PORTALNUSA.com | JAKARTA – Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) memberikan kenaikan pangkat militer kehormatan bintang empat kepada Prabowo Subianto pada Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu pagi, 28 Februari 2025.
“Kenaikan pangkat secara istimewa berupa jenderal TNI kehormatan kepada Bapak Prabowo Subianto. Saya ucapkan selama kepada Bapak Jenderal Prabowo Subianto,” kata Presiden Jokowi sebagaimana dikutip dari bbc.com.
“Penganugerahan ini bentuk penghargaan, sekaligus peneguhan untuk berbakti sepenuhnya kepada rakyat, kepada bangsa, dan negara. Saya ucapkan selamat kepada Bapak Jenderal Prabowo Subianto,” tambahnya.
Pada acara itu, Jokowi kemudian menanggalkan pangkat Prabowo sebelumnya dan mengganti pangkat yang baru kepada sang menteri pertahanan.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan pemberian pangkat akan dilakukan saat Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
“Pak Prabowo akan hadir di Rapim TNI dan rencananya akan menerima Keppres dari Presiden terkait dengan tanda kehormatan berupa kenaikan pangkat secara istimewa menjadi jenderal TNI,” kata Dahnil melalui video yang dibagikan, Selasa, 27 Februari 2024.
Pangkat terakhir Prabowo adalah Letnan Jenderal (Purn) atau bintang tiga. Dengan demikian, mantan Komandan Jenderal Kopassus dan Panglima Kostrad itu akan menyandang bintang empat.
Menurut Dahnil, pemberian pangkat itu diusulkan oleh Mabes TNI. Usulan itu, lanjutnya, telah disetujui oleh Presiden Jokowi dengan penerbitan keputusan presiden.
“Pemberian jenderal penuh kepada Pak Prabowo didasarkan pada dedikasi dan kontribusi Pak Prabowo selama ini di dunia militer dan pertahanan,” jelas Dahnil.
Pemberian pangkat jenderal bintang empat untuk Prabowo dikritik oleh keluarga korban pelanggaran HAM dan para aktivis.
Mengecam
Pemberian kenaikan pangkat kehormatan kepada Letjen (Purn) Prabowo Subianto ditentang oleh Koalisi Masyarakat Sipil.
Dalam siaran pers-nya tertanggal 27 Februari 2024, Koalisi Masyarakat Sipil menulis pangkat kehormatan itu pernah disematkan kepada sejumlah purnawirawan TNI yang sempat menjabat menteri. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Pandjaitan, Agum Gumelar, A.M. Hendropriyono hingga Sarwo Edhie Wibowo.
Kementerian Pertahanan menerangkan, alasan pemberian tanda kehormatan tersebut adalah karena dedikasi serta kontribusi Prabowo Subianto telah diakui dalam dunia militer.
Mabes TNI dikabarkan merupakan pengusul pemberian jenderal penuh untuk Prabowo Subianto dan diklaim telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Atas keputusan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pemberian kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) bintang empat untuk Prabowo Subianto. Hal ini tidak hanya tidak tepat tetapi juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.
Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru. Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu. Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:
- Presiden untuk membatalkan pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
- Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
- Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
- Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad-hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia;
- TNI-Polri untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.[]