Pulut “Bak Budik”

SAYA terpaksa menghubunginya. Ia seorang teman. Pernah menjadi sesuatu di eselonisasi. Ia khatam kuliner  tradisional. Dari pucuk hingga ke akarnya.

Tinggalnya jauh. Di ceruk donya. Sering saya ketawakan sebagai nanggroe pucok krueng. Negeri hulu sungai. Negeri yang sering digambarkan sebagai daerah terisolir.

Pilihannya tinggal di pucok krueng sudah final. Usai pensiun sebagai aparat sipil negara. Usai pengabdian yang panjang. Alasannya sederhana. Ingin terbebas dari penyakit “buduk” dunia.

Penyakit yang diartikannya sendiri sebagai jenis gangguan kejiwaan. Depresi, kecemesan hingga ke pskosis. Bahkan bisa menjadi obsesif kompulsif.

Ia mengklaim banyak teman-temannya sesama pejabat yang mengalaminya di usia pensiun. “Mereka terjebak ke masa ketika jadi sesuatu….,” katanya.

Sesuatu yang saya mafhum dan Anda lebih maklum. Pejabat negara dengan kemudahan akses. Bahkan untuk akses korupsi…

Si teman yang saya hubungi itu menyapa saya dengan satu kata: “si paleh.”  Sapaan sejak dulu. Sejak masih mengayuh sepeda merk “valuas” ke sebuah asrama di ujung tahun enampuluhan.

“Paleh” yang ia ucapkan dalam kosakata responsive. Sebagai gurauan terhadap perilaku saya yang sering bla..blaa.. sekenanya. Sebagai “kekurang-ajaran.” Sapaan ini berlanjut sampai tadi pagi…

Saya tak ingin membahas lanjutan dari kosakata “paleh”  ini. Biarlah menjadi milik kami untuk ber-hahaha…

Saya sendiri lebih dari “paleh” ketika membalas sapaannya. Memanggilnya dengan “si budik.”

Panggilan ini ada ashabul nujubnya.

Setiap kali kami melepas canda ketika saling berbincang ia spontan mengeluarkan ocehan bak orang latah: “bak budik kee.” Ungkapan yang biasa dipakai sebagai ketakjuban kepada apa saja.

Ya … sudah.  Alinea-alinea ini hanya pembuka. Sebagai intermezzo. Intermezzo yang artinya bahasan ringan yang berada di luar sebuah konteks. Anggap saja mainan kata-kata.

Teman dengan sapaan “si budik” itu bukan orang sembarangan. Ia sudah bermutasi dari aparat sipil ke budayawan. Terkenal dan dikenal. Dari dulunya saya memujinya sebagai kamus berjalan.

Kamus berjalan untuk untuk banyak sisi. Salah satunya sisi penganan tradisionil. Terutama makanan khas.

Cobalah congkel dahan memorinya tentang kuah “belangong.” “Si budik” bisa ber-bla..bla..bla.. hingga ke akar-akarnya. Tidak hanya sekadar isian dan “mangat”nya.

Hari saya menghubunginya di pagi kemarin ada persoalan serius yang harus saya jawab. Saya dinilai dungu oleh tokoh seperti Rocky Gerung bila tak mampu menjelaskannya.

Saya sudah membuka literatur. Sudah bertanya ke seorang guru besar berdasar literatur tersebut.

Tapi jawabannya tak memuaskan.  Malah makin membuat saya stress. Padahal saya ingin membuat otak lebih rileks.

Saya punya keyakinan bahwa si “budik” ini lebih bermutu dalam memberi jawaban. Ya, ternyata jawaban cerdasnya bisa menemukan literatur lebih hebat dari si profesor.

Literatur itu tentang “pulut panggang.” Pulut panggang penganan yang terbuat dari ketan putih yang di dalamnya diberi isian ikan lalu dibakar di atas bara.

Inilah lanjutan penjelasan “si budik:”

Pulut panggang merupakan jenis kue basah mirip lemper. Ketan terlebih dahulu dimasak dengan cara dikukus terlebih dahulu dengan daun pandan sampai menjadi nasi aron.

Setelah itu dicampur dengan rebusan santan hingga merata dan dimasak sampai kering.

Campuran ketan dan santan kembali dikukus hingga matang. Setelah matang ini baru isian bisa dimasukkan pada ketan dengan bungkus daun rap.

Isiannya bisa apa saja. Terserah.

Kata pulut sendiri  dalam dalam kamus memang jarang digunakan di percakapan sehari-hari.Sebagai penganan pulut panggang juga menjadi salah satu kue khas  di banyak tempat.

“Si budik” menyebutnya sebagai kue “nusantara.”  Penamaannya ini  jauh lebih duluan hadir dibanding nusantara lain.

Seperti Islam Nusantara yang diklaim sebagai milik wali oleh sebuah organisasi Islam terbesar. Atau nusantaranya presiden titik-titik yang kini ramai dan menjadi viral setelah kepala otoritas dan wakilnya mundur.

“Saya menyebutnya kue nusantara karena penganan ini juga dikenal di malaya,” katanya, Dulunya, ada jenis pulut yang disebut lepa dengan isian ikan.

Lantas, bagaimana di tanah indatu? Nah. kalau Anda ke tanah rencong pulut panggang bisa menjadi pilihan berwisata kuliner. Pulut panggang di sana disajikan sebagai menu di warung-warung kopi.

Meski namanya sama, tapi rasanya berbeda dengan pulut panggang “nusantara.”

Di sana di setiap sub etnisnya  memiliki ciri khas sendiri dari segi rasan. Bukan karena isiannya tapi memang rasanya berbeda.

Misalkan, di Gayo Lues. Pulut panggang  di sana sedikit ada rasa pahit gosong karena dibakar, ditambah sedikit rasa manis gula aren atau sejenisnya.

Tapi, di dalamnya isian berbeda, bisa saja kelapa parut warna putih ataupun lainnya.

Kalau di Aceh Utara pulut panggang ini biasanya lebih original rasanya. Manis. Isiannya kelapa parut muda yang sudah difermentasi dengan gula aren.

Rasanya bukan main, apalagi dicicip dengan kopi sanger.

Ada juga yang menambah isiannya dengan durian, keju, coklat, daging, dan masih banyak lagi. Tapi rasanya tetap sama saja, manis, gurih, ada kres..kres..kresnya karena mengeras ketika  dibakar.

Sebenarnya, pulut ini tidak dibakar, melainkan di panggang diatas bara api, tapi namanya saja pulut panggang.

Pada umumnya, pulut psnggsng muncul di acara-acara adat. Seperti peusijuek blang, ataupun kenduri-kenduri  ringan terutama yang biasa diadakan oleh masyarakat di desa-desa.

Seiring berjalan waktu, pulut panggang ini sudah jarang tampak di perayaan-perayaan tertentu, karena sudah modernnya makanan kekinian.

Untuk menemukan makanan ini, kalau saya mudik, pilihan menikmati pulut panggang  saya di warung kopi belokan sebelum Lambaro. Rasanya sangat otentik sekali.

Khusus di kawasan Aceh Besar penganan ini dinamai pulot. Sama seperti orang Pidie dan Pidie Jaya. Penganan yang terbuat dari beras ketan, dibalut daun pisang dan dibakar ini juga menyebutnya pulot.

Tapi, pulot rayeuk dan pulot pidie berbeda rasanya. Kalau rayeuk  rasanya rada-rada lemak, tapi lebih terasa manis, karena memakai pemanis gula.

Sedangkan pulot pidie lebih lemak dan tidak terasa manis, karena tidak menggunakan gula pemanisnya.

Menurut “si budik,” cara membuat pulot agar lebih lemak, santan yg digunakan harus santan u riek. Santan kelapa yang sudah kering kulitnya.

Bisa juga dengan santan u bungong jeumpa. Santan yang kulit kelapanya hampir kering.

Kedua jenis kelapa itu, saat diperas santannya harus kental. Disenut dengan pati santan.

“Gak boleh dengan santan encer hai  ‘paleh,’ ujar “si budik dari ujung telepon sembari ngakak. Bila santan encer pulot yang dibuatnya akan terasa hambar, tidak lemak.

Bila pulot itu diadon dengan santan u riek yang kental, selain akan terasa lemak, sekaligus pulot itu akan terasa rada-rada manisnya tersendiri, karena pengaruh adonan santan yang kental tadi.

Sebenarnya pulut panggang itu merupakan tradisional masyarakat melayu. Di Malaysia pulut panggang juga sangat terkenal dan tiap negara bagian akan beda rasa.

Di negeri bahagian utaranya pulut panggang lebih dikenali sebagai pulut udang. Selain itu ada juga pulut lepa  makanan tradisional di Terengganu dan Kelantan.

Lazimnya di negeri-negeri luar  Terengganu, inti pulutnya menggunakan udang bercampur dengan isi kelapa.

Makanan ini disajikan  sebagai kue pilihan di sembarang kesempatan. Bisa pagi, tengah hari, petang ataupun malam.

Di ujung sapa menyapa dengan “si budik” minta saya untuk menulis lebih banyak penganan nanggroe sebagai jawaban dari peradaban yang mulai menipis di hari-hari ini.

Jawaban tentang degradasinya adab. Terima kasih “bak budik.”

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Penulis: DarmansyahEditor: Nasir Nurdin