Oleh: Darmansyah
DUA hari setelah meng”up” esai pendek tentang posisi amannya di mega korupsi kasus pt timah, minggu kamarin, pas kumandang azan maghrib saya menerima kiriman naskah dalam kemasan pdf via aplikasi whatsapp.
Yang kirim dia. Si posisi aman itu. Yang namanya Anda bisa langsung tahu kalau baca tulisan saya kemarin-kemarinnya dan hari ini. Dari judul dan gambar masternya bisa langsung jreng….
Saya senang…. Senangnya pakai kuadrat. Kuadrat pangkat dua.
Saya sengaja menyimbolkan rasa senang itu di pangkat kuadrat dua untuk menggambarkan suasana hati yang dalam bahasa gaulnya ada di posisi “good mood.”
“Good mood” yang harfiahnya suasana hati seseorang sedang dalam keadaan baik. Seseorang yang berada dalam kondisi “good mood” tampak dari raut wajah yang berseri-seri dan penuh senyum.
Sayangnya raut wajah saya cuma bisa dinikmati oleh sang gandengan.
“Good mood” sendiri itu menenggelamkan gerutuan saya karena naskah pdf yang dikirim sang posisi aman itu ngadat ketika saya klik usai isya.
Ngadatnya karena handphone milik saya jadul. Bukan tipe “smartphone” huawei mutakhir..
Kondisi ngadat itu saya tahu dari baris tulisan di garis hitam yang jreng.
Tulisan di baris hitam yang mengejek dengan kata-kata:” …anda tidak bisa…” dan selanjutnya…
Tulisan yang membuat saya melayang pada syair lagu “kisah kasih di sekolah” milik Chrisye.
“Kisah kasih di sekolah” tentang “malu aku malu..pada semut merah…yang berbaris di dinding….” Dan seterusnya, mungkin Anda paling hafal.”
Setelah klak..klik.. sembari menebar gerutuan sang pdf tetap ngadat. Bete. Ribet. Khas kakek tujuh puluh pertengahan. Keluar umpat yang gak jelas sasarannya.
Lantas anak saya menyarankan untuk “kembali ke laptop.” Artinya buka saja di laptop.
Saran itu mengingatkan saya pada sebuah jargon lama dari komedian yang saya lupa namanya…. Dan kalau Anda ingat tolong sharing, Saya ingin menulis ulang dengan mengisi titik-titik di atas.
”Kembali ke laptop…..”
Ya… di laptop pdf itu baru bisa blass.
Blass..nya .. membuat saya makin kukuh untuk mengatakan si pengirim pdf adalah sosok intelektual muslim sejati. Sosok “de atjeher” yang dulu pernah dipuji Willam “bill” Liddle.
Liddle yang pengamat politik dan guru besar dari Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat pernah berkiprah di penelitian ilmu-ilmu sosial di Aceh.
Yang saya dan si posisi aman pernah bersentuhan dengannya. Bersentuhan di posisi berbeda. Beda kutub. Bedanya ekstrem. Bisa dieja dari kosakata: “soft” and “hard.” Keras dan lunak. Posisi kutub yang silakan terka sendiri.
Yang mana soft dan mana pula hard lantas amini. Saya jurnalis dan si posisi aman peneliti yang kemudian bermutasi menjadi pemikir dan intelektual.
Kini “si posisi aman” sudah melebihi seorang akademisi atau ilmuwan. Cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kalau pun diperpanjang pujian ini bisa ditulis sebagai seorang yang memiliki kecerdasan tinggi, cendekiawan, totalitas pengertian terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Saya sendiri tak ingin memanjang-manjangkan pujian. Cukup mengutip tausiah ustaz di meunasah gampong usai shalat subuh: beradab. Bukankah adab itu berada di atas iman dan ilmu?
Kalau adab bermutasi ke profesi saya ia menjadi “kode etik.” Bukan kode yang diketik seperti diplesetkan oleh teman-teman di hari-hari ini.
Kembali ke pdf yang dikirim “si posisi aman” saya menemukan suara intelektual yang tercekat di dua konteks sosial politis Ketika suara kaum intelektual lainnya nyaris tak terdengar si posisi aman tetap lantang.
Lantang seperti judul naskah pdf yang ia kirim: “kemusykilan” pembangunan politik. Yang foot-note-nya: disampailan sebagai bahan konferensi internasional mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Aceh.
Naskah itu sendiri bertanggal Dua Juni bersamaan dengan tanggal kiriman pdf. Sedangkan seminar itu dimulai Lima Juni. Selang tiga hari. Yang menyebabkan saya menahan diri untuk mem”publish”nya.
Sebagai “old journalism” saya terpesona dengan mukadimah naskahnya. Mukadimah atau preambul atau apapun sebutannya bisa sama sebangun dengan “lead” di lingkungan jurnalistik.
Lead yang baik di kalangan jurnalis tidak hanya penting tapi juga harus menarik. Untuk penting saja para wartawan sudah “mumang” bagaimana kalau ditambah menarik.
“Mumang” penting itu berasal dari kemasan lead yang harus memberi gambaran utuh sebuah tulisan. Menariknya? Ini yang bikin mampus. Kosakatanya harus bak bak puisi, cerpen atawa novel. Bergerak. Ditambah narasi plus.
Saya berdecak dengan mukadimah naskah pdf “si posisi aman. ” Ia meminjam syair duet penulis lagi “aneuk yatim.” Rafly kande dan Medya Hus. Rafly Samadua dan Media Krueng Sabe. Dua-duanya “aceh ketelatan.”
Aceh yang sama dengan saya dan “si posisi aman.” Aceh yang gembor dan bukan dari klas “toke bangku.”
Dari syair yang dikutip kita di-blasss..kannya ke pembahasan tentang pembangunan politik.
Saya tak ingin membahasnya secara “depth” di tulisan ini. Gak akan termakan oleh pembaca. Sebab audiens saya bukan kelasnya orang-orang “si posisi aman.”
Kalau saya paksakan untuk masuk ke inti pembahasannya views yang saya dapatkan akan jeblok. Ujungnya google search akan hang. Paling ujungnya saya akan apes… Anda pasti sudah tahu apesnya.
Tanpa pembahasan materi “si posisi aman” di naskah pdf itu saya sudah puas. Ia bisa mendudukkan representasi civil society di posisi hari-hari ini.
“Si posisi aman” bagi saya adalah bagaikan embun di musim kering ketika daya kritis terhadap kekuasaan raib. Ketika sebuah periode terulang. Akibat mobilisasi kalangan intelektual.
Kampus-kampus seperti tertidur pulas dengan impian menjadi universitas kelas dunia. Banyak alumni luar negeri tetapi gagal dalam melakukan perantauan intelektual.
Beragam teori sosial dipelajari tetapi tak tampak dari mereka yang mampu melakukan transformasi sosial.
Sebagai wartawan saya melihat sebuah realita: rakyat dijauhkan dari advokasi atas kenyataan hidup yang mereka hadapi.
Data, survei, media bisalah dikendalikan.
Dalam konfigurasi sosial politik itu “si posisi aman” membacanya dengan cermat.
Ia membuat dan mengikuti analisis tentang tokoh, peristiwa dan peta perpolitikan nasional melalui banyak wawancara, artikel dan opini atau kanal Menggelitik dan mengena.
Tidak ada yang sulit baginya. Saya tahu para elite masih berada dalam cengkeraman radar intelektualnya.
Beliau bisa detail memahami tokoh berikut kalkulasi politik yang mengikutinya.
Dalam pandangan saya “si posisi aman” masih memiliki nyali dalam mengartikulasikan kegelisahan intelektual, sekaligus membedah karakter tokoh dengan begitu apik.
Saya senang ia rajin datang ke banyak komunitas muda, ke kampus dan sebagainya … dan sebagainya. Membagi kegelisahan. Membagi pilihan jawaban kondisi sosial politik yang gak beres-beres amat ini.
Beragam tema ia kemas untuk didiskusikan. Seperti di hari-hari ini ketika tulisan saya “up” ia membawa kisah “aneuk yatim” ke kampus “tekad bulat.”
Kampus yang dulu ingin dipersembahkan untuk kemajuan Aceh. Aceh yang hari ini berada di posisi koma dan jadi pasien di ruang icu dengan infus bersilangan.
“Si posisi aman” yang sudah senior tetap merendah dan mau “ngrengkuh” yang muda adalah karakter yang sangat melekat padanya.
Semua terjadi tanpa jarak. Egaliter dan beliau terlihat menjaga kohesi sosial. Sungguh sebuah keberuntungan bagi negeri indatu. Negeri yang eleganitas anak aso lhoknya menjadi pertaruhan untuk sebuah prinsip.
Saya tahu dia yang kirim pdf seorang yang tetap tegak dengan prinsip dan akar intelektual. Menjaganya dalam bahasa yang rasional dan mudah dimengerti lantas menjadi karakter yang banyak disukai generasi di bawahnya.
Ia sendiri tak pernah gamang ketika makin langkanya intelektual yang mau dan mampu menempatkan diri sebagai jembatan peradaban antargenerasi.
Ia mampu bicara tentang persoalan sosial politik dalam dimensi normative maupun historis yang melibatkan isu-isu sosial budaya, ekonomi dan politik yang bersifat praksis.
Banyak karya tulisnya yang lahir karena intensitasnya yang intensif dengan masyarakat. Realita yang ia dapatkan dari masyarakat itulah yang ia tulis setelah diendapkannya.
Lantas, di ujung tulisan ini saya kembali dingatkan tentang apa dan siapa yang disebut intelektual oleh “si posisi aman.”
“Si posisi aman” itu yang nama katepenya Fachry Ali…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”