Dalam tiga tahun itu, Wisma Atlet dengan 7.424 kamar penuh sesak oleh pasien covid.

Jumlahnya ribuan. Tak sedikit yang meninggal dunia di situ.

Di wisma itulah delegasi PWI dan IKWI Aceh disarankan menginap sambil menunggu keesokan harinya check-in di hotel yang difasilitasi panitia. Atau yang di-booking sendiri oleh anggota delegasi yang berstatus peninjau.

                          ***

Pukul 12.00 WIB, Jumat, 16 Februari 2024, pesawat Garuda yang menerbangkan kami dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar landing di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Di ruang kedatangan, kami sudah ditunggu Ilham.

Ketua PWI Jakarta Utara, Ilham Dharmawan atas nama Panitia HPN 2024 menyambut delegasi PWI dan IKWI Aceh ditandai pengalungan syal khas Betawi kepada Ketua PWI Aceh di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu, 17 Februari 2024. (Foto Asnawi Kumar/PWI Aceh)

Atas nama panitia, Ilham menyambut dengan menyelempangkan syal khas Betawi kepada saya selaku Ketua PWI Aceh didampingi Ketua IKWI, Ny Hanifah dan Plt Ketua Dewan Kehormatan, HT Anwar Ibrahim.

Dari Bandara Soeta, kami dibawa dengan bis ke Wisma Atlet dengan jarak–kalau mempedomani peta google 28,6 km–atau 30 menit waktu tempuh.

Kami tiba di Wisma Atlet bersamaan waktu shalat Jumat.

Kami ditempatkan di Tower 3, salah satu dari 10 bangunan jangkung berlantai 24 dengan ketinggian 82 meter.

Layaknya di hotel, kami disambut beberapa laki-laki muda selaku resepsionis.

Suasana yang sedikit membedakan dengan hotel adalah jejeran kursi di lobi yang membentuk formasi berbaris dari depan ke belakang.

Antara satu kursi dengan kursi lain ada  pemisah. Tanpa tempat duduk. Ini mengingatkan saya pada ketentuan physical distancing ketika Covid-19 sedang berkecamuk.

Petugas dengan sigap memeriksa data kontingen Aceh sebanyak 19 orang yang sebelumnya sudah diserahkan Ilham. Klop. Bendahara PWI Aceh, Dian Fatayati membayar. Tidak boleh cash. Harus transfer.

Setelah proses administrasi dan pembayaran selesai, masing-masing kami menerima kunci kamar. Bukan kunci digital tetapi masih konvensional.  Kunci yang ada anak kuncinya.

Saya dan istri mendapat kamar di lantai III nomor 505. Ada lift yang  cukup bersih dan nyaman naik turun ke semua lantai.

Dalam rombongan saya, ada dua lagi pasangan suami istri, yaitu T. Haris Fadhillah (pengurus PWI Aceh) bersama istrinya, Mara Dewi (Sekretaris IKWI Aceh).

Juga ada Jufrizal (Ketua PWI Aceh Besar) bersama istrinya Rossi (Ketua IKWI Aceh Besar).

Saya dan istri serta teman-teman lain bergegas masuk kamar untuk melaksanakan shalat zuhur setelah tak berkesempatan shalat Jumat.

                      ***

Kamar di Wisma Atlet–khususnya Tower 3–didesain layaknya ruangan apartemen.

Ada dua ranjang terpisah, ada kaca rias, AC yang sangat dingin, lemari, kamar mandi dengan closet duduk plus shower air panas dan netral, ada dapur, dan ada satu set sofa. Tak ada tivi, entah kenapa.

Berada di kamar Wisma Atlet, saya merasa biasa-biasa saja. Nyaman untuk tempat beristirahat.

Jendela kaca berukuran besar gampang dibuka untuk mendapat udara segar sambil menatap hamparan di bawah yang teduh dengan pepohonan. Atau menatap kokohnya tower-tower lain yang menjulang sejajar dengan ketinggian rata-rata di atas 20 lantai.

                    ***

Ba’da zuhur itu, kami turun cari makan siang. Kami keluar ke jalan utama. Tetapi tak ada warung di sekitar itu.

Petugas kebersihan wisma memberi tahu memang agak sulit cari makan di sekitar itu. Yang terdekat adalah restoran siap saji di salah satu sisi luar wisma.

Ke restoran itulah kami melepas lapar dan dahaga, sudah hampir jam tiga sore.

                   ***

Setelah makan minum, kami tidak langsung balik ke wisma. Kami bersepakat jalan-jalan menikmati Jakarta menjelang senja.

Kami memesan dua unit grab car. Ke Century City Mall.

Entah ide siapa, tiba di mall tersebut semuanya sepakat masuk bioskop untuk nonton.

Kebetulan ada film yang lagi booming; Agak Laen, film komedi horor Indonesia 2024 yang disutradarai dan ditulis oleh Muhadkly Acho.

Semangat nonton bukan hanya karena sedang ada film enak, tetapi juga untuk merasakan sensasi bioskop yang kini tak ada lagi di Aceh. Maka, kami pun nonton bareng.

Sepanjang tayangan film berdurasi 1 jam 59 menit itu, kami benar-benar lepas.

Adrenalin kami diaduk-aduk antara adegan lucu dan horor. Tetapi lebih banyak lucunya.

Ruangan bioskop pecah dengan suara tawa lepas, termasuk tawa saya yang duduk di jejeran kursi ketiga dari depan.

                    ***

Malam itu, dalam perjalanan kembali ke wisma, driver grab car yang kami tumpangi tiba-tiba nyeletuk.

“Udah lama nginap di Wisma Atlet, Pak?” tanya sang driver kepada saya di sela-sela kami menertawakan hal-hal lucu dan sosok-sosok hantu di film Agak Laen yang baru kami tonton.

Pertanyaan sang driver langsung mendiamkan diskusi dan gelak tawa kami.

“Nggak Mas, kami baru nyampe tadi siang. Malam ini kami nginap semalam di sini. Kenapa Mas?” sergah saya agak penasaran.

“Oooo, gak apa-apa, Pak,” ujarnya dengan jawaban yang saya nilai berbalut misteri.

Mungkin tahu saya penasaran, sang driver melanjutkan, “dulu wisma ini tempat penanganan korban covid. Banyak sekali korbannya. Banyak juga yang meninggal di sini, Pak.”

Sebenarnya saya ingin mengorek lebih dalam informasi tentang Wisma Atlet dikaitkan dengan tempat penanganan korban covid yang banyak meninggal di situ. Apalagi penjelasan sopir grab saya rasakan agak lain.

Namun komunikasi kami terhenti karena grab sudah tiba di depan lobi tower 3 Wisma Atlet.

Suasana mendadak agak lain. Ada aura berbeda dibanding saat ketibaan kami pada siangnya.

Tapi saya biarkan saja aura itu lalu lalang dalam dimensi yang sulit diucap.

Saya tak ingin membebani alam pikiran kawan-kawan yang mungkin juga telah digayuti aura yang sama.

                  ***

Sabtu, ba’da zuhur, setelah check out dari Wisma Atlet, kami dimobilisasi ke Ancol untuk mengikuti rangkaian kegiatan HPN 2024.

Saya bersama beberapa anggota rombongan yang lain menginap di Hotel Discovery.

Sosok misterius dan terpaan angin

Malamnya, ketika anggota rombongan sedang ngumpul dan bincang-bincang di hotel, salah seorang di antara kami mengingatkan kembali pertanyaan sopir grab.

“Wajar saja sopir grab itu merasa heran kenapa kita nginap di Wisma Atlet. Saya yakin ini terkait dengan sesuatu yang mistis di wisma itu,” kata Mara Dewi, Sekretaris IKWI Aceh yang menempati Wisma Atlet kamar nomor 503 bersama suaminya, T. Haris Fadhillah.

Dewi mengaku punya pengalaman yang sangat tidak masuk akal di kamar 503 pada tengah malam itu.

Ketika terbangun pada tengah malam itu, matanya langsung melihat sosok yang samar-samar mondar-mandir di ruang dapur.

Dewi coba meyakinkan dirinya kalau itu hanya efek sinar atau apa, tetapi sosok itu tetap saja terlihat mondar-mandir.

Dia tak membangunkan suaminya. Dia tarik selimut, memejamkan mata sambil membaca ayat-ayat Quran. Dia pun tertidur.

Lain lagi pengakuan Dian Fatayati. Bendahara PWI Aceh yang menempati kamar 315 Wisma Atlet.

Pada Jumat sore itu, Dian tak ikut nonton bareng dengan rekan-rekannya. Dian harus menemui adiknya di RSPAD Gatot Subroto di kawasan Senen ngantar oleh-oleh khas Aceh.

Menjelang magrib, Dian kembali ke wisma. Dia sendiri. Rekan-rekannya masih nonton atau sedang ‘ngukur jalan’ Jakarta.

Dian masuk kamar yang ditempati bersama Staf Admin PWI Aceh Meylida Abdani dan Afriani (istri Wakil Ketua PWI Aceh Besar).

“Tiba-tiba saya merasakan seperti embusan angin. Merayapi seluruh tubuh. Saya merinding hebat. Saya lawan rasa takut tetapi tidak bisa. Saya lemas sekali,” ujar Dian.

Dengan sisa-sisa tenaga, Dian meraih ponselnya. Dia buka aplikasi pemutar audio. Dia searching pengajian pada surah Yaasin. Lantunan ayat suci-pun menggema. Perlahan rasa takut hilang. Perlahan dia bisa kembali menguasai diri sepenuhnya.

        ***
Apa yang dialami Dewi maupun Dian, sebenarnya mereka sendiri mengaku tak percaya dengan hal-hal berbau mistis atau cerita-cerita penampakan.

“Tapi apa yang kami rasakan di Wisma Atlet nyata sekali. Namun kami tetap melawan dengan cara kami hingga kami tetap tegar,” ujar Dewi dibenarkan Dian.

Lalu, bagaimana dengan anggota rombongan yang lain?

Beberapa orang dari anggota rombongan juga mengakui ada nuansa ‘mencekam’ ketika masuk ke bangunan Wisma Atlet dan kamar di wisma tersebut.

Aura mencekam itu mulai merayapi ketika memasuki selasar (lorong panjang yang menghubungkan satu area dengan area lain) di gedung tersebut.

“Sempat terlihat bayangan seperti ada orang lalu lalang di ujung lorong, tetapi saya anggap itu sebagai pandangan orang yang nggak cukup tidur saja. Saya lawan, hilang sendiri,” ujar Abdul Hadi, Wakil Sekretaris II PWI Aceh.

Saya sendiri, sangat disayangkan tak mendapati atau melihat sosok-sosok misterius selama berada dan bermalam di Wisma Atlet. Istri saya juga mengaku tak merasakan atau melihat sesuatu yang lain.

Sepulang dari nonton bareng malam itu, setelah shalat isya, saya langsung rebahan dan tertidur sangat pulas hingga menjelang subuh.

Sang istri mengaku sulit tidur bahkan iseng-iseng membuka jendela kamar pada tengah malam itu. Menatap jejeran gedung Wisma Atlet dalam temaram. Memang ada kesan angker tetapi tetap tertata dengan baik, termasuk lingkungan dan tamannya.

Kini, delegasi PWI Aceh sebanyak lebih kurang 60 orang–termasuk PWI dan IKWI Kabupaten/Kota–telah kembali ke daerah setelah mengikuti rangkaian perayaan HPN di Jakarta.

Banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang didapat. Termasuk pengalaman yang agak lain di Wisma Atlet.[]