Oleh Darmansyah
KEMANA-mana saya selalu ngomong. Aceh itu bak negara bagian yang “peang.” Negara federal yang lonjong. Gak bulat. Bahkan kalau saya tambah-tambahkan ibaratkan negeri layang-layang.
Negeri yang diterbangkan ke langit oleh memorandum of understanding dan dicemplungkan ke undang-undang otonomi khusus. Lantas ditarik dan diulur dari bawah. Dipermainkan.
Seperti permainan layang-layang dalam lagu semasa saya kanak-kanak. Yang syairnya berawal; dari “kuambil buluh sebatang….ku potong sama panjang. Kutimbang-timbang dan ……” teruskan aja..
Kalau saya ditanya tentang solusi negeri layang-layang ini, jawabannya tuntas: kenapa gak dibiarkan aja sekalian jadi layang-layang putus. Hahahah…..
Status otonomi khusus itu bagi saya hanya tipu Jakarta. Tipu gegap gempita usai kosakata istimewa di-“prak”. Yang dulunya provinsi ini disapa dengan daerah istimewa. Akronimnya “daista.”
Dengan menyandang status khusus undang-undang membolehkannya bikin partai lokal. Bisa buat aturan sendiri yang namanya qanun.
Qanun yang sebenarnya gak ada kelebihannya dari peraturan daerah di provinsi lain.
Secara hirarkis struktural berada di bawah peraturan pemerintah. Yang harus disetujui oleh pusat kekuasaan.
Memang, kalau dari bacaan, banyak yang dibolehkan dengan status khusus ini.
Boleh ini dan boleh itu. Tapi ada sengkarut di- “footnote”-nya. Di catatan kakinya. Gak boleh yang ini dan yang itu. Anda pasti lebih tahu dari saya maksud ini dan itunya.
Dari dulu saya terus menulis tentang statusnya yang mandeg. Gak tuntas. Serba tanggung. Yang tanggungnya ini pernah ditertawakan oleh seorang anggota dewan teman saya. Teman yang menjadi anggota panitia khusus untuk merumuskan undang-undang otonomi khusus ini dulu.
Teman yang mencibirkan saya dengan kalimat: perlu gerakan titik-titik lagi untuk membuka kemandegannya. Titik-titik yang saya jawab: “berontak?”
Dia ketawakan hahaha…. sembari berbisik hihi. “Saya gak percaya Anda membuang kata berontak untuk sebuah undang-undang setengah hati,” katanya.
Ketawanya ini bisa saya artkulasikan lewat pemberian status partai lokal. Partai yang punya kiprah di daerah. Kiprahnya seperti lipatan celana. Tanggung. Partai lokal yang sibuk berebut pokir.
Hari saya mempublis tulisan ini pelaksanaan berbagai kekhususan itu sudah masuk ke tahun ketujuhbelas.
Termasuk penyaluran dana khususnya yang sudah berada di angka seratus triliun rupiah. Sebuah angka yang masya Allah besarnya.
Yang besaran di awal pendistribusiannya dua persen dari dana alokasi umum. Dan kini besarannya cuma tersisa satu persen.
Satu persen memasuki tahun kedua anggaran berjalan. Dan beberapa tahun lagi hang…
Selama enam belas tahun perjalanan kucuran dana itu yang dapat saya nikmati adalah bangunan parit di depan rumah. Parit yang morat-marit pengerjaan.
Parit sepanjang seratus meter yang pernah saya suruh hitung satuan harganya ke seorang teman kontraktor.
Yang hasil hitungannya complang dengan jumlah penyaluran dengan hasil akhirnya. Artinya lebih banyak yang menguap dari hasilnya.
Untuk itu saya minta Anda jangan mengajukan pertanyaan tentang capaian hebatnya dana seratus triliun itu Lebih baik gumamkan saja apa yang terjadi hari ini di negeri ini.
Saya juga minta ke Anda, terutama yang milineal, jangan tanyakan ke saya impian besar negeri ini. Impian yang dulu pernah berdengung “baldatun-taybatun warabbun gafur…”
Saya juga tahu kekhususan lainnya dari undang-undang otonomi khusus yang membuat banyak di antara kawan-kawan “mbong.”
Menggelembungkan informasinya bak berita infotaiment selebritas. Gelembung informasi tentang temuan minyak dan gas.
Mengaitkannya dengan pembagian antara pusat dan daerah.
Pembagian dana minyak dan gas. Yang mereka anggap istimewa dalam pembagian. Pembagian onshore dengan offshore.
Yang tujuh puluh tiga puluh untuk onshore dan laut kedaulatan. Serta tiga puluh tiga puluh untuk wilayah zona ekonomi ekslusif. ZEE.
Anda boleh optimis dengan pembagian ini. Tapi saya tidak. Bukan berarti pesimis. Saya tahu tentang hitung-hitungannya. Sejak dulu. Sejak migas Arun dulu.
Banyak itemnya. Namanya cost recovery. Kalau Anda mau optimis sih boleh aja. Seperti hari ini Di mana penerimaan itu relatif tidak sangat banyak semenjak berlakunya di undang-undang-kan.
Bahkan seorang teman saya saking optimisnya menghibur diri: pengaturan itu tetap saja menjadi reservoar yang telah siap untuk menampung limpahan dana ketika ditemukannya ladang migas baru.
Saya tahu ia terobesesi dengan berita: “hambo” ladang sumur baru di Andaman yang kini sedang dieksplorasi mubadala energy. Belum lagi di tahap eksploitasi. Masih panjang dan panjang waktunya…
Panjang juga untuk dijawab pertanyaan tentang manfaat pelimpahan kewenangan, dan pengucuran dana otonomi khusus yang melimpah ini. Kewenangan yang diberikan gak digunakan dengan baik.
Kewenangan yang dialpakan peta jalannya. Peta jalan penggunaan yang benar dan bijak sesuai dengan garis lurus undang-undang otonomi khusus.
Penggunanaan dalam satu kata: rahmatal alamin.
Rahmat dalam pertumbuman ekonomi tinggi, angka kemiskinan yang terus menyusut dan berkurangnya angka pengangguran dan sebagai-dan sebagainya.
Saya sengaja gak mau memakai kata cetak biru dalam perencanaan. Saya lebih suka memakai peta jalan. Road map.
Akibat ketiadaan peta jalan ini banyak sekali aliran dana yang hanya di Krueng Aceh, Krueng Keureuto, dan krueng-kreung lainnya Lantas hanyut ke laut dalam.
Dampak lain dari ketiadaan peta jalan ini kita disodorkan sinteron yang terjadi antara eksekutif dan legislatif di provinsi maupun kabupaten/kota.
Ending ceritanya bermuara kepada siapa dapat apa sesama mereka, bukan apa yang seharusnya akan didapatkan oleh publik.
Carut marut yang telah berlangsung selama tujuhbelas tahun ini membuat negara bagian ini tertinggal dan ditinggalkan.
Saya hanya bisa menengadah agar negeri ini tidak jadi “nayarana” yang papa.[]
* Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”