Maestro Salim

Screenshot

Oleh: Darmansyah

SABTU malam kemarin saya ke Salihara. Salihara Arts Center. Di kawasan Pasar Minggu. Jakarta Selatan.



Salihara, Anda pun tahu, sebuah komunitas yang peduli dengan seni-budaya. Pusat kesenian multidisiplin milik swasta pertama di negeri ini.

Salihara sebuah nama dari gagasan besar seorang  Goenawan Mohamad enam belas tahun silam.

Anda pasti tahu siapa Goenawan Mohamad, akrab disapa GM atau Mas Goen, founder majalah Tempo. Tempo yang “enak dibaca dan perlu.”

Pilihan nama Salihara untuk insitusi ini didasarkan studi numerology yang secara kepribadian betanggung jawab, melindungi, merawat, bermasyarakat. seimbang dan simpatik.

Salihara yang rutin saya datangi itu lebih dikenal sebagai sebuah komunitas. Komunitas dengan visi memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi serta menghormati perbedaan dan keragaman.

Komunitas ini bertekad  menumbuhkembangkan kekayaan artistik dan intelektual sebagai upaya menghadapi kondisi  kesenian-kesenian baru.

Kebaruan ini bukan hanya menandakan masyarakat pendukung kesenian yang dinamis, tetapi juga sikap kreatif terhadap berbagai warisan kesenian untuk mencapai situasi ideal.

Saya tahu komunitas ini konsisten menampilkan kesenian yang bersifat “biasa”, yang dianggap dapat menjadi jembatan bagi publik untuk menuju kesenian baru.

Salihara terbuka bagi siapa saja yang berminat mengembangkan kreatifitas dan keterampilan melalui kesenian serta kebebasan berpikir.

Kedatangan saya ke Saliharapada Sabtu malam kemarin bukan untuk berkesenian. Hanya kongkow tanpa muatan serius. Ngumpul untuk mengenang seorang teman. Yang hari itu persis tiga pekan berpulang.

Sang teman: Salim Haji Said. Teman lama. Biangnya jurnalis. Jurnalis yang dikenang banyak orang sebagai musuhnya produser film. Dan di Salihara itu kami fokus mengenangnya sebagai “orang” film.

Kenangan ini gak pernah tercabik di akar memori saya. Sejak saya mengenalnya. Pernah bareng di lantai empat Senen Proyek. Ketika saya pernah menjadi penghuni kawasan pusat pertokoan itu.

Penghuni lantai empat Senen Proyek yang menjadi kantor majalah Tempo usai pindah dari toko kayu bergoyang di sisi kiri kawasan segi tiga senen arah Kramat Raya. Di awal enampuluhan.

Sejatinya Salim Said bisa disimpulkan seorang penulis dan pengulas film. Kritikus. Yang sulit tertandingi. Pun setelah film itu usang melewati perjalanan  panjang dan menjadi dokumenter.

Ya…. Salim Said itu adalah tonggak dari eksistensi kritik film di negeri ini.

Itu yang bisa saya ingat begitu seorang teman mengirim pesan lewat whatsapp sembari mengajak ngobrol tentang seorang Salim Said dalam kenangan kami di Salihara.  Asik…

Kehidupan Salim Said yang saya tahu dan beredar di lingkungan teman-teman bagaikan cerita film yang scrip-nya tidak harus dipercayai semuanya.

Saya sendiri tak pernah bisa memisahkan cerita tentang kehidupan Salim Said  antara fiksi dan fakta-fakta nyata. Sama seperti tulisan Salim sendiri ketika mengulas sebuah film.

Usai hengkang sebagai jurnalis Tempo saya tak pernah ketemu lagi dengannya. Tapi di banyak tahun saya seolah-olah selalu bersamanya. Ketika menyaksikannnya di tv dan di halaman media.

Di tahun-tahun yang panjang saya tak pernah luntur mengaguminya. Apalagi setelah ia  bermutasi ke banyak sisi. Sebagai pengamat, akademisi, diplomat dan lain … dan banyak lainnya.

Bahkan, ketika saya datang ke rumah duka, di Cipinang, di hari ia “pulang,” kompleks perumahan wartawan. seorang teman lama berbisik: bahwa Salim Said sudah sangat religius.

Kereligiusannya  dibuktikan dari mutasi penulisan namanya: Salim Haji Said –diambil dari nama almarhum Haji Said, ayahnya. Asal Pare-pare, Sulawesi Selatan.

Di Salihara saya dan teman-teman sisa laskar banyak mengenang masa-masa ketika ia jadi wartawan di Tempo. Begitu urakan. Khas seniman, Ketika bicara berapi-api. Lucu dan tengil.

Rasanya di masa mudanya ia tidak terlalu percaya tuhan.

Kepergian Salim Said makin mengurangi  senior saya di Tempo. Hanya tersisa beberapa nama.

Salim sangat dikenal menjadikan jagad film gaduh lewat tulisan dan ocehan. Film, baginya, tak pernah selesai sebagai tontonan.

Dulu, para pembaca majalah Tempo sering menikmati tulisan-tulisannya yang dekil.

Di halaman-halaman yang hitam putih, film-film Indonesia mendapat perhatiannya: pujian atau kecaman. Salim Said berada di garda paling depan penulis resensi film atau kritikus film.

Banyak teman-teman mendapat keterangan-keterangan penting darinya. Perannya dalam pers dan film.

Di Tempo ia pernah berujar: “Saya adalah salah satu pendiri dalam makna harfiah. Saya naik skuter berkeliling kota untuk mendapatkan bagaimana sebuah film dibuat.

Bagi saya ia tak sekadar pendiri. Selama puluhan tahun, ia menjadikan majalah berita mingguan itu referensi bagi penikmat atau pengamat film.

Ia keranjingan menulis tentang film dalam pelbagai kondisi dan risiko. Pada masa lalu, kita mengenal sosok tekun memasalahkan film dengan tulisan-tulisan gampang menumbuhkan debat-debat.

Tulisnya di sebuah kesempatan: “… penonton merupakan orang yang lengang, berdiri sendiri, tidak lagi dilindungi dari segala macam polusi rohaniah dan kebudayaan.”

Satu-satunya yang dapat diandalkan ialah kemampuan kritisnya untuk memisahkan mana yang bermanfaat dan pantas untuk dinikmati dan mana yang harus dikesampingkan.

Oleh karena itulah penting sekali fungsi kritik dan kritikus sebagai lampu suar penunjuk jalan di tengah-tengah kegalauan banjir tontonan.

Pengakuan dan pujian diberikan atas ketekunannya dalam mengiringi pasang-surut perkembangan film lewati tulisan-tulisan ia persembahan dalam: “Profil Dunia Film Indonesia.

Tulisan-tulisan masa lalu terbaca saat “tepuk tangan” dan “siulan” diberikan untuk industri film mutakhir.

Mungkin, sebelum menutup mata, ia masih sempat mengamati meski tak mengharuskannya lagi sebagai kritikus film. Sayang ia tak sempat hadir ketika film “vina” tayang.

Film “box office” yang menyedot hapir enam juta penonton di pekan keenam hari tayangnya.

Sosok ini sudah pamit dengan meninggalkan warisan mengandung pengakuan dan peringatan.

Yang membuat kita mengerti perfilman masa ke masa. Begitu.

Salim lahir di desa bernama Amparita. Sebuah wilayah yang pada saat masa Hindia Belanda merupakan afdeling parepare. Kini  bagian dari Kabupaten Sidenreng Rappang. Ia merupakan putra sulung.

Menyelesaikan pendidikan dasar di kampung dan lanjut SMA di Solo dan terus ke Akademi Teater Nasional. Selanjutnya ia kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Drop out.

Pindah ke jurusan sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tamat. Da meraih master of art  dari Ohio University serta doktor di perguruan tinggi yang sama.

Karier jurnalistiknya dilewati di beberapa media.  Pernah jadi redaktur di koran Pelopor Baru, Harian Angkatan Bersenjata,  lantas Tempo.

Dalam kehidupannya yang panjang, Salim sering berpartisipasi dalam diskusi tentang film, sejarah, sosial dan politik Indonesia pada tingkat nasional maupun internasional.

Sebagai sahabat saya ingin menyampaikan catatan atas kepergiannya.

Catatan tentang kesadaran intelektualnya yang tinggi, terutama intelektual politik dan menurut saya bahwa beliau adalah maestro intelektual dalam politik militer.

Dalam diri Salim Said mekar kesadaran intelektual yang tinggi atas ketekunannya dalam bidangnya: politik militer dan politik secara luas.

Meskipun Salim Said dikenal sebagai penulis film dan menekuni dunia wartawan, tetapi kesadaran intelektualnya dalam bidang politik militer lebih bergelora.

Ketika intensitasnya berkurang di perfilman ia ikut arus intelektual kekinian. Ia menekuni politik militer seperti film. Detil dan mendalam.

Itu didapat dari gabungan atau blending antara riset kualitatif mendalam dengan wawancara investigatif. Itu ciri khas yang menjadi gaya dan kerja di majalah Tempo.

Kesadaran politiknya yang sangat kuat, terutama kesadaran nasionalismenya. Seluruh analisanya terhadap politik negeri ini meletakkan posisi yang jelas ideologi yang berkembang sejak era sebelumnya: kelompok kiri, nasionalis dan Islam.

Di hari-hari akhir kehidupannya  Salim Said kecewa dengan pensiun dubes yang sangat kecil. Ia mengeluhkannya sebagai tidak manusiawi, berada di bawah gaji buruh kasar.

Akhirnya saya mengakhiri tulisan ini untuk menghormati  maestro intelektual, yang saya pandang paling hebat, paling detail dan paling mendalam.[]

* Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”