Ajal Koran

Oleh Darmansyah

SAYA tidak sedih. Apalagi menolaknya: surat kabar sudah di ujung ajal. Itu hasil penelitian.

Bahwa kepercayaan masyarakat kepada koran sudah tinggal persen di angka yang kecil dibanding online.

Online membuat media cetak runtuh satu per satu.

Sebelum-sebelumnya saya masih ngotot media cetak gak pernah mati. Asumsi saya sederhana: jurnalisme media cetak akan lebih baik dari jurnalisme online.

Dengan demikian media cetak bisa lebih dipercaya.

Tapi, kemarin siang saya dikirimi hasil penelitian oleh seorang teman wartawan senior. Hasil penelitian itu seperti menohok saya. Juga menohok teman yang mengirimnya.

Itulah penelitian yang dilakukan sebuah lembaga non-profit yang bekerja sama dengan banyak perguruan tinggi. Hailnya bikin saya terkaget-kaget.

Dari angka-angka penelitian itu yang menarik adalah: mengapa mereka tidak percaya pada koran.

Lima puluh persen plus mengatakan beritanya tidak bisa dipercaya. Koran itu juga dinilai partisan. Dan wartawannya kurang kompeten.

Ada juga kabar baiknya. Responden gak percaya pada berita medsos dan televisi. Ada tapinya, kepercayaan pada online terus meningkat.

Sebagai orang koran saya  sesak nafas ketika penelitian masuk ke pembahasan jurnalisme.

Jurnalisme koran ternyata dianggap tidak lebih baik dari online. Bahkan koran dianggap sama saja: sering menampilkan berita hanya dari satu sumber.

Selama ini di banyak pertemuan asumsi saya hanya media online yang menulis berita dari satu sumber.

Gak usah saya, kakek wartawan pun tahu: itu tidak baik. Tapi wartawan juga maklum: kan online media yang mengutamakan upload.

Masalah sumber berita nonsenkan sedangkan uploadnya harus diprioritaskan. Hitungannya dalam detik.

Penelitian itu pun menemukan berita koran juga sudah dianggap seperti itu. Cilaka! “Wabah online” ternyata sudah menulari media cetak.

Saya nambah mikir. Kalau hasil penelitian itu valid mau apa lagi: koran benar-benar kehabisan harapan.

Melewati masa panjang sebagai jurnalis koran lama-lama saya terpengaruh juga dengan pertanyaaan: media apa yang bisa dipercaya.

Apakah media cetak?

Seperti yang dikatakan sang teman pengirim pesan: “itu ternyata salah!” Hai ini, katanya,  persepsi masyarakat sudah menyamakan reputasi jurnalisme koran dengan online.

Sama rendahnya.

Kalau kenyataannya seperti itu maka bukan hanya koran yang akan mati. Juga jurnalisme itu sendiri.

“Apakah koran masih bisa hidup?” Entahlah. Dulu-dulunya jawaban saya monoton. Itu-itu saja. Tetap hidup. Sampai kapan pun.

Mulai pagi tadi saya mengubah jawaban. Tidak bisa hidup lagi. Kalau toh ada yang masih bisa hidup: itu sekadar hidup. Bukan hidup yang bisa membiayai lahirnya jurnalisme yang ideal.

Jangan lagi berharap media cetak menjadi juru selamat jurnalisme yang betul dan baik. Bahkan sampai saya sebut ”jurnalisme media cetak akan menjadi kasta tertinggi dalam jurnalisme”.

Hasil penelitian yang dikirim sang teman wartawan senior itu sudah membungkam mindset saya selama ini menjadi “omong kosong”.

Anda pasti mafhum yang namanya omong kosong. Hang hing hong…

Hang-hing-hong juga untuk berharap juru selamat serius untuk mengembalikan jurnalisme ala era nagabonar. Usaha penyelamatan ala preman. Dari media partisan.

Hasil penelitian itu melahirkan kesan pada diri saya: kepercayaan kepada koran sudah hancur. Padahal bisnis jurnalisme adalah bisnis kepercayaan.

“Apakah tidak bisa diselamatkan?” tanya seorang teman sesame senior lainnya di sebuah siang.

“Bisa, tapi siapa yang mau. Itu pun harus dengan usaha membangun kembali kepercayaan kepada koran. Seperti memulihkan barang rongsokan.”

Cilaka empat belasnya hasil penelitian itu juga menyebut tujuh puluh persen respondennya hanya mau mengikuti media yang gratis. Yang bayar? Cuma lima persen. Termasuk Anda,  bukan?

Dari seluruh hasil penelitian itu saya ingin menulis: selama pengelola media termasuk wartawan-wartawan senior masih menganggap media cetak sinonim dengan kualitas itu adalah mimpi.

Jangan pernah lagi menganggap media daring sebagai tempat pembuangan sampah informasi.

Keruntuhan yang menimpa koran-koran telah datang.

Dulu ada ungkapan lawas ketika televisi mulai hadir di tengah hegemoni media cetak. Saya lupa siapa yang bilang, “medium berubah, jurnalisme abadi.”

Satu hal yang jelas, ada perbedaan makna antara “medium” dan “jurnalisme”.

Bahwa media cetak sudah menemui akhir masanya, tidak berarti bahwa jurnalisme juga sedang runtuh.

Tentu saja ada efek buruk perkembangan internet, seperti, misalnya, kian menjamurnya “pseudo-media.” Juga begitu mudahnya seseorang menjadi “wartawan”.

Akan tetapi, bukankah justru di situ tantangan utama jurnalisme di era digital? Tetap menjadikan kehadirannya penting dan relevan bagi publik.

Di tengah banyaknya media-media daring abal-abal, apalagi yang mengatasnamakan idealisme, kehadiran jurnalisme yang berkualitas tentu dibutuhkan.

Nah, dalam kondisi macam itulah justru jurnalisme dibutuhkan untuk membabat informasi-informasi hoax.

Juga sebagai syarat utama untuk melakukan diet informasi dari tsunami berita sampah yang mengalir deras.

Sekadar menyebut beberapa contoh, di tengah gejala global penurunan pembaca cetak, mutu jurnalisme media hebat seperti the guardian, new york times, washington post toh tetap terjaga.

Kita akan dengan mudah menemukan liputan-liputan bernas di edisi daring media-media ini. Tidak hanya reportase investigasi yang mendalam, tetapi juga tulisan-tulisan yang dikemas dengan multimedia dan interaktif.

Meski edisi cetaknya menurun, mereka tidak kehilangan pembaca dan mampu mengantar para pembaca untuk beralih medium.

Salah satu buktinya, tengok saja jumlah angka pelanggan new york times yang justru meningkat.

Itu baru mendiskusikan ihwal jurnalisme, belum lagi jika kita memperlebar bahasan dalam skala luas, dan sebagainya-seterusnya. Tentu ironis.

Selain itu, di era “nayarana” ini gak banyak orang yang mau memilih profesi sebagai seorang jurnalis. Profesi yang memiliki talenta khusus yang disertai nyali besar.

Selain itu, konsistensi sikap seorang jurnalis itu sangat dipertaruhkan untuk menyajikan karya jurnalistiknya.

Kepatuhan seorang jurnalis pada etika jurnalistik, adalah caranya memelihara adab, dan meninggikan kaidah-kaidah jurnalistik.

Itulah yang membuat profesi seorang jurnalis sangat dihormati, namun tidak bisa dipungkiri tidak semua jurnalis yang bermental seperti itu.

“Etika dasar jurnalisme investigatif, bersikaplah adil juga kepada pihak yang kau curigai. Awas dan kritis, tapi jangan cepat memvonis.”

Saya sering mengatakan: mata pelajaran seorang wartawan adalah membereskan terlebih dahulu keruwetan berpikirnya.

Setelah itu rumuskan pandangan dengan jelas, lurus, dan sederhana untuk dipahami dengan mudah oleh pihak lain.

Seorang wartawan hendaknya tak bosan mengamati, mencatat dan melatih ingatan, bahkan sampai kepada hal-ihwal kecil yang kelihatannya seperti tidak berguna.

Jurnalis itu hendaknya menjadi sosok “die hard.”

Pantang berhenti, pantang pensiun dan  selagi ingatan masih bersisa dan usia belum dipenggal terus berjalan.

Seperti saya ini… oii mbong…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”