Interupsi Komeng

SAMPAI tadi malam saya masih penggemar Komeng. Yang komedian itu. Yang pelawak itu. Masih haha..hihi.. dengan candanya ketika tayang di “kompas tv.”

Gak ada yang berubah dari Komeng.



Saya berharap, moga Komeng tetap jadi pelawak. Harapan saya usai dilantik sebagai anggota dewan perwakilan daerah  nanti ia tetap akan lucu.

Moga juga, Komeng akan mengeluarkan celutukannya di sidang paripurna nanti: “maap interupsi pak presiden, udah siang nih, ane laper…makan siang gratisnya jadi kagak nih?”

Panggung paripurna pasti heboh. Ada tepuk tangan. Ada muka bengong. Dan ada yang tertampar …. Lain-lainnya terserah…

Menarik untuk menyaksikan drama ini ke depan. Saat para aktor, yang Anda sudah tahu nama-namanya, resmi dilantik.

Saya tak ingin Komeng memerankan kelucuan lainnya. Kembali ke watak aslinya. Korup, kejam, licik, jahat, rakus.

Saya belum bisa menerka akankah Komeng tetap menjadi dirinya sendiri atau justru malah berubah menjadi seperti mereka-mereka dan mereka..

Bagi saya, hingga pagi tadi pun, usai nonton serial sinetron “kolak candil, Komeng adalah bentuk olok-olok paling menohok. Ia masih mewakili lapisan masyarakat biasa untuk menertawakan politik.

Uhuy..  Kek..kek..kek.. Kehadiran komeng jelas menyentak dunia politik yang penuh kepura-puraan akting dalam panggung demokrasi ini.

Sekali lagi dia adalah olok-olok paling menohok.

Tertawaan Komeng ini dimulai ketika ia dipaksa untuk mengajukan penambahan nama lahirnya. Alfiansyah. Hingga lengkap  menjadi “Alfiansyah Komeng” di Pengadilan Cibinong.

Alasan penambahan ini didasari popularitas nama panggungnya “komeng” dalam keikutsertaannya di pemilihan bakal calon anggota dewan perwakilan daerah. Senator.

Di pemilihan itu ia mewakili daerah pemilihan Jawa Barat. Sesuai dengan domisili dan asal muasalnya. Bogor.

Komeng, seperti Anda tahu, telah melewati karier panjang sebagai penghibur. Sebagai pemeran, pelawak, pengisi suara, penyiar radio, presenter, plus politikus.

Ia masih bagian dari  grup lawak diamor yang beranggotakan Mamo, Jarwo Kwat dan Rudi Sipit.

Dalam usianya  yang lima puluh tiga tahun ia masih fit. Fit dengan parat yang ia namakan: unaffiliated.

Sebelum menjadi komedian, Komeng pernah kuliah di Akademi Bisnis Indonesia, namun tidak tamat. Selama berkuliah ia pernah jadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam.

Setelah tiga kali berpindah tempat kuliah, ia menjalani studi dalam jurusan manajemen dan meraih gelar sarjana dengan skripsi tentang ekonomi komedian.

Lantas, apakah akan ada yang berubah dengan waktu dan kehidupannya usai diprediksi bakal lolos anggota dewan perwakilan dearah?

Tentang ini Komeng tandas mengatakan semua berjalan apa adanya. Dengan jawaban khasnya yang penuh canda, ia mengatakan dirinya bukan superhero yang bisa berubah.

“Nggak ada. Saya kan bukan megaloman.”Semua berjalan sebagaimana mestinya tidak ada yang berubah.” Dirinya masih tetap menjalani syuting.

Tentang gempa politik? Komeng hanya tertawa. Bukan gempa tapi gempar. Gempar yang isinya seakan mendamaikan kutub para pendukung.

Gempa dan gempar yang jalarkan saat berasal dari keunggulannya di penghitungan suara kandidat senator. Dewan perwakilan daerah. Di dapilnya Jawa Barat. Trending di aplikasi x. Twitter.

Kehadiran komeng di arena politik pemilu tahun ini benar-benar mempersatukan netizen. Hampir seluruh netizen di medsos meresponsnya secara positif. Lucu.

Jarang sekali saya menemukan komentar jelek tentang fenomena Komeng dalam ajang ini.

Netizen, yang sejak menjelang pemilu sudah sangat panas bertarung membela jagoannya, tiba-tiba seperti mendapatkan hiburan menyegarkan.

Baik netizen yang tercabik-cabik emosinya karena jagoannya kalah, maupun netizen yang pongah karena jagoannya unggul, seolah langsung kendor, rileks, terhibur merespons info komedian itu.

Saya tak pernah menggeser sebutan untuknya: penghibur sejati. Saya kira Anda pasti searah dan tujuan dengan saya untuk memberi acungan tegak lurus baginya: pengocok perut sejati.

Kalau Anda dan Anda dan Anda setuju mari kita sepakat menyematkan mahkota padanya: King Komeng dalam urusan hiburan.

Komeng hampir tidak pernah kampanye. Lihat saja di akun instagram-nya. Alih-alih kampanye menggunakan medsosnya, Komeng malah sibuk posting iklan e-commerce.

Tak ada postingan yang mengampanyekan dirinya sendiri. Perilakunya tetap seperti yang kita tahu selama ini, unpredictable.

Apa yang dilakukannya dalam pemilihan umum lalu sangatlah “komeng”. Sangat spontan. Melalui kemunculan tidak terduga sama sekali. Tiba-tiba muncul di kertas suara, dan menang!

Strategi melalui sudut pandang marketing. Ada unsur unpredictability dalam strategi pencitraan produk, yang memang sudah mempunyai modal sosial berupa popularitas.

Sosok terkenal jika dibandingkan dengan saingandi dapilnya, membuat pemilih dengan mudah “terkejut” dengan hadirnya tokoh yang telah familiar.

Sebenarnya, seperti yang saya tahu, penggunaan efek spontanitas mempunyai risiko tinggi. Bisa jadi bumerang jika tidak menerapkannya secara baik, di momen yang tepat.

Tapi Komeng menjungkirbalikkan semuanya. Menjungkirbalikkan nalar Anda lewat perannya sebagai “raja spontanitas.” Komeng yang mulia. Dia yang memamah keuutan dan spontan sebagai menu harian.

Tengok saja kelakuannya di pemilu ini. Saat calon lain berusaha keras menampilkan foto diri yang formal dan serupawan mungkin di kertas suara Komeng menampilkan foto miring dan melongo.

Saat calon lain berlomba-lomba menuliskan rentetan gelar dalam namanya di kertas suara, mulai dari gelar akademis, gelar haji, gelar ningrat, dia justru menuliskan nama aliasnya Alfiansyah Komeng.

Padahal nama resminya Alfiansyah Bustami

Kelakuan Komeng memang sangat identik dengan hal-hal di luar dugaan.

Seperti diceritakan teman seorang jurnalis. Tentang pengalamannya dengan Komeng. Di sebuah wawancara “on air”. Tiba-tiba dia nyeletuk, “Ini tombol apaan? Kalau dipencet mati nggak?”

Tahukah Anda semua, yang dipencetnya saat itu adalah steker pemancar. Sontak siarannya terputus, radionya mati. Begitulah ulahnya.

Tabiatnya memang lekat dengan nge-prank, surprise, iseng, usil, jahil. Tapi kali ini, yang di-prank adalah seluruh masyarakat di tengah pesta demokrasi ini.

Politik sering diibaratkan sebagai panggung, tempat para politikus berakting dan memerankan adegan kekuasaan.

Setidaknya hingga hari-hari usai coblosan. Para aktor telah memainkan peran dengan piawai untuk mengaduk-aduk emosi penonton.

Panggung pemilu  untuk saya paling tepat jika digambarkan sebagai genre pentas komedi.

Secara kasat mata, jelas kentara panggung pemilu kali ini banyak melibatkan kelucuan dan komedian dalam penampilannya.

Memilih komedi sebagai tampilan citra dalam panggung politik tentunya telah dipikirkan dengan seksama oleh timses masing-masing kontestan.

Mereka paham, dalam seni pertunjukan, unsur komedi memang tidak pernah bisa ditolak oleh penonton.

Dalam ranah teoritis, telah banyak kajian seni pertunjukan dari para pakar mengenai bagaimana komedi berhasil memikat penonton pertunjukan.

Seni komedi adalah suara orang-orang biasa. Komedi merupakan antitesis dari tragedi. Teater tragedi dipertontonkan untuk memainkan emosi berupa ketakutan, penderitaan, atau kehancuran.

Jika dikaitkan dengan panggung politik hari ini, komedi yang mengandung humor barangkali memang sengaja digunakan sebagai strategi untuk mengaburkan pandangan penonton.

Para penonton yang rata-rata adalah “orang biasa” di negara ini akan tahu wajah politik yang sebenarnya. Penonton yang memang penuh tragedi, intrik, saling menghancurkan, dan berujung penderitaan.

Bagi negeri ini saya… entah Anda.. apa yang dilakukan Komeng dalam panggung politik kali ini telah memporak-porandakan makna pemilu yang selama ini dimaknai sangat serius, jahat, tragis.

Kenyataan yang selama ini ditampilkan para aktor politisi itu dicemooh dan diolok-olok dengan akting lawak Komeng yang sangat mencuri perhatian.

Mari saya kutip jawaban Komeng saat diwawancarai:

“Mengapa Anda memilih dengan perwakilan daerah.”

Dengan kocak ia menjawab, “ya… mending milih dewan perwakilan daerah daripada daftar  pencarian orang-dpo-…. ntar kita yang repot.”

Celetukan itu gak mungkin dilakukan oleh politisi mana saja di negeri ini. Yang jawaban selalu jaim, birokratis, ambigu, dan retoris.

Jawaban si Komeng adalah bentuk olok-olok paling menohok yang mewakili lapisan masyarakat biasa untuk menertawakan politik dan tingkah laku orang-orang di dalamnya.

Saya pernah mendapatkan teori tentang olok-olok ini. Teori jitu dalam seni penyampaian pesan. Pesan itu bisa berupa kritik dan sindiran baik kepada pihak yang dikritik.

Pesan yang juga membantu men-delivery maksud pesan itu agar bisa dicerna penonton secara sederhana dan menyenangkan.

Rakyat tidak mau dan tidak mampu melihat politik sebagai hal yang memberatkan pikiran. Mereka mau yang ringan-ringan, santai, dan lucu-lucu dalam menyikapi pertarungan politik ini.

Kehadiran Komeng di panggung jelas menyentak politik yang penuh kepura-puraan akting dalam panggung demokrasi ini.

Seorang teman menyindir bahwa demokrasi pseudo-komedi diisi oleh para artis dengan kemampuan akting yang buruk.

Mereka berpura-pura berkompetisi di dalam pemilihan umum. Namun, setelah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Politik di negeri ini adalah politik bagi-bagi kekuasaan di antara orang-orang kaya semata.

Beda dengan Komeng seperti akting panggung yang menjadi dirinya sendiri, tanpa kepura-puraan. Karena memang itulah jati dirinya yang sebenar-benarnya.

Dia menjadi pemain utama. Menjadi man of the match dalam pertandingan rebutan kursi ini.

Panggung pemilu yang “di-setting” komedi ini, ditunggangi Komeng dengan tampil di puncak adegan sebagai lakon yang sangat elegan, tanpa terbelenggu partai, tanpa janji-janji, tanpa beban politis.[]

  • Darmansyah adalah wartawan seinor, penulis “Kolom Bang Darman”