Tutor Sepeda

Oleh Darmansyah

SUDAH tiga pekan ini saya punya kesibukan baru. Dua kali sepekan. Rutin.



Rutinitas mengajar. Mengajar menulis. Yang dalam bahasa kerennya pekerjaan saya yang rutin itu dinamakan dengan tutorial.

Tutorial itu  adalah salah satu metode pembelajaran di mana posisi pengajar hanya memberikan bantuan atau bimbingan yang berkaitan dengan materi ajar.

Sifatnya bisa individual maupun kelompok. Perorangan atau ramai-ramai. Intinya membantu kelancaran proses belajar.

Tutorial yang saya menjadi tutornya berada di sebuah komunitas. Semacam perkumpulan. Lokasinya di Tebet Barat. Kawasan Sahardjo. Persisnya di punggung rumah sakit Brawijaya, Jakarta Selatan.

Jarak ke tempat kesibukan baru itu sepelemparan galah panjang dari rumah tinggal saya.

Istilah galah panjang sering dipergunakan sebagai kosokbali dari kosakata sepelemparan batu yang sering  menjadi hafalan jarak hastanya orang di kampung saya dulu..

Sepelemparan galah panjang itu beda dengan sepelemparan batu, Istilah ini sering dipakai pengendara ketika melewati jalan tol.

Jarak hasta sepelemparan galah panjang ini dipakai untuk menentukan jauh dekatnya antar-gerbang masuk dan exit tol. Pintu keluar yang pendek. Yang jaraknya sekitar tiga hingga lima kilometer.

Galah panjang perjalanan saya ke tempat kesibukan baru harus melewati banyak jalan melingkar begitu usai dari exit tol. Melewati fly over secara sambung menyambung.

Fly over yang biasanya digunakan untuk menghubungkan jalan tol dengan jalan raya atau jalan kecil di sekitarnya.

Nah kembali ke tutor…

Anda yang pernah menjadi tutor so pasti tahu beban kerjanya gak sulit. Hanya menyederhanakan pemahaman. Yang di komunitas saya tutornya hanya menyederhanakan pemaham menulis.

Banyak orang tidak tahu menulis itu sebenarnya tidak sulit.

Seperti di hari pertama saya mengajar. Saya cuma melemparkan pertanyaan-pertanyaan pendek. Pertanyaan sederhana.

Seperti ini. “Apa ada di antara anda-anda yang tidak bisa naik sepeda?”

Serentak peserta menjawab: “tidak!”

Saya lanjut ke pertanyaan berikut:  “apakah ada yang pernah ikut kursus cara-cara naik sepeda?”

Sama seperti jawaban sebelumnya. Serentak menjawab lagi: “tidak!”

Suasana gaduh. Ya…. sudah.

Yang penting semua saling mengingat  bagaimana awalnya mereka bisa naik sepeda. Pasti mencoba dan mencoba. Lalu jatuh. Coba lagi. Jatuh lagi. Coba lagi…… Lalu bisa.

Maaf… Pertanyaan ini sebenarnya bukan milik saya. Saya hanya meminjamnya sembari mengulangnya di hari itu. Hari pertama saya bertugas sebagai tutor.

Saya buka kartu aja. Pertanyaan itu milik senior saya. Dulu sekali. Ketika saya baru bisa naik sepeda, eee menulis. Sudah setengah abad silam. Mengendap di memori saya sampai hari ini dan mungkin besok…

Saya hanya mengulangnya. Sudah berulang-ulang.. Di banyak tempat dan kesempatan.

Yang saya ingat, sang senior tidak hanya menanyakan ke saya tentang naik sepeda itu. Tapi juga menuliskannya secara orkestrasi di sebuah rubrik yang sangat terkenal. Catatan pinggir.

Rubrik esai yang Anda tahu penulisnya. Penulis hebat yang alur permainan kosakatanya mengaduk-aduk emosi lewat narasi bak puisi atau pun cerpen.

Bagi saya metode begini sangat-sangat jadul. Metode menulis yang gak pakai kurikulum. Atau paket-memaket. Semuanya bisa cespleng.

Begitulah menulis.

Harus dicoba. Jelek tidak apa-apa. Anggap saja itu lagi jatuh waktu latihan naik sepeda.

Setelah khatam naik sepede… eee menulis… maka saya lanjut dengan topik: musuh-musuh menulis. Banyak musuhnya. Bisa terus bertambah. Bisa lima, sepuluh, lima belas dan…

Musuh pertama, semua tutor sepakat: terlalu banyak yang ingin ditulis. Semua hal mau dimasukkan dalam tulisan. Akhirnya tidak mulai-mulai. Tulisan pun gak pernah jadi. Ngadat.

Musuh berikutnya, seperti yang ada di rekaman memori saya sejak berpuluh tahun hingga ia karatan adalah, ingin menulis selengkap-lengkapnya. Hasilnya ruwet. Sulit,,,

Musuh lain : dikira ”penting” itu pasti menarik. Maka tulisan menjadi sangat berat dan kaku. Bisa juga kepentok dengan: dikira ”menarik” itu penting.

Hasilnya? Anda dan Anda pernah mau untuk mencobanya. Jadi tulisan tidak berbobot.

Nah… yang terakhir menjadi musuh bersama. Pidato pejabat yang panjang dan isinya tidak ada yang layak untuk dikutip sebagai bahan tulisan.

Saya tahu di antara peserta hari itu adalah staf yang pekerjaannya menyiapkan teks pidato pimpinan. Entahlah…..

Seperti Anda tahu khatam menulis di zaman sekarang itu jauh lebih mudah ketimbang zaman “nayarana” saya dulu di dekade tujuh puluhan.

Dulu itu untuk bisa menulis yang utama harus punya mesin tik, setidaknya pinjam. Lalu mesti beli kertas, setidaknya beli eceran.

Harus pula beli tipp-ex, kertas karbon biar ada arsipnya, Lantas beli amplop dan perangko — yang diperlukan untuk mengirimkan tulisan ke koran atau majalah.

Zaman sekarang sangat praktis. Tak perlu laptop, dengan ponsel saja — lewat aplikasi microsoft word — Anda bisa menulis artikel atau fiksi tanpa membutuhkan kertas, tipp-ex dan kertas karbon.

Amplop dan perangko juga tak diperlukan lagi, karena pengiriman ke media cukup lewat e-mail.

“Menulis itu mestinya tidak sulit. Yang sulit itu memulainya,” kata seorang peserta memberi kesimpulan setelah mendapat kuncinya menulis. Dan memangnya begitu.

Kesulitan “memulainya” itu bukan hanya sulit untuk menggunakan waktu luang, melainkan kesulitan mengawali tulisan.

Awal tulisan yang salah akan menyulitkan untuk mengembangkan tulisan.

Kalau dipaksakan malah jadi tulisan yang tidak enak dibaca — padahal pesan yang hendak disampaikan sangat baik dan berbobot.

Sebenarnya tak ada formula yang baku untuk bisa menulis dengan baik. Tetapi ada resep yang mujarab.

Resep itu, mulai saja menulis. Kalau salah ya diperbaiki, Kalau gagal ya dicoba lagi dan coba lagi. Pantang menyerah.

Sesederhana itu?

Kalau saya ditanya akan menjawab: iya. Kecuali Anda punya trik lain. Trik yang melelahkan, mengacaukan dan merusak kosentrasi dalam memformulasikan gagasan.

Dengan sesederhana itu saya ingin mengamankan motorik peserta agar mau bekerja dan membuang waktu, menunggu datangnya jumpalitan ide.

Memang banyak yang mengatakan mencari ide untuk menulis bisa datang dengan berbagai cara.

Misalnya dengan duduk berlama-lama di kloset sambil merokok. Pergi ke tempat yang hening dan sejuk untuk merenung, atau nongkrong di tepi jalan berjam-jam.

Bagi saya menulis itu gampang. Segampang bercakap-cakap dengan sembarang orang di sembarang tempat. Asal ada kemauan untuk melakukannya.

Duduk  saja di depan layar komputer, seperti yang saya kerjakan di hari ini, maka rangkaian kalimat mengalir seperti air pegunungan menyusuri sungai hingga ke hilir.

Kalimat-kalimat enak dibaca bisa berdatangan. Seperti makanan. Renyah dan gurih untuk disantap. Ibarat minuman, menjadi penyegar ketika dibutuhkan.

Ah saya benar-benar heran mereka yang tidak punya ide untuk menulis. Padahal mereka sangat mampu hidup dalam budaya lisan. Kenapa belum sampai pada budaya tulisan.

Maaf…. sebelum membosankan, saya sudahi saja tulisan ini….[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”