Investigasi “Nasi Basi”

Screenshot

IA teman. Sudah lama sekali gak ketemuan. Usai yang terakhirnya. Mungkin udah tiga dekade lebih…

Saya gak ingat persis tahunnya. Apalagi bulan, pekan atau harinya.

Tapi ingat tempat dan alasannya.

Di Prasetya Mulya. Prasetya Mulya yang prestise itu. Akronimnya el-pe-pe-em. Lembaga pelatihan pendidikan dan pengembangan manajemen. Kawasan Cikini Raya. Belokan prapatan dari Senen Raya.

Saya gak ingin cerita panjang tentang lembaga pe-pe-em itu. Bisa panjang. Bakal menyebut banyak nama hebat. Dari pengusaha hingga intelektual bisnis. Dari Sudono Salim hingga Kwik Kian Gie.

Kala itu ketemuannya gak pakai janji…blas ..saja.. Ketemuan di kelas dan program yang sama. Program manajemen pengelolaan media. Ringkasnya program untuk persiapan jadi sesuatu.

Media pengirimnya beda nama. Beda logo dan beda jargon. Tapi gak beda tujuannya. Menyiapkan pemimpin pekerja media. Mainstream cetak.

Itulah yang saya ingat dan dia ingat ketika kami ketemuan tiga hari lalu. Ketemuan dari utak-atik seorang teman yang jadi selangke. Lantas bikin janji, ketemuan.. bla..bla .. setori lama.

Setori ketika awal belajar “mengayuh sepeda.” Setori yang masih nyungsep ke hari-hari ini ketika “kayuhan sepeda”-nya coba di “prank” oleh pedang kekuasaan.

Bla..bla.. tentang tentang “kayuhan sepeda”-nya saya kalah total. Ia lebih kencang, jauh dan panjang dibanding saya.

“Kayuhan”-nya  nyungsep ke banyak institusi. Ke lembaga nonprofit dan organisasi profesi. Singgah  ke persatuan wartawan hingga di dewan pers dan tercatat di daftar panjang media hebat.

Semuanya dibagikanya ke saya di hari pertemuan kami itu. Yang saya ketawakan dengan kik..kik..karena kebagian umpatan serapahnya.

Umpatan serapah yang saya amini sebagai prestasi rangking satu. Rangking tertinggi.

Walaupun sudah terbang tinggi dan singgah di banyak entitas sang teman  masih seperti dulu di awal saya mengenalnya.

Sangat humble. Tidak sok tahu. Menghargai dan merawat pertemanan. Termasuk dalam melakukan pemanggilan nama. Tetap memanggil saya rakan.

Panggilan seperti dulu. Ketika berada dalam satu tim liputan. Selain satu tim liputan ia juga teman olahraga. Olahraga lari. Tiap selesai “deadline.”

Dari kantor ke pinggiran kota. Pernah sama-sama ikut  marathon. Di banyak kota. Maraton penuh maupun setengah maraton.

Dalam pertemuan hampir dua jam dengan sang teman itu kami banyak bicara tentang polemik jurnalistik investigasi yang gaduh.

Genre liputan jurnalistik yang mengingatkan sang teman pada sebuah nama.  Atmakusumah.

Atmakusumah yang pernah membekalinya dengan jurnalistik investigasi yang selalu ia panggil dengan guru. Jurnalistik investigasi yang mau di-“tembak mati” di negeri ini.

Tentang ini Anda so tahu. Tahu juga guru sang teman yang memenangkan banyak award. Bertimbun. Salah satunya Ramon Magsasay yang prestise itu. Di dua puluh empat tahun silam untuk jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi.

Selain itu  guru sang teman itu juga  memenangi banyak penghargaan lainnya karena dedikasi dan komitmennya dalam memperjuangkan kemerdekaan pers.

Sang teman mengagumi gurunya itu sebagai tokoh untuk perannya dalam meletakkan fondasi profesionalitas dan kelembagaan bagi era baru kemerdekaan pers di negeri ini. Terutama jurnalistik peliputan.

Dan inilah rangkuman bla..bla.. saya dan si teman tentang jurnalistik investigasi itu yang ia prihatinkan akan terbunuh.

Saya mulai aja bagaimana aliran pembicara itu.

Jurnalistik investigasi itu adalah upaya mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta tentang adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum.

Investigasi meneliti dan meluruskan berbagai kebohongan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, layaknya penyelidik.

Dalam proses peliputan atau wawancara, jurnalistik investigasi terkadang melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkannya pada narasumber bahwa mereka adalah wartawan.

Istilah investigasi dalam jurnalistik muncul pertama kali ketika Nellie Bly menjadi reporter pittsburg dispatch.

Bly melakukan “penyamaran melebur” dengan bekerja di sebuah pabrik untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk.

Jurnalisme investigasi bisa mengungkap penyelewengan atau ketidakadilan. Liputan berita investigasi tidak lagi dibatasi waktu atau deadline.

Kasus-kasus yang biasa diungkap atau diliput dalam jurnalistik investigasi antara lain hal-hal yang memalukan, penyalahgunaaan kekuasaan, korupsi, manipulasi.

Juga hal-hal yang sengaja disembunyikan pihak tertentu. Biasanya penguasa, politisi, pengusaha.

Wartawan investigasi mencoba mendapatkan kebenaran yang tidak jelas, samar, atau tidak pasti.

Tujuan kegiatan jurnalisme investigasi adalah memberitahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-nutupi kebenaran.

Contoh jurnalis dan proses jurnalistik investigasi: seperti liputan yang pernah dilakukan wartawan kawakan Bondan Winarno.

Informasi dalam laporan jurnalistik investigasi digali melalui dua sumber utama, yakni narasumber informan dan literatur. Data yang sudah ada –berita, buku arsip.

Isi naskah hasil investigasi tetap mengandung lima w tambah satu h, namun menitikberatkan pada unsur why dan how. Teknik penulisan termudahnya adalah secara kronologis –urutan kejadian.

Isu yang diangkat dalam jurnalistik investigasi biasanya dari headline atau berita utama media dan bisa juga yang sedang hangat dibicarakan.

Investigasi adalah proses mengungkapkan dan membuktikan kejahatan atau penyelewengan terorganisir yang merugikan publik atau masyarakat.

Ada beberapa hal mendasar dalam proses jurnalisme investigasi yang perlu Anda tahu. Mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga penulisan laporan.

Liputan investigasi selalu berangkat dari satu kecurigaan. Anda harus terbiasa bersikap skeptis saat melakukan investigasi. Sebab, sikap skeptis adalah naluri wartawan investigasi yang paling dasar.

Ide awal liputan investigasi bisa berasal dari berita pendek di koran, surat pembaca, gosip di kedai kopi, dan petunjuk dari informan atau yang dikenal dengan whistleblower.

Anda harus getol melakukan verifikasi dan konfirmasi dalam melakukan investigasi.

Sebelum terjun ke lapangan, Anda perlu melakukan pembabakan tulisan terlebih dahulu.

Pembabakan tulisan adalah ketika laporan dipecah menjadi beberapa tulisan dengan angle atau sudut pandang yang berbeda-beda.

Angle adalah hal-hal yang ingin diungkap dari suatu liputan.

Angle mempermudah wartawan dalam menyusun pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan.

Sedangkan hipotesis adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Liputan investigasi nantinya akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mengkonfirmasi hipotesis yang ada dengan bukti-bukti kuat.

Narasumber liputan investigasi adalah orang yang terlibat atau mengalami, saksi mata atau saksi dengar, orang yang paling tahu, pakar atau pihak berwajib.

Sebelum berangkat ke lapangan, wartawan investigasi harus benar-benar mengetahui informasi awal, target narasumber, dokumen yang dibutuhkan, dan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan.

Semua itu untuk menjawab pertanyaan dari satu kata benda: angle. Segi atau sudut.

Seorang wartawan investigasi perlu melakukan observasi secara langsung.

Pancaindra wartawan investigasi harus peka, agar bisa merekam setiap detail peristiwa, suasana, tempat untuk melengkapi laporan investigasi nantinya.

Jurnalis investigasi juga wajib mewawancarai dan meminta konfirmasi narasumber untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.

Atau memvalidasi informasi yang sudah didapatkan sebelumnya.

Selain itu, wartawan investigasi perlu mengumpulkan bukti-bukti fisik untuk memperkuat laporan investigasi.

Seperti foto, dokumen, rekaman, dan video.

Setelah semua bahan terkumpul, cek kembali apakah angle, pertanyaan-pertanyaan, dan hipotesis sudah terjawab.

Gaya penulisan laporan investigasi adalah naratif dan argumentatif. Anda bisa melengkapinya dengan foto dan infografis.

Selain itu perlu memerhatikan aspek cover all sides atau keberimbangan, hal ini untuk menghindari tuntutan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Ada tiga hal dasar yang perlu Anda ketahui dari proses jurnalisme investigasi.

Seorang jurnalis yang sudah mendapatkan informasi, melihat peristiwa di lapangan, dan berinteraksi dengan narasumber pasti memiliki dorongan untuk segera menuliskannya.

Dengan bahan tulisan yang ada, apakah mudah merangkaikannya menjadi narasi yang memikat untuk penulisan feature?

Tidak jarang, jurnalis kesulitan untuk memilah informasi yang terlalu banyak didapat, mana yang harus ditulis mana yang tidak.

Jangan sampai Anda akhirnya mendapati bahan-bahan tulisan itu terasa tidak menarik karena hasil reportasenya terlalu formal dan informasinya kurang tergali.

Lantas bagaimana cara menuliskan fakta hasil reportase agar menjadi narasi yang memikat dan menarik?

Siapkan langkah. Pastikan hasil reportase itu adalah fakta yang muncul dari kepekaan atau sensitivitas Anda sebagai jurnalis pada suatu peristiwa atau objek liputan.

Sensitivitas ini perlu dimiliki sebagai dasar untuk mengumpulkan bahan tulisan.

Misalnya, peristiwa yang diliput itu begitu mencengangkan dan membuat Anda terpana.

Bukan berarti tulisan akan menjadi subjektif, namun sensitivitas dari pengalaman itu akan membantu untuk mendeskripsikan objek liputan dalam bentuk narasi.

Menulis reportase secara naratif berarti menuliskan suatu peristiwa yang bisa membuat pembaca seakan mengikuti liputan itu.

Syarat utamanya tentu saja harus detail dan relevan, serta ditentukan dengan sudut pandang atau angle yang berbeda dengan reportase umum.

Jurnalis harus memiliki kesadaran atau keinginan untuk melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh yang lain. Anda patut sentuh objeknya. Ingat, semakin spesifik angle maka semakin bagus tulisannya.

Menulis narasi tidak harus menggunakan ornamen indah. Pakailah kalimat sederhana dan standar tanpa perlu berbunga-bunga.

Boleh saja mengambil dari khazanah puisi yang sesuai dengan gambaran objek atau peristiwa itu. Asalkan narasi yang ditulis dibangun atas reportase yang benar.

Hindari memulai tulisan dengan data statistik dan kutipan pakar, sebab itu tidak dibutuhkan pembaca.

Sekali lagi, sentuh objek liputannya. Perjumpaan dengan objek liputan bisa dieksplor dalam kalimat yang sederhana.

Bisa jadi, suatu objek liputan dianggap biasa saja bagi orang lain. Tapi jurnalis yang sudah berpegang pada referensi dari objek tersebut bisa menemukan hal yang berbeda.

Contohnya, Anda meliput suatu kedai di sudut kota kecil. Tampilannya biasa dengan meja kursi layaknya kedai minuman.

Tapi karena Anda sudah mengetahui sebelumnya dari referensi sejarah bahwa kedai itu pernah menjadi tempat favorit seorang tokoh besar, maka kedai itu menjadi istimewa.

Referensi ini bisa menjadi modal menulis narasi. Tidak hanya referensi, hasil riset suatu penelitian juga dapat membantu Anda dalam melengkapi bahan tulisan.

Hal terpenting dalam jurnalisme naratif adalah jurnalis memahami dulu pentingnya reportase.

Hasil reportase menjadi gagal ketika disajikan dengan rinci dan detail pada sesuatu yang tidak berkaitan dengan peristiwa yang diangkat.

Narasinya menjadi tidak ada artinya. Karena itu, narasi akan memikat jika sebelumnya jurnalis bisa menyerap dan berinteraksi dengan lingkungan yang akhirnya bisa jadi bahan tulisan.

Selanjutnya, kemampuan berbahasa menjadi modal dalam menyusun runutan cerita dan menjahit fakta-fakta.

Maka klop.

Tidak seperti banyak demo insan jurnalis yang menguap dihimpit demonstratif media yang menghambokan kasus Pegi, pembobolan data dan kasak kusuk pilkada .. entah apalagi …

Menyebabkan protes demo dan polemik  jurnalistik investigasi jadi “nasi basi”….[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”