Stigma Ganja

Screenshot

Oleh Darmansyah

SAYA melawan stigmanisasi itu. Stigmanisasi ganja. Ganja yang diidentikkan dengan Aceh. Yang harus dibasmi. Dimusnahkankan. Yang sinonim dan kosokbalinya bisa melebar.

Mohon jangan diartikulasikan Aceh-nya ikut dibasmi,

Ah…gak lah…

Perlawanan saya itu wajar. Melawan prasangka yang mendiskreditkan. Prasangka karena cara pikir dan pandang yang berbeda.

Saya tahu kehadiran  stigma dalam lingkungan sosial menimbulkan kesenjangan. Ketidaksetaraan.

Gara-gara stigmanisasai ini kedekatan antara dua kosakata itu, Aceh dan ganja hanya dipisahkan oleh tabir tipis yang transparan. Bisa dilihat dari balik tabir. Gak harus membuka tirainya.

Saking gaduhnya suara stigmanisasi ini saya sering dengar nama “serambi ganja” lebih fames ketimbang “serambi mekkah”

Untuk itu sebuah media yang pernah menjadi tempat kerja saya dulu “terpaksa” pakai “Serambi….”  Sambung saja titik-titiknya. “Serambi,,, ”  yang mendamaikan isi republik ini. Anda tentu tahu apa “Serambi…”nya. Masih eksis.

Aneh….

Mengenai cerita ganja ini teman-teman Jakarta gampang saja saya “prank.” Percaya saja kalau saya bilang di Aceh itu ganja ditanam kayak singkong.

Di belakang rumah, di samping pohon pisang juga di pot hiasan kamar mandi.

“Prank” itu saya hanya ngarang dengan niatan becanda. Eh, lha kok malah dikira serius. Ada yang percaya seribu persen.

Sebagai orang yang sementara tinggal di Jakarta, pertanyaan, “di Aceh banyak ganja …ya?” atau, “bawa ganja… nggak?” atau, “pernah makan mi aceh campur ganja ….belum?” sudah jadi sapaan pembuka.

Pertanyaan itu  mengalahkan sapaan: “kerja di mana, umur berapa? … dan seterusnya dan..es..te …”

Stigmanisasi ganja ini meledak beriringan dengan pemberlakuan daerah operasi militer dulu. Ketika itu saya masih menjadi sesuatu di media lokal.

Kala itu saya mencatat Aceh dan ganja dijadikan sebagai bahan kampanye untuk bisa lebih leluasa memberi “tjap sikureueng” orang di negeri sana si fanatik separatis yang mabuk ganja.

Sebuah stempel untuk  menutupi fakta kalau para syedara kami pernah punya hubungan complicated dengan militer.

Sebuah stempel untuk  menutupi fakta kalau para syedara kami pernah punya hubungan complicated dengan militer.

Anda dan Anda mungkin pernah ditanyai oleh teman ketika mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. “Bawa apa ngon…?”

Kalau tanyanya ke saya model beginian  enteng saja menjawab: i-trom tentara. Disepak tentara. Itu jawaban lugas kalau pertanyaan itu melebar dan agak nyinyir.

Kalau lebih nyinyir lagi lupakan saja i-trom tentara. Lupakan daerah operasi militer. Bikin saja cerita heboh. Goreng saja dengan omongan mengenai ganja.

Seperti omongan pagi tadi ketika saya baru bangun dan mengikat tali sepatu untuk jogging. Omongan tentang razia rumah makan di Aceh oleh badan nasional narkotika.

Omongan yang narasinya heboh. Omongan yang makin menguatkan stigma terhadap ganja dan Aceh.

Badan nasional narkotika, kata omongan itu, akan melakukan uji klinis terhadap kuliner yang dicurigai berbumbu ganja.

Sasarannya rumah makan dan warung kuliner, Bisa mie razali, warung yah-cut, rumah makan wak lem atau juga sampai ke ayam pramugari di Blang Bintang. Kalau udah begini “hanco klaha.”

Langkah ini  keliru. Ini  stigma negatif. Bikin runyam. Gak akan berhasil. Toh kuliner mengandung ganja memang sangat sulit dihilangkan di daerah otonomi khusus itu.

Kajian sejarah, sejak dulu, membenarkan masyarakat Aceh menggunakan ganja untuk bumbu masakan. Namun, ganja digunakan hanya untuk bahan penyedap dan bukan untuk memabukkan.

Saya tak membantah tudingan bumbu masakan Aceh ada ganjanya. Buka saja semua literasi yang ada. Dari tajul muluk hingga tajul “kuah beulangong” ganja disebut sebagai warisan masakan.

Ganja sebagai bumbu masakan sudah final. Bukan sebagai alat giting. Sebenarnya dalam dunia medis, ganja dikenal punya banyak manfaat.

Ganja bahkan disebut tumbuhan ajaib karena efek positif yang ditimbulkan begitu banyak. Tapi penelitian tentang efek positif ganja belum bisa maksimal karena pelarangan membuat proses ngurus izinnya jadi ribet.

Karena efek positif yang didapat dari ganja, banyak negara yang mencabut larangan ganja. Mereka melegalkannya  dengan syarat yang ketat dan tidak bisa digunakan sembarangan.

Dengan begitu, peredaran ganja ilegal bisa ditekan. Manfaat medis  yang didapat dari ganja adalah mencegah kejang otot bagi  epilepsi, mengurangi nyeri, menghambat perkembangan alzheimer, dan mengatasi depresi.

Kalau Anda ketemu penjelasan manfaat ganja sebagai bumbu masakan dan obat-obatan, amini saja.

Takaran ganja sebagai bumbu sangat terukur, sehingga aman untuk dikonsumsi.

Kelirunya lagi razia ini dilakukan berkaitan dengan penyelenggaraan PON pada September mendatang. Bodoh amat.

Kenapa ganja gak dilegalkan saja sebelum pekan olahraga itu digelar. Kan para atlet bisa hong—hong..sekalian promosi sebelum ia dijadikan komoditi ekspor.

Kalau dilegalkan dan dijadikan komoditi ekspor Aceh bakal terlepas dari karangkeng kemiskinan. Gak perlu lagi pemerintah daerah merengek dana otonomi khusus ke pusat.

Bagi saya kalau argumen ini bisa direalisir dan dijadikan sebagai kebijakan itu sebuah pemikiran yang maha-cerdas lagi cadas. Di saat banyak politisi mengutamakan pokir.

Kan lebih afdhal para politisi ngomong soal legalisasi ganja sebagai income daerah. Sebagai devisa. Ngomong aja tanpa tedeng aling-aling dan tak neko-neko.

Seingat saya “nyanyian ganja” itu pernah dilambungkan dengan gempita oleh anak aso lhok negeri ini. Ia politisi. Namanya Rafli Kande. Muasal karirnya penyanyi.

Dan karena ia dari partai oposan isu ini sempat panas di media sosial. Ya, soalnya politisi seberang. Makanya jadi distorsi.

Apalagi saat itu dengan keluguannya dikatakan ganja itu gak haram dalam hukum agama sepanjang untuk kebutuhan farmasi dan medis.

Secara tematis ia mengartikulasikan ganja itu hanya diharamkan oleh para politisi sebagai narasi permainan konspirasi global.

Bagi saya usulan ini sah-sah saja. Sebagai wacana. Wacana yang menjadikannya sebagai tali gantung yang menyelamatkan kita dari segala sumur masalah

Warbiyasa memang. Udah kayak kampanye khilafah, tiba-tiba ganja jadi solusi dari semua masalah.

Solusi atas mampatnya investasi.

Anda tahu industri kelapa sawit atau dikenal dengan crude oil palm-minyak kelapa sawit-kurang menggenjot stabilitas ekonomi di daerah saya.

Alih-alih menguntungkan, industri ini malah merugikan banyak masyarakat dan hutan. Alasannya, pohon sawit itu tak ramah lingkungan.

Meski industri ini menguntungkan karena warga jadi dapat kerja sebagai kuli namun hal ini tampaknya tak terlalu menarik dibicarakan oleh wakil rakyat.

Oleh karena itu, wajar saya kira kalau usulan ladang ganja ini muncul. Ya… apalagi kalau bukan untuk bikin sumber berita yang lebih seksi.

Misalnya, dengan ganja ditanam di pucok krueng hingga ke pucok donya tak terjamah oleh hubungan dagang internasional. Saya yakin ia bisa mengalahkan kekejaman industri kelapa sawit.

Saya pernah tahu tentang ladang ganja. Dulu. Ketika menjadi wartawan aktif dalam status koresponden. “Ponden” yang dibawa-bawa polisi untuk bikin berita: pemusnahan ladang ganja.

Lokasinya di wilayah hutan yang amat subur. Seperti hutan-hutan di banyak kabupaten pucok donya.

Yang luasnya ampuunnn.. Dari hasil sisiran saja polisi menemukan dua puluh hingga tiga puluh hektar. Itu baru satu Lokasi. Dan menurut sahibul … jumlah ladang itu bisa.. entahlah..

Perlu Anda tahu untuk tidak menjadi ghibah, sebagian besar daerah ladang ganja itu adalah hutan rimba, yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan ganja skala internasional.

Makanya, sejak dulu hingga hari ini saya gak pernah percaya ladang ganja bisa dimusnahkan. Kalaupun ada ladang ganja yang dimusnahkan dan dipublis, itu hanya satu di antara seribu. Masih ada yang seribu dikurangi satu.

Dulu, kalau saya tak salah ingat, pernah popular joke di ujong gampong tentang janji pejuang jika kemerdekaan datang. Jalanan bakalan disumpal emas.

Maaf… untuk itu saya tidak mewakili suara pelegalan ganja untuk nge-fly, melainkan untuk kepentingan medis sebagai obat penenang.

Maaf juga untuk banyak pihak tentang ketidakpercayaan saya ganja Aceh bisa dimusnahkan. Saya percaya tanaman ganja di Aceh bukan sebuah usaha perkebunan.

Tanaman itu tumbuh di tanah tak bertuan dan diyakini sebagai milik Tuhan. Anda jangan persepsikan bahwa ganja itu milik….

Saya berharap ke Anda dan Anda jadikanlah stigmanisasi ini sebagai obat penenang agar orang tahu negeri ini adalah provinsi paling kronis miskinnya dan peringkat pendidikan nomor buntut se-nusantara.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”