Oleh Darmansyah
SAYA menginginkan partai lokal di Aceh kembali seperti dulu. Seperti pertama kali dibentuk dan ikut pemilihan umum.
Seperti ketika Partai Aceh meraih tiga puluh tiga kursi di dewan perwakilan rakyat provinsi.
Ketika itu partai lokal lainnya juga menggenapi porelahan suara untuk meraih dominasi keterwakilan di parlemen provinsi otonomi khusus itu.
Tidak seperti sekarang. Usai pemilihan umum dua bulan lalu. Usai perhitungan hasil final perolehan suara ketika partai lokal masih saja menjadi minoritas dibandng partai nasional.
Saya terus menggumam. Gumam yang sama seperti pemilihan umum sebelumnya. Ketika partai-partai lokal terus mengecil suaranya. Dan kursinya.
Saya bisa merasakan betapa tidak efektifnya posisi tawar-bargaining position-nya mereka dengan keterwakilan yang kecil. Terutama dengan pemerintahan Jakarta.
Seperti yang terjadi hari-hari ini dan hari-hari lalu. Ketika qanun-qanun Aceh yang spesifik diganjal. Dipendam bahkan direndam.
Anda pasti lebih tahu dari saya tentang qanun-qanun mana yang di ganjal-dipendam dan direndam.
Tidak hanya qanun-nama lain dari peraturan daerah-yang diperlakukan begitu. Banyak posisi tawar lainnya juga gak mampu digemingkan. Apalagi digedor. Sebut saja salah satunya: reviitalisasi undang-undang pokok pemerintahan.
Posisi tawar yang ini gak bergerak sejak dulu. Mampat.
Tidak hanya dalam kebijakan besar haluan daerah, kebijakan yang bersifat pernik-pernik banyak yang terganjal.
Saya gak ingin mengurainya satu per satu. Anda dan Anda sudah tahu. Pernik lambang dan bendera saja raib tak tahu kemana wujudnya.
Tak banyak dari kita yang menyadari muasal semua sumbu masalah ini. Kalau saya melihatnya hanya dari sumbu kecil saja. Sumbu fragmentasi kepentingan yang terjadi di partai lokal.
Fragmetasi kepentingan sesama “anak bangsa.” Menyebabkan partai lokal itu tercabik dan tersapih. Menjadi banyak partai. Dari sapihannya itu tersapih lagi… dan mungkin lebih lagi..
Fragmentasi yang terjadi di partai lokal ini dampak dari saling bertabrakannya kepentingan masing-masing kelompok. Ketika kepentingan ideologi sudah dipinggirkan. Idiom ideologi: merdeka.
Hari-hari ini idiom itu sudah melebur. Leburannya silakan Anda telusuri dan cari sendiri. Kalau ketemu tolong kasih tahu saya. Bisa kita komparasi dan saya janji akan menuliskannya.. lanjut.
Fragmentasi kepentingan ini barang biasa di negeri “nagabonar” manapun. Tidak hanya “nagabonar” negeri ini. Juga di “nagabonar” sudan, somalia atau pun di tetangga kita timor leste.
Bahkan seorang teman secara berkelakar mengatakan kepada saya untung aja negeri lu gak merdeka benaran. Kalau benaran lu akan lebih bonyok.
Saya mafhum kelakarnya ini. Kelakar dari banyak fakta di banyak negara yang baru merdeka.
Dimana sesama pejuangnya yang bernaung di bawah cita-cita saling menggunting untuk menduduki tampuk tertinggi kekuasaan.
Dampaknya menjadi negara termiskin. Tingkat pendidikan terendah. Korupsi tertinggi. Bahkan menjadi negara teokrasi yang pilih-pilih syariat.
Selain itu Anda pasti tahu dampak fragmentasi di lanskap politik. Terjadi kesulitan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif.
Kembali ke fragmentasi politik, itu biasa terjadi pada partai politik, kelompok politik atau organisasi politik lainnya. Seperti yang terjadi di era politik nasional kemarin, hari ini dan esok…
Padahal tujuan eksistensi partai politik adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang telah disusun sesuai dengan ideologi tertentu.
Fungsi partai politik sebagai sarana artikulasi politik maksudnya adalah partai politik bertugas menyatakan kepentingan warga masyarakat kepada pemerintah dan badan-badan politik yang lebih tinggi.
Seperti diketahui munculnya partai politik lokal itu sendiri merupakan kesepakatan perdamaian sekaligus menjadi rangkaian penyelesaian konflik antara Aceh dengan pemerintah Jakarta.
Kesepakatan damai ini tertuang melalui memorendum of understanding antara pemerintahan Jakarta dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Di pemilihan umum lalu partai lokal itu kembali tidak memberikan gambaran yang saya inginkan: menjadi satu partai besar yang dominan. Partai yang mayoritas. Yang bisa ngatur-ngatur.
Padahal orang seperti Anda pasti menginginkan partai lokal itu makin besar dan besar sehingga bisa mewujudkan cita-cita perjuangan tanpa harus menanggalkan demokrasi.
Saya pernah membayangkan: dari pemilu ke pemilu partai lokal itu bisa menyatu atau pun bisa lebih sedikit jumlahnya. Lalu muncullah dua partai lokal yang besar. Salah satunya kian besar. Lantas dominan.
Semua itu tidak terjadi. Dari empat kali pemilihan umum partai lokal ini seperti jalan di tempat. Atau bahkan mundur dalam pemilu terakhir.
Tidak hanya mundur dalam perolehan kursi, partai lokal itu juga mengalami pergeseran. Kalau dulunya berada di kiri, kini sudah lebih ke tengah.
Bahkan, seperti kata seorang teman pengamat yang akademisi, sudah mendekat ke kanan. “Lebih pragmatis bang,” tuturnya.
Saya percaya aja. Dia kan ilmuan. Kajiannya mendalam. Ia melihat gejala baru di partai lokal. Lebih inklusif, Terbuka dalam mengadopsi kader. Kader “barang bekas.” … Yang sering saya istilahkan sebagai “barang rongsokan.”
Sebelumnya partai-partai lokal ini sangat ekslusif. Kita pernah punya partai lokal yang sangat kiri: Partai Aceh. Kirinya ini bagi saya hanya sebagai penanda lantaran sulit diatur.
Sehingga dari situ terbentuk citra partai lokal satu ini sangat nasionalis keacehannya. Sebagai partai kiri mereka telah membuktikan dirinya bisa menjadi penyaluran aspirasi.
Saat itu kita pernah berharap ia bisa menjadi partai tengah yang dominan. Saat itu kirinya berhasil tapi dominannya yang tidak.
Itu persoalan besar yang harus dihadapi perjuangan. Orang seperti saya akan bersyukur kalau itu bisa terwujud. Entah kapan. Tidak seperti hari ini. Usai pemilihan umum lalu.
Yang partai lokalnya hanya kebagian dua puluh lima kursi dari delapan puluh satu lursi yang ada. Terlalu kecil. Terlalu lemah untuk melawan jumlah kursi partai-partai Jakarta.
Modal dua puluh lima kursi itu pasti gak mampu untuk menuntaskan konflik qanun lambang dan bendera. Atau mengembalikan dana otonomi khusus ke-dua persen dari dana alokasi umum.
Lalu, mungkinkah kita berharap pada lokal yang jumlah kursinya hanya dua puluh tujuh persen dari alokasi yang tersedia?
Kalau saya gak lah. Partai lokal ini saya lihat justru kehilangan basis. Bukan saja gagal menjadi dominan, bahkan justru mengecil.
Potensi pengecilan partai lokal ini saya telusuri didominasi oleh problem utamanya: figur pimpinannya yang masih lebih dominan dari pada sistem kepartaiannya.
Maka untuk memiliki satu partai lokal yang dominan masih tetap dalam mimpi. Lima pemilu ke depan sekalipun
Tanpa partai lokal dan kepemimpinan yang dominan sangat sulit mewujudkan gagasan kemakmuran. Kesulitan mewujudkan gagasan ini karena mereka merasa paling benar.
Merasa paling berhak, merasa paling …, merasa paling … dengan sudah kehilangan seiring pengkhianatan-pengkhianatan amanat konsituennya dan menjadi partai tanpa makna….
Partai besar dibuat oleh “sang pemilik”, jadinya ya partai pemilik. Seperti kita punya sebuah usaha, usahanya dijalankan dan dikontrol sepenuhnya oleh sang pemilik.
Pola pikirnya belum seprofesional managerial yang harus dibuat profesional. Pendiri berusaha keras untuk melimpahkan ke sang anak untuk meneruskan kepemimpinan partai yang dibuatnya.
Orang luar cukup di sekelilingnya saja. Tidak rela harus diserahkan ke orang yang benar-benar punya kompetensi.
Jika tidak sesuai seperti kehendak pendirinya maka akan berakhir mengecil-mengecil dan tidak punya masa.
Ketika menjadi besar masih banyak sifat emosional sesaat saja dari para pemilih yang sakit hati, makanya banyak kutu loncat. Tidak ada loyalitas.
Yang jadi partai besar ya berusaha pegang kekuasaan yang sebenarnya seperti saat ini, sistem golkar orba tetap berjaya di pemerintahan.
Perubahan sangat tergantung sama pemilih. Jika pemilihnya masih harus mementingkan isi perut dan menutup mulut sesaat, maka sang penguasa masih sangat berterima kasih karena masih bisa diberdayakan untuk sumber suara.
Dari periode ke periode hampir-hampir perubahannya sangat kecil, kita ini seperti mengulang-ulang saja pola lama dengan tokoh yang berbeda dan cerita yang beda.
Memang dari sisi jumlah kursi Partai Aceh di pemilu lalu menambah jumlah kursi dari delapan belas menjadi dua puluh, Partai lokal lainnya menggenapi angka dua puluh lima.
Untuk Anda tahu partai lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita
Tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan anggota dan masyarakat melalui pemilihan. Bukan untuk para pejuang “nagabonar.” Hehehe…..[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”