Dokter Gratis

Oleh Darmansyah

SISTEM baru itu sudah ditaklimatkan. Enam Mei lalu. Dalam sebuah fiesta sederhana di Rumah Sakit Harapan Kita.



Saya berharap gak ada yang menghambat sistem baru itu. Sistem yang mengubah pendidikan dokter spesialis. Yang menjadikannya hospital base sebagai pengganti university base.

Acara di Harapan Kita itu punya makna dan sejarah. Itulah salah satu rumah sakit yang ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan spesialis anak. Tahap pertama ini enam rumah sakit dulu.

Saya sendiri tahu sistem itu mengalami perubahaan dari ponakan yang menjalani studi lanjut spesialis syaraf.

Ketika menjalani pendidikan lanjut sang ponakan masih terikat dengan sistem lama. Sistem university base. Yang pelik dan mahal.

Peliknya memerlukan rekomendasi yang berlapis-lapis. Memerlukan campur tangan pihak lain. Termasuk secuil campur tangan saya lewat nampang nama.

Peliknya lagi, ia diharuskan menjalani pendidikan di dua rumah sakit berbeda. Di Rumah Sakit Karyadi Semarang. Untuk kemudian munggah ke Rumah Sakit Pelni di Petamburan Jakarta.

Masih ada tambahan lain. Wajib bayar uang kuliah plus menjadi kuda beban dari tenaga pengajar. Kuda beban yang Anda sudah tahu. Disalah-salahkan. Dipaksa kerja siang malam.

“Seperti kerja rodi. Kerja koeli kontrak,” tutur seorang dokter sangat spesialis di sebuah klinik milik teman saya.

Ringkas ceritanya untuk jadi spesialis harus siap dengan derita spesial.

“Dan akhirnya selesai juga….,” kata ponakan di hari wisudanya pekan lalu sembari menengadahkan  tangan ke atas dan menyudahi dengan kata:” amin…”

Sistem baru spesialis kedokteran itu setahu saya tidak diatur oleh presiden. Tidak ada perpres ataupun keppres. Cukup dengan peraturan menteri kesehatan.

Sebenarnya, kata ponakan, tidak banyak yang berubah dari sistem pendidikan spesialis itu.

Hanya kurikulum. Toh selama ini para calon spesialis juga belajar di rumah sakit.

Dokter spesialis kan profesi. Organisasi profesilah yang mengeluarkan pengakuannya.

Yang jelas berubah: untuk menjalani pendidikan spesialis tidak perlu bayar uang kuliah lagi. Yang bayarannya sangat mahal. Selain itu, selama sekolah mendapat gaji.

Lantas ada pertanyaan. Siapa yang menggaji? Dari peraturan menteri kesehatan itu yang menggaji ya… rumah sakit-rumah sakit.

Dengan penegasan seperti itu berarti siapa pun yang menghambat akan berhadapan dengan pemerintah.

Yang dianggap berpotensi untuk menghambat adalah kelompok yang ingin memonopoli “supply side.”

Selama ini jumlah dokter spesialis selalu jauh di bawah “demand side”. Sisi kebutuhan.  Maka harga dokter spesialis selalu amat tinggi dan mahal bagi masyarakat.

Saya tak tahu apakah calon spesialis sudah paham rincian aturan baru ini. “Masih menunggu,” kata seorang anak teman yang sedang menjalani kuliah spesialis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.

Ia masih di semester satu. Sudah telanjur membayar uang kuliah. Gak tahu apakah untuk semester berikutnya sudah boleh tidak membayar lagi.

Selama ini uang kuliah spesialis itu dibayarkan tiap semester. Bayar di depan. Bayarnya ke universitas.

Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan terbaru pendidikan dokter spesialis gratis. Bahkan mahasiswanya dibayar. Seperti di negara maju. Bagi saya ini sejarah baru.

Secara menyeluruh pendidikan dokter spesialis tidak lagi dilakukan di fakultas kedokteran. Pendidikan itu dilakukan di rumah sakit.

Perubahaan pendidikan dokter spesialis itu begitu penting. Debat publiknya sudah berlangsung lebih satu tahun. Pelontar gagasannya siapa lagi: menteri kesehatan yang bukan dokter.

Namanya: Budi Gunawan Sadikin.

Gagasan ini menuai pro-kontra sudah sangat panjang. Saya termasuk dari mereka yang ikut  menunggu: saat ia diputuskan sembari bertanya apakah ide baru ini bisa lahir kalau menteri kesehatannya seorang dokter?

Seorang teman yang baru saja pensiun dari rumah sakit pemerintah ketika saya tanyai lewat handphone langsung menjawab: tidak.

Ia memuji menteri kesehatan. Seorang menteri kesehatan, katanya, punya pekerjaan yang luar biasa sibuk. Repot. Bisa menjalankan kewajiban yang ada saja sudah hebat.

Kehebatan Menteri Kesehatan Budi Gunawan bukan hoaks. Background pendidikannya sarjana teknik tapi berpetualang di dunia di luar disiplin ilmunya.

Tapi ia menggapai puncak-puncak karier justru di luar disiplin ilmunya. Di luar yang dicita-citakannya.

Pernah menjadi banker. Bahkan sempat memimpin bank terbesar di republik ini, lalu menakhodai raksasa perusahaan tambang, dan kemudian menjadi menteri. Menteri Kesehatan.

Ia pernah melewati masa paling sulit saat negeri ini dan dunia menghadapi tantangan yang beratnya tak alang kepalang. Dihentak pandemi.

Ia duduk di kursi panas. Yang ia joke-kan dalam komentar: “tiga bulan sebagai menteri kesehatan rasanya seperti tiga puluh tahun menjadi chief eksekutif organisasi.”

Ternyata, sebagai lulusan Institut Tekhnologi Bandung, sekaligus orang dari luar dunia kesehatan ia  bisa melihat pengelolaan kesehatan di negeri ini jauh lebih jernih dan pelan-pelan menemukan jalan keluarnya.

Ia tak perlu tunduk pada tekanan organisasi profesi kedokteran yang semenjak dulu sangat berkuasa.

Usai mengubah aturan lama itu sang menteri sepertinya sudah jauh lebih tenang dan lega. Ia sudah lebih leluasa mengumbar tawa, dan menikmati lontaran kata-kata jenaka.

Seperti yang saya kutip dari wawancaranya dengan sebuah media mainstream, ia sudah punya begitu banyak rencana untuk dilaksanakan. Babak-babak baru reformasi kesehatan di negeri ini.

Perubahan dari ujung ke ujung di semua lini pelayanan, pendidikan, dan birokrasi kesehatan di negeri ini.

Tunggu saja.

Mungkin saja bisa. Sebab banyak juga dokter yang mau keluar dari pikiran kotak. Bahkan banyak dokter yang sukses sebagai kepala daerah. Atau juga di bidang bisnis.

Akan sukseskah program baru pendidikan dokter spesialis dialihkan ke rumah sakit ini?

Seorang teman saya pengajar di fakultas kedokteran langsung menjawab: “Belum tentu.”

Sistem pendidikan bukan satu-satunya yang menentukan, ”tantang seorang teman lama yang guru besar dan juga dokter ketika saya minta pendapatnya.

Dia bisa menerima kebijakan baru itu. Setidaknya tidak menentang. Tapi dia masih ingin melihat langkah-langkah lanjutan dari kebijakan ini.

“Menyalin sistem di negara maju saja belum tentu berhasil,” ujarnya.

“Ada contoh. Sebuah negara dengan penduduk yang begitu besar punya sistem pendidikan dokter yang berbeda lagi,” katanya.

Menurutnya, rakyat akan mengukur keberhasilan program baru  ini dari dua sudut: “apakah biaya berobat bisa turun dan apakah jumlah dokter spesialis meningkat tinggi.”

Dua alasan itulah yang selama ini menjadi akar lahirnya kebijakan baru itu: “biaya berobat mahal karena untuk menjadi seorang dokter juga mahal.”

Waktu sekolah menjadi spesialis, seorang dokter kena tombak trisula: “kehilangan penghasilan, harus membayar biaya pendidikan, dan menjadi tumpuan tugas-tugas di tempat sekolahnya.”

Tempat sekolah itu rumah sakit tapi yang menguji dan mengeluarkan ijazah adalah fakultas kedokteran.

Tentu menkes juga tahu penyebab mahal yang lain. Ia sendiri sering mengungkapkan: “adanya hubungan khusus antara pabrik obat dan dokter.”

Setelah kebijakan baru, sekolah spesialis tidak perlu membayar. Juga tidak lagi kehilangan penghasilan. Bahkan dapat bayaran.

Semua itu saya hakkulyakin belum bisa menghilangkan hubungan khusus antara dokter dan perusahaan obat.

Hubungan khusus itu sudah begitu lama. Sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Alasan pendidikan mahal memang sudah tidak akan ada. Tapi alasan baru tidak akan kurang jumlahnya.

Terima kasih, Pak Menkes…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”