NEWS, OPINI  

Idealisme Pokir

Ilustrasi.

Catatan Nasir Nurdin/PortalNusa.com

BEBERAPA  malam lalu seorang pemimpin media siber mengirim satu pesan WhatsApp ke gadget saya. Kalimatnya sangat singkat, dalam Bahasa Aceh, “that brok akai …”



Pada tanda titik titik itu dia menulis nama dua orang seniornya sesama wartawan (yang juga pemimpin media siber). Kalimat itu kalau diartikan secara bebas ke Bahasa Indonesia, “Jelek sekali akal (pikiran) si ….(kedua teman itu).”

Sebelum mengirim kalimat singkat tersebut, dia terlebih dahulu memposting link berita dari media si senior. Berita itu tentang praktik jual beli pokir anggota DPRA ke media online seharga ratusan juta rupiah.

“Saya terbawa-bawa dalam berita itu, meski tak menyebut nama tetapi saya pastikan itu mengutip saya karena saya ada diskusi dengan si senior terkait dana pokir. Diskusi yang saya anggap untuk konsumsi personal itu ternyata diolahnya untuk konsumsi publik,” ungkap si teman.

Isu yang berkembang dalam pemberitaan itu adalah soal dana pokir milik anggota DPRA untuk publikasi media.

Sebenarnya isu pokir itu tidak baru, tetapi sudah jadi rahasia umum di kalangan wartawan dan pimpinan media. Isunya timbul tenggelam.

Ketika ada media tidak kebagian dengan berbagai macam sebab, muncullah suara kritis, bahkan sangat kritis. Sementara bagi media yang punya modal untuk ‘membeli’ pokir akan tenang-tenang saja.

Seperti diketahui, untuk mendapatkan pokir tidak gratis, ada pembagian dengan persentase tertentu. Ada hak SKPA (tempat pokir dititipkan), hak pemilik pokir (anggota dewan), dan hak media yang mempublikasikan program.

Kalau hanya sebatas persentase pembagian, akan relatif mudah. Yang berat justru ada kewajiban membayar di muka untuk pokir yang akan dikelola oleh media. DP-nya bisa berkisar 20 atau 30 persen dari nilai pokir. Tinggal hitung saja berapa DP yang harus dibayar kalau nilai pokir Rp 200 juta atau sampai Rp 500 juta.

Seorang aktivis media mengungkapkan, tidak semua pemilik pokir mewajibkan bayar DP. Ada yang langsung minta dibayar bagiannya (biasanya dibagi dua setelah potong pajak).

“Bahkan kalau kita punya hubungan baik dengan pemilik pokir, bisa-bisa disuruh kerja terus, nanti kalau sudah cair baru bagi. Tetapi yang begini jarang, apalagi ada pengalaman buruk yang menimpa salah seorang pemilik pokir yang tak mendapat bagian dari pemilik media ketika duit cair. Diramah bandum (diambil semuanya),” ungkap seorang pimpinan media.

Mengacu pada ‘mekanisme’ pokir, sebenarnya kesempatan bagi media untuk mendapatkan pekerjaan selalu terbuka, asal punya modal yang kuat. Maaf, tulisan ini tidak masuk pada hukum haram-halal (apalagi praktik korupsi atau bukan).

Yang jadi penegasan di sini adalah betapa pokir telah merusak tatanan kebersamaan antara sesama pengelola media. Yang memiliki modal akan terus bermata air sedangkan yang tak punya kemampuan akan berair mata. Namun masih banyak media yang tahu diri, tetap sabar meski tak dapat pokir. Tak tahu apa yang harus dijual atau digadaikan untuk mendapatkan modal. Akan sangat jelek kalau berita pokir baru muncul ketika sebuah media tak kebagian.

Kalau kita sepakat, mari kita gunakan kekuatan kita (pers) untuk secara bersama-sama mengkritisi praktik pokir (paling tidak pokir publikasi media) agar ditutup saja karena sudah terbukti merusak hubungan pertemanan antar-media. Tak bisa dinafikan telah terjadi kesenjangan antara yang memiliki modal kuat dengan modal cekak.

Namun, kalau kekuatan kolektif itu belum bisa kita kobarkan, tak ada kata yang lebih baik kecuali bersabar, terutama bagi kawan-kawan yang belum beroleh kesempatan.

Sekali lagi, ini bukan soal praktik pokir halal atau haram (itu ada pendapat tersendiri). Paling tidak dengan sikap sabar itu tidak merusak ukhuwah di antara kita, sebagaimana curhat seorang pengelola media yang sangat sedih karena merasa dizalimi oleh orang yang dia anggap teman baik. Ingat, persahabatan jauh lebih penting ketimbang pokir.

Kita memang harus memerangi setiap dugaan ketidakbenaran dengan dasar idealisme pers sejati. Bukan “idealisme pokir” disebabkan belum dapat kesempatan.

Lebih celaka lagi (mudah-mudahan ini tidak) karena dorongan ku’eh (picik hati) pada orang-orang tertentu. Itu tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terjadi justru kekompakan kita sesama wartawan dan pengelola media  akan tercabik-cabik.[]