Oleh Darmansyah
TADI pagi seseorang menelepon. Lanjut ke bla-bla-bla… dalam durasi panjang. Biasa. Saya gak ingin menulis namanya. Menjaga adab. Untuk selanjutnya saya sebut saja namanya si junior.
Di ujung bla-bla-bla teleponan itu si junior mengeluarkan jurus menekuknya. Menawarkan “kerjaan” Ia tahu saya pengangguran yang tak pernah mencantumkan kata “pensiunan” di curriculum vitae.
Tahu juga idiom seorang jurnalis itu “a never die.” Tak pernah mati. Bahkan ia tahu di curriculum vitae yang sering dilafadzkan dengan “ce-ve” saya tak mau mencantum kata: pensiunan.
Anda pasti tahu apa itu curriculum vitae. Riwayat hidup. Dokumen mengenai identitas pribadi, portofolio karier, prestasi akademik atau nonakademik, serta data dan informasi yang diperlukan.
Karena tahu saya “…never die” lantas ia mengajak saya menjadi “advisor” di sebuah media center. Media center seorang calon di pemilihan kepala daerah.
“Calon potensial,” celutuknya. Yang lanjut menggiring sembari diselingi tawa cekikan hahihuheho…. Ramai. Di ujungnya permintaan itu saya ketawakan khas style “advisor?”
Anda mungkin lebih khatam ababun nuzulnya pekerjaan seorang advisor.” Gak beda dengan penasihat yang tugasnya membangun hubungan baik plus bisa memberi saran, masukan, dan nasihat. … atau apalah…
Untuk tahu dan jelasnya apa itu kosakata media center tanyakan saja ke si junior. Dia pasti lempang memberi jawaban.
Seperti jawaban yang saya pinjam darinya: pusat atau sarana pengelola komunikasi dan informasi.
Yang hari-hari ini basisnya di internet. Menghimpun, mengolah, menyediakan, dan menyeberluaskan kepada banyak orang. Gak jauh amat dengan kerjaan saya dulu. Tetanggaan.dekatlah.
Selain gak ingin menyebut nama si junior saya juga tak mau menyebut nama sang calon kepala daerah.
Takut dituding ghibah. Soalnya permintaan itu lewat sapa menyapa telepon. Tidak tulis menulis. Sulit dicari jejak digitalnya. Membuktikan benar atau tidak isi teleponan itu harus berdasarkan fakta.
Untuk itu saya minta ke yang baca jangan anggap serius ulasan ini.
Tak ada yang salah dari permintaan si junior. Soal pemilihan kepala daerah serentak memang sedang hangat Di mana-mana. Di banyak daerah. Provinsi, kabupaten dan kota.
Saya tahu alasan si junior mengirim pesan penawaran itu. Pesan yang dibungkus untuk mengendalikan informasi bagi si calon.
Ia juga tahu asupan informasi berlebih di musim pemilihan kepala daerah serentak seperti sekarang ini, mengalami obesitas.
Obesitas karena arusnya di mainstream media, media sosial maupun dari situs abal-abal yang tidak menerapkan standar jurnalisme. Saya sering mengatakan fenomena harus dilawan lewat “operasi pengendalian opini publik.”
Ada semacam pemintalan fakta maupun isu yang dibentuk menjadi beberapa versi fakta atau isu baru untuk mengendalikan opini publik/pemilih.
Perlu kita ketahui bahwa opini publik itu sendiri merupakan pendapat dan respons publik atas suatu peristiwa atau pandangan yang diinterpretasikan.
Saya tahu, media itu salah satu aktor politik. Sering dituding memihak dan tidak netral, terutama menyoal operasi jurnalisme pemilihan kepala daerah yang dikendalikan.
Media sering dituduh bermain serong dengan para kandidat dalam urusan citra diri dan pemasaran politik.Di setiap kali hajatan pemilihan kepala daerah, media memang memainkan peran signifikan.
Di sinilah letak irisan antara “tudingan serong dan aktivitas jurnalisme” tampak benar adanya.
Rasanya, berdasarkan teori hierarki pengaruh sulit untuk menepis tudingan publik bahwa media memang berpihak dan tidak netral. Media bermain.
Tapi tidak selamanya. Ada satu perbedaan tipis yang dilupakan banyak orang dalam wacana ini, antara cover both side dan netralitas.
Untuk itu jangan memukul rata pemaknaannya dalam operasi jurnalisme. Padahal itu berbeda.
Cover both side erat kaitannya dengan komposisi suatu berita yang disajikan secara berimbang. Tidak mengabaikan fakta dan relevan.
Sedangkan netralitas, sudah berbicara konteks pesan, sublimasi pesan, analisis teks atau narasi, Bukan percakapan warung kopi. Yang ramainya gak ketulungan.
Gak subuh, pagi, dhuha, siang, sore bahkan hingga begadang malam. Obrolan pilkada di warkop bisa menyaingi kenikmatan sanger robusta solong.
Gila!! Saat ini memang banyak ditemukan “orang gila.” Orang yang menghamburkan uang dan tenaga untuk bisa bersaing masuk ke pencalonan kepala daerah.
Mereka sedang bergerlya mendapatkan rekomendasi partai. Menanggalkan akal sehat hanya untuk memperoleh status calon.
Saya menganggap itu bukan kerjaan mustahil. Apapun bisa terjadi dalam dunia politik yang gila, termasuk munculnya “orang gila.”
Anggapan “orang gila” ini saya telusuri dari dunia maya sekaligus membaca di media mainstream.
Ehh, maaf saya baru sadar jika hajatan pemilihan kepada daerah dalam hitungan bulan. Menyedihkan!
Perlu diketahui, dalam sistem politik negeri ini kerjaan macam ini merupakan hal umum. Rangkaian angkanya sebelas dua belas dengan pemilihan presiden.
Kerjaan yang harus disertai dengan modal dana besar. Dana besar yang gak menjamin pasti menang.
Bagaimana dengan nama besar?
Masih belum tentu juga. Memang banyak yang mengira perolehan suara calon gubernur, walikota, atau bupati di daerah sangat berbanding lurus dengan banyaknya kucuran dana yang digelontorkan.
Banyak dana berarti banyak suara. Banyak uang berarti semakin besar peluang kemungkinan untuk menang.
Apakah benar demikian? Sayangnya tidak juga.
Banyak contoh calon kepala daerah yang merosot walau memiliki kekayaan berlimpah ruah. Kalau Anda mau bukti bisa googling. Cari tahu siapa saja orangnya.
Dana besar memang perlu. Ingat, ia bukanlah faktor penentu. Bila uang bukanlah penentu garansi menang, lalu apa? Apakah figur dan prestasi calonnya?
Endak juga.
Memang ada calon yang sudah tenar, beken, berprestasi, dan dikenal sejak lama, tapi jumlahnya tidak seberapa. Kebanyakan dari calon kepala daerah itu, kita baru tahu pas hari-hari menjelang pilkada.
Bener tho?
Gara-gara gambarnya ada di mana-mana, apalagi saat-saat kampanye dan menjelang hari pemilihan, justru baru kita tahu “oohhhhhh ini to calon calonnya.”
Ketika dana besar dan figur calon tidak bisa dijadikan garansi untuk memenangkan pertarungan, tapi ada satu yang bisa, yaitu tim sukses. Namanya saja pakai kata sukses kerjaannya gila bukan main.
Sekelompok orang yang tujuannya memenangkan salah satu paslon ini, perannya sangat krusial dalam pemilihan kepala daerah.
Bahkan, tim sukses ditengarai harus mampu dan kompeten serta memahami segala situasi, kultur, budaya, kebiasaan, dan seluruh kegiatan masyarakat.
Harus paham juga cara mengendalikan organisasi massa dan bahkan harus mampunya menguasai empat elemen dasar, yaitu air, api, udara, dan tanah. Hahaha.
Secara tidak langsung, faktanya tim sukses ini adalah cerminan dari calon yang diusung. Ketika tim sukses memiliki kepribadian yang baik, ramah, serta dekat dengan masyarakat, ringan tangan saat dimintai bantuan.
Para pemilih, apalagi yang berada di desa-desa, jarang sekali memandang atau memikirkan calon kepala daerah. Siapapun yang jadi nasib mereka tetap begitu-begitu saja.
Kalimat klasik yang kayaknya hampir semua masyarakat desa mengatakan begitu.Sebagian besar pemilih bukan memilih karena mendukung calon, atau menyukai program-programnya.
Mereka gak paham sama program-program tersebut, apalagi cuma terhitung beberapa hari saja masa kampanye, jelas gak diingat di benak masyarakat.
Maka dari itu, bagi calon yang mempunyai tim sukses semacam ini, siap-siap saja menerima pil pahit, sudah kalah, kesan di masyarakat juga jadi gak baik.
Endingnya… saya menolak tawaran “advisor” media center….[]
Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”