NEWS, OPINI  

Renungan untuk Aceh

Tazbir Abdullah. (Foto: Times Indonesia)

Oleh: Tazbir Abdullah, SH, M.Hum *)

SETELAH saya berkesempatan sebulan keliling Aceh sepanjang 1.150 km, masya Allah imaginasi, kreativitas anak bangsa sangat luar biasa. Ya. sebenarnya bangsa kita memang sangat luar biasa.



Sungguh kita sangat bahagia melihat fenomena ini. Namun pada saat bersamaan kita bersedih hati, karena kreativitas dan inovasi anak bangsa ini gagal dipahami oleh pemimpinnya.

Sang pemimpin tidak memiliki sensitifitas dan kapabilitas untuk mengembangkan pendidikan guna mewujudkan mimpi-mimpi besar anak-anak dan kaum muda. Pemimpinnya sibuk merawat kekuasaan untuk dirinya, keluarga, dan kelompok primordialismenya sendiri-sendiri.

Dalam penilaian saya, justru pemimpinnya yang tidak punya obsesi besar membangun bangsa. Lebih khusus Aceh sebagai daerah yang telah menerima dana otsus yang demikian besar tetapi tidak mampu mengangkat dirinya sendiri.

Terkait keberadaan dana otsus, seharusnya bisa menjadi kesempatan yang sangat bagus bagi Aceh. Namun apa hendak dikata, hingga menjelang akhir masa otsus, rakyat belum merasakan sesuatu yang luar biasa dibanding besaran dana yang telah dihabiskan.

Seperti kita ketahui, selama 15 tahun sejak 2008, dana otsus yang dikucurkan untuk Aceh mencapai Rp 31,12 triliun atau tiga kali lipat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.

Pada 2023, Aceh hanya menerima 1 persen dana yang berasal dari platform Dana Alokasi Umum (DAU) nasional tersebut.

Sekadar perbandingan, jika pada 2022 Aceh masih mendapatkan Rp 7,560 triliun dana otsus maka tahun 2023 tinggal Rp 3,9 triliun atau setengahnya hingga habis total pada 2027 nanti.

Ketika nantinya dana otsus benar-benar berakhir, sementara nasib Aceh tetap dalam kondisi terpuruk, mereka (para pemimpin, politisi, dan siapapun para pembuat dan pengambil kebijakan) harus bertanggung jawab besar atas keterpurukan ini, termasuk kemiskinan dan pengangguran terbesar di Sumatra yang dihasilkan.

Jika gaya kepemimpinan masih seperti ketika bergelimang dana otsus, hampir bisa dipastikan nasib Aceh akan semakin buruk bahkan sulit digambarkan akan seperti apa. Masya Allah.

Kita hanya bisa berharap, sebelum masa-masa yang sangat buruk itu terjadi, tolong hentikan politisasi pembangunan fisik yang tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Wahai pimpinan partai-partai politik dan pemimpin-pemimpin Aceh, cobalah lakukan sesuatu action yang lebih cerdas dan inovatif untuk membangkitkankan marwah Aceh yang sudah terpuruk ke jurang kemiskinan dan ketertinggalan ini.

Kalau memang tidak mampu, jangan malu untuk lempar handuk, beri kesempatan kepada orang-orang yang lebih mumpuni dan memiliki wawasan pengetahuan yang luas yang bisa memberikan solusi perbaikan kehidupan rakyat yang semakin berat ini.

Segeralah masuk ke ‘lorong waktu’, lihat bagaimana keadaan mendatang. Apakah tidak merasa berdosa besar melihat keadaan ini dan kondisi anak cucu kita kelak.  Astagfirullahu al-adziim.[]

*) Penulis adalah intelektual/akademisi asal Aceh, tinggal di Yogyakarta